Kamis, 13 Desember 2012

Tanjakan Cinta, dan Harapan para Pedamba

Baca artikel sebelumnya :

Pagi itu dingin sekali, dan itu membuat saya malas keluar dari tenda sebenarnya. Tapi, karena ingin melihat bagaimana matahari pagi di Ranu Kumbolo, saya beserta Indi dan Very pun keluar dari tenda (setelah shubuh terlebih dahulu) tentunya.

Eits, jangan berprasangka terlebih dahulu. Saya klarifikasi, nothing happens diantara kami bertiga selama satu tenda menginap. Mengingat tenda Indi, yang juga belum ketemu rimbanya dimana, maka kami bermalam di tenda yang cukup besar itu. :)


Messy tend. 
Dari sisi danau dimana kami berada, kami berjalan menuju sisi danau yang satunya lagi. Karena prediksi kami, di sisi tersebut bisa melihat matahari terbit lebih jelas. 

Matahari yang ditunggu belum muncul juga. 

Sambil menunggu mentari muncul, kami pun melihat-lihat camp di sekitaran situ. Tujuannya adalah mencari Mas Rambo (sebut saja Rambo) yang hari sebelumnya berbaik hati membawakan ransel Indi (yang berisi tenda). Ketika berjalan, tak sengaja saya melewati sebuah tempat, entah apa yang berpagar. Baru kemudian saya tahu, bahwa itu adalah tugu in memoriam salah satu pendaki yang meninggal karena berenang di Ranu Kumbolo. Di peraturan yang tertera juga, melarang pendaki untuk berenang di Danau yang airnya dingin itu.


In Memoriam dengan Sesajen yang sudah rusak.
Kepercayaan masyarakat setempat, sepertinya masih kental dengan Animisme -Dinamisme. 
Dari tugu in memoriam ini, jika saya menengok ke arah kanan 90 derajat, saya bisa melihat 'Tanjakan Cinta'. Sebuah treck yang dipercaya jika kita berhasil mendaki tanjakan tersebut tanpa berhenti dan tanpa menengok ke belakang, sambil mengingat nama seseorang --> mitosnya, akan berjodoh dengan orang tersebut. Dari cerita beberapa orang sih, ada yang ketemu jodohnya abis dari tanjakan cinta ini.
Tapi entahlah ya, kan mati dan jodoh itu sudah diatur.

Tanjakan Cinta, mulai dipenuhi sang pendamba cinta (baca:  jomblo).
Atau mereka yang hendak ke Kalimati.
Ketika menyusuri tenda-tenda di wilayah itu, tak sengaja bertemu dengan sekumpulan 'porter'. Porter-porter ini penduduk setempat yang menyediakan jasa angkut barang, bisa dari bawah ke puncak, atau sebaliknya, bahkan pulang pergi. Jika anda tidak mau direpotkan dengan carrier yang berat, bisa dengan menggunakan jasa Bapak-Bapak porter ini. Biayanya sekitar 150 ribu untuk turun saja. Kalau pulang-pergi mungkin bisa ditawar jadi 200 ribu.

Ketika saya bertanya, "kenapa Bapak jadi Porter?" si Bapak menjawab, dulunya itu beliau sering mencari kayu atau ranting pohon untuk kayu bakar, "daripada saya pulang/naik dengan tangan kosong..mending bawain barang orang supaya dapat duit.." Mereka tidak melewati rute biasa yang dilewati pendaki, mereka biasanya melalui jalan pintas yang kalau tidak salah melewati Ayak-ayak, durasinya bisa lebih singkat dari Ranu Kumbolo ke Ranu Pane saja, sekitar 2 jam. Sedangkan saya, membutuhkan waktu 4 jam sampai di Ranu Pane. 

(Sosialita) Bapak-bapak porter sedang berkumpul di dekat api unggun yang sudah padam.

Ini dia, tenda-tenda yang kami susuri untuk mencari Mas Rambo
Singkat cerita, kami menemukan lokasi dimana 'geng gembel' mendirikan tenda. Geng ini, adalah orang-orang yang ternyata menginap di POS III sewaktu saya menemani Indi beristirahat di malam pendakian. Mulai hari Jumat-Minggu, saya menghabiskan waktu bersama geng gembel ini. Sejarah mengenai kenapa geng ini dinamai gembel, saya tidak tahu pasti. Mungkin, karena kehidupan kami yang meng-gembel di pegunungan. 

Tenda Geng Gembel, di area yang agak jauh dari kerumunan. 

Memasak untuk sarapan. Saya sih cukup bantu dengan doa.. :) 
Pertemuan saya dengan Geng Gembel ini, memang cukup unik, dan pengalaman yang tidak terlupakan. Saya sempat menuliskannya di tumblr saya. Seperti ini :

Percakapan yang selalu berulang, adalah: 

"Ini dimana?" 
"Di gunung kan?"
"Nah..suka-suka dong.."

Entah siapa yang mencetuskan kalimat ini, yang pasti, akhirnya ditiru oleh hampir semua tim 'Geng Gembel.'
Yang pasti, saya serasa mendapat keluarga baru. Teman-teman yang baik, dan membuat saya (sebagai perempuan) merasa aman. Dan sebagai seorang individu, saya merasa nyaman mempunyai teman-teman di Geng Gembel ini. 

Breakfast time! 

Kiri Kanan : Diki, Rizki, Arief Hakim, Ridwan, Indi Cevril, Saya.
Posenya masih normal. 

Geng Gembel!!
Arief H, Bang Ali, Diki, Rizki, Ridwan, Yudha (Vincent), Indi, Bang Selo, dan Very.

Di Sabtu sore yang lembap, setelah gerimis turun, dari arah tanjakan Cinta (menengok 90 derajat ke arah kiri  dari foto dibawah), terjadi keributan. Awalnya, kami kira keributan antara peserta Jambore dengan panitia. Mas Arief, keluar dari tenda karena rasa ingin tahunya yang membuncah, dan saya ejek "kepo banget sih Mas.."

Lama-lama, ada dua orang yang turun dari tanjakan cinta, menuju sebuah tenda di sisi Danau. Kemudian orang-orang mulai berkerumun. Saya pun keluar tenda, dengan kekepoan saya. *kemakan omongan sendiri nih, hihi. Ternyata, keributan itu disebabkan oleh seorang laki-laki sebut saja Mr. Right, yang hendak melamar Ms. Queen, yang entah itu ceweknya atau mantannya. 

Kerumunan cukup lama, karena Ms. Queen awalnya tidak mau keluar dari tenda untuk menemui Mr. Right. Lamanya durasi juga disebabkan oleh Ms. Queen yang membutuhkan waktu yang cukup lama sebelum menjawab YA, yang membuat audiens gregetan. Ada yang teriak-teriak.."cepet dong mba....gantian nih..." ckckck... Kita harus maklum, mengingat jawaban yang diberikan Ms. Queen bukanlah jawaban sepele, yang akan berakibat pada kehidupannya, mungkin seluruh sisa hidupnya. Jadi keputusan yang diambil harus tepat, dan nggak boleh setengah-setengah. (haha, gue kok sotoy ya?)

Begitulah saudara-saudara, salah satu kisah romantisme di Ranu kumbolo, Semeru. 

When Mr. Right ask her Queen to Marry with him. 
What another thing make me intereset? 

Tiba saatnya, hari Minggu, dimana kami Geng gembel membereskan tenda. Kemudian sarapan, setelah itu turun menuju Ranu Pane. Saya dan Indi menghabiskan waktu kurang lebih 4 jam perjalanan menuju Ranu Pane. Dan, mesin pertama yang saya temui setelah tiba di Ranu Pane adalah motor Vespa, entah edisi tahun berapa. 

Heran, kok bisa ada vespa di jalan setapak menuju Semeru? *Ah, jaman sudah modern.

"Land of Gemah Ripah Loh Jenawi"
Peternak yang sedang menafkahi ternaknya. 
Dari Ranu Pane, kami menggunakan Jeep untuk menuju Desa Tumpang, dan menaiki Bus Rombongan, menuju Jakarta.

Sepulang dari Semeru, saya jadi berkeinginan untuk mendaki beberapa Gunung di Indonesia yang lain. Semoga bisa tercapai di tahun mendatang... :)

Semeru, mengingatkan saya pada kutipan Soe Hok Gie : 

“Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokris dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya, dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.”








Copyright © 2014 Jurnal Asri