Senin, 31 Desember 2012

Hidup itu…

Sejauh ini, menurut saya:
Hidup adalah tentang berani mengambil sikap.
tentang menunggu giliran.
Menunggu, gilirannya tiba.

Sekitar seminggu yang lalu, Rahmi-sahabat saya sejak duduk di bangku SMP, menelpon saya. Panggilan teleponnya saya abaikan, karena saat itu masih kelas Media Gender dan Identitas, dimana asdos-nya sedang asyik menjelaskan. Saya segan untuk keluar kelas, sekedar mengangkat telpon sahabat saya itu.

“Kenapa mi?” “kamu libur?” tanya saya lewat sms. Rahmi ini memang lagi nyantri di sebuah Pondok Pesntren di daerah Tasikmalaya, yang saya tahu liburnya hanya saat menjelang lebaran Idul Fitri saja. Dan saat itu, bukan momen Idul Fitri, tentu ada hal yang spesial kenapa sahabat saya pulang ke rumahnya.


“Nggak, tanggal 18 Januari aku akad Ci, kira2 kamu ada ga?” jawab Rahmi. Membaca sms Rahmi, membuat saya kaget sekaligus bahagia. Kenapa kabarnya  terasa begitu mendadak? Barulah setelah itu, Rahmi menceritakan semuanya. Bahwa calon suaminya, adalah bla bla bla, serius, dan melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan. Itu tentang Rahmi.

Ada lagi, Yeyen. Teman sewaktu saya di bangku SD. Dia teman sepermainan, dimana saya dan teman-teman satu geng waktu itu, suka saling berkunjung ke rumah masing-masing untuk bermain, walaupun jarak rumah kami saling berjauhan.

Terakhir kali kami bertemu, yaitu bertemu secara tak sengaja di mesjid UPI Tasikmalaya, kalau tidak salah sehabis shalat dzuhur. Saya melihat sosok jilbaber (istilah saya bagi yang jilbabnya lebar-lebar Smile), sedang berkutat mengurus suatu hal, dan ternyata itu teman sepermainan saya sewaktu SD! Dan beberapa hari lalu, Mamah saya mengabari, kalau Yeyen ini akan menikah di awal tahun 2013 juga. Kebetulan si Mamah ini teman Ibunya Yeyen. Mereka berharap saya bisa datang ke acara pernikahannya. Sayangnya, sepertinya saya tidak bisa menghadiri, karena masih pekan Ujian.

Itu cerita kedua.

Kemudian, sahabat saya di hari Sabtu pagi kemarin, sebutlah namanya Alvi, menelpon saya. Dan mengabari kalau ada seorang teman dekatnya (laki-laki), mengajak dia menikah dan mempresentasikan proyeksi masa depan mereka berdua. Teman saya, masih dengan nada yang antusias, bercerita tentang kebahagiaannya itu.

Kabar bahagia juga datang dari seorang teman yang baru saja menjadi Ibu. Seorang teman, dimana saat pernikahannya, saya beri sebuah kado, kado yang unik, mungkin .

Ya, begitulah.

Sepertinya, satu persatu teman-teman saya mulai melaksanakan sunnah Nabi itu untuk menggenapkan agamanya. Lalu muncul pertanyaan ‘saya kapan’? Pertanyaan ini mulanya muncul dari mulut-mulut tetangga, yang iseng karena ke-kepo-an-nya . Entahlah. Saya ikut berbahagia melihat teman-teman saya itu, saya tidak terburu-buru, dan juga tidak menghindar jika saatnya tiba. Yang saya yakini, adalah jodoh dan kematian serta rizki sudah ada yang mengatur. Ada kalanya di puncak, ada kala di dasar, seperti halnya menaiki roller coaster.
Saya hanya tinggal memantaskan diri, setelah mengajukan proposal hidup saya padaNya.
Karena hidup adalah tentang seni menunggu, menunggu saat yang tepat, dan keberanian mengambil sikap.

11 komentar:

  1. good story yet a bit funny. nice post.

    BalasHapus
  2. bagaikan wayang, menunggu giliran untuk dimainkan sang dalang.

    BalasHapus
  3. dimana point lucunya ka Jazz Muh? hehe,

    BalasHapus
  4. Balasan
    1. kenapa emotnya sedih begitu? HaHa, take it easy...:D

      Hapus
    2. hihi. . Mbk asri kapan? Eh btw headernya ganti. .

      Hapus
    3. Header ganti biar saya nggak bosen. Suatu hari nanti bang camie, :D Hahaha, saya belum tau kapan, kalau ada umur insya allah.

      Hapus
    4. tapi kok segede gaban gitu headernya... :p

      Hapus

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri