Senin, 22 Oktober 2012

Tentang Independensi #1

Tentang Independensi, Keberpihakan, dan Objektif

Beberapa minggu terakhir, aku dihadapkan pada situasi yang agak membingungkan, yang membuatku mempertanyakan kembali, apa itu : Independensi, keberpihakan, dan objektif, dan bagaimana aplikasi yang seharusnya.

Tentang Independensi
Sebenarnya aku sering mendengar kata ini, apalagi di kelas-kelas yang membahas tentang media. Bahwa media itu harus independen, dan pemberitaannya cover both side. Ini teori ideal yang aku dapat dari kelas. Kemudian, suatu hari seorang teman yang aktif di majalah kampus, menyampaikan pendapatnya, dan menuliskan opininya dalam sebuah artikel di majalah kampus edisi Oktober 2012.


Judulnya : Tolak Mahasiswa sebagai Tim Sukses Kampanye Politik.

Supaya lebih jelas, saya kutip kembali artikelnya. 

Jakarta-Parmagz-masih harus menunggu hasil perhitungan suara dari KPU sebagai penetapan yang sah atas Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih periode 2012-2017. Perbedaan suara yang tidak terpaut jauh antar kedua pasang calon gubernur dan wagub, menjadikan pendukung masih harap-harap cemas. Apalagi pasangan calon gubernur yang untuk sementara berada pada posisi kedua sebagai hasil perhitungan cepat yang diadakan beberapa media nasional.

Pemilihan kepala daerah dengan sistem demokrasi diawali dengan serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek langsung kepada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu atau yang biasa disebut dengan kampanye (Roger dan Storey, 1987).

Bentuk kampanye politik kini kian beragam seiring dengan berkembangnya media komunikasi. Lahir dan berkembangnya media baru, internet menjadikan setiap orang dapat langsung menyuarakan pendapatnya dan orang lain yang melihat juga dengan segera dapat menimpali dengan dukungan atau penolakan. Itulah yang terjadi kini diseluruh dunia , kampanye politik berkembang menciptakan bentuk barunya yakni virtual.

Mahasiswa, calon sarjana, diklaim sebagai orang yang lebih berpengetahuan sehingga menjadi target empuk untuk menjalankan kampanye politik dalam media baru, internet. Segala bentuk jejaring sosial sangat dekat dengan anak muda dan mahasiswa termasuk di dalamnya. Tindakan segelintir mahasiswa untuk memilih ikut bergabung dalam tim sukses salah satu pasangan calon gubernur, dengan alasan apapun seharusnya tidak diterima. Tidak untuk alasan belajar berpolitik. Apalagi, alasan suka dengan pasangan calon gubernur terkait.  (Sekian).

Tanggapan saya terhadap artikel ini :

Mahasiswa menjadi target empuk, untuk menjalankan kampanye si calon, melalui media internernet.

Menurut saya, demokrasi memberikan hak pada masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya masing-masing (asalkan tetap etis). Mahasiswa juga dianggap sebagai manusia yang sudah dewasa, dan mempunyai daya kritis sebelum dia memutuskan untuk melakukan suatu hal. Jika penulis artikel ini melihat ada indikasi pemanfaatan mahasiswa sebagai internet user untuk melakukan kampanye calon gubernur, bisa saja sih ini terjadi. Tapi, mahasiswa juga pasti kritis, dan tidak menerima begitu saja. Mungkin saja mahasiswa yang menjadi tim sukses itu, melihat sebuah fakta (track record yang bagus) bahwa calon yang mereka dukung, benar-benar layak mendapatkan dukungan

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, demokrasi memberikan kebebasan bagi individu untuk menunjukkan sikap, pandangan politiknya. Jadi, jika ada teman anda yang menjadi tim sukses seorang calon, rasanya tidak masalah.


Tidak untuk alasan belajar berpolitik. Apalagi, alasan suka dengan pasangan calon gubernur terkait.


Alasan apapun, termasuk ketertarikan pada si kandidat (baca : tertarik pada program kerjanya, atau pada track recordnya), ini tidak masalah. Merujuk pada alasan: demokrasi memberikan kebebasan bagi individu untuk menunjukkan sikap, pandangan politiknya.

>>Media mempunyai tanggung jawab untuk memberikan hak jawab. 
Dalam case ini, teman yang dikritik melalui artikel tersebut, sebenarnya mempunyai hak jawab. Dan hak jawabnya berhak dimuat di media yang sama, yang memuat kritik terhadapnya.

(So far, as I know).
Seperti halnya, ketika Republika memberitakan tentang Pernyataan kontroversial Gusdur yang tidak membela Islam pada kasus Maluku. Republika sebagai koran yang didirikan oleh petinggi-petinggi ICMI lewat berita di atas, menempatkan GusDur pada posisi anti Islamdan cenderung membeli kepentingan Kristen di Maluku. Citra unfavorable terhadapp Islam ini diperkuat dengan wacana perlawanan atau bantahan dari kalangan Muslim tanah air.   

Dari segi mode wacana, (bahasa yang digunakan) Republika memilih kata-kata yang cederung menyudutkan GusDur, dan menempatkan GusDur seakan-akan tidak membela kepentingan Islam dan cenderung membela kaum Nasrani,

Tetapi, dari segi tenor of discourse, Republika cukup berimbang dalam pemberitaannya dengan memberikan porsi bagi Gus Dur dan kelompok Islam serta pihak militer yang terlibat dalam upaya mengatasi konflik antar agama di sana. 

Jadi, sudah sewajarnya jika majalah kampus juga memberikan hak jawab bagi kelompok terkait untuk menyampaikan pendapatnya. :)



0 comments:

Posting Komentar

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri