Selasa, 17 April 2012

Sinetron Indonesia



*Refleksi terhadap pertelevisian Indonesia

Televisi kita saat ini, lebih banyak menggambarkan kehidupan Jakarta dibandingkan dengan menggambarkan Indonesia secara utuh. Lihat saja bagaimana setiap program yang disiarkan, lebih banyak menggambarkan kehidupan Ibukota, daerah sekitarnya, khususnya Pulau Jawa. Sedangkan daerah Indonesia yang lain, khususnya Indonesia Timur kurang mendapatkan ruang penyiaran di media-media mainstream.

Beberapa program TV yang sangat jelas menggambarkan kehidupan Ibukota salah satunya adalah Sinetron. Kita bisa mengetahui bagaimana pola dari sinetron, biasanya sinetron di Indonesia menayangkan bagaimana orang kaya yang kerja di kantoran, atau orang yang miskin kemudian berubah menjadi orang kaya, dimana selalu ada peran-peran antagonis yang meramaikan jalan cerita. Alur cerita pun tak jauh-jauh dari peran utama yang dijahati oleh pemeran antagonis, kemudian masuk rumah sakit, atau jatuh ke jurang, kemudian lupa ingatan, dan alur cerita pun bisa diperpanjang sesuai dengan keinginan untuk mendongkrak rating.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ini, dalam artian tidak ada pelanggaran yang dilakukan sinetron dalam hal ini, sejauh masyarakat sadar bahwa sinetron hanyalah sebuah hiburan. Masyarakat ekonomi kelas bawah juga tak sedikit yang memfavoritkan sinetron, karena bagi mereka menonton TV tidaklah perlu memikirkan hal yang sulit. Sinetron menjadi media ekskavisme (pelarian) dari rutinitas yang mereka dihadapi.

Penyebaran infrastruktur media TV di Indonesia pun belum benar-benar merata. Penelitian yang dilakukan Media Scene menunjukkan bahwa pemetaan distribusi infrastruktur media konvensional di kepulauan Indonesia menunjukkan 351 transmitter dari 10 TV Nasional Free to Air, 1248 stasiun radio, dan 1.076 media cetak yang terbit dan tersebar ke 33 provinsi di Indonesia. Data tersebut menunjukkan adanya kesenjangan infrastruktur media antara Jawa-Bali dan sebagian Sumatra dibandingkan dengan daerah Indonesia Timur.[1]

Akibat dari kesenjangan infrastruktur ini, menjadikan TV sebagai media yang paling berpengaruh di seluruh daerah di Indonesia dibandingkan dengan media yang lain. Sebagian besar masyarakat tentunya sudah memiliki TV, walaupun belum tentu bisa menerima sinyal dengan baik.

Regulasi yang tertera dalam Undang-Undang Penyiaran no 23 tahun 2002 mengatur bahwa tidak boleh adanya TV yang bersiaran secara nasional kecuali TVRI yang mempunyai privilese untuk bersiaran secara nasional. Tetapi, sepertinya undang-undang ini belum mulai dipatuhi oleh media TV Swasta, karena faktanya masih banyak yang bersiaran secara nasional.

Siaran yang dilakukan dalam lingkup nasional ini, dengan perspektif Jakarta tentu saja mempunyai akibat terhadap penyebaran budaya. Yaitu menyebarnya budaya Jakarta ke seluruh daerah di Indonesia, yang kemudian menimbulkan ketegangan antara budaya Jakarta dengan budaya lokal. Bahasa ‘Lo-Gue’ menjadi icon anak muda gaul. Atau juga dari cara berpakaian (fashion) yang semuanya membentuk sebuah keseragaman (uniformity).

Oleh karena itu, untuk meng-counter hegemoni media TV yang menggunakan perspektif Ibukota atau Pulau Jawa ini, peran  media alternatif yang akan lebih mengakomodir kepentingan masyarakat sangat diperlukan. Media alternatif juga tentunya akan memberikan ruang bagi pelestarian budaya lokal.





[1] Nugroho, Yanuar, dkk. Mapping the landscape of the meda industry in Contemporary Indonesia. hlm. 57

1 komentar:

  1. jangankan sinetron, berita nasional aja kyknya cuma muter di Jakarta dan sekitar tuh..

    BalasHapus

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri