Selasa, 17 April 2012

Balada Sarah

*Sebuah fiksi yang mengingatkan saya akan reformasi 1998.

“dorrr....!!!”

“dorrr....!!!”



Satu peluru meluncur tepat menghantam jantung sasaran. Laki-laki berjas biru itu, memegangi dada bagian kirinya, sebelum terhuyung ke tanah. Suasana berubah menjadi sangat mencekam. Derap langkah tak beraturan dan teriakan panik terdengar saat orang-orang berusaha menyelamatkan dirinya masing-masing.




Sarah berlari menghampiri Elang, korban penembakan yang terhunyung ke tanah itu, wajahnya pucat, menyiratkan ia sangat khawatir dengan keadaan Elang.



“Lang..Lang..!” Sarah memapah Elang dengan susah payah menuju pos satpam yang tidak jauh dari taman lokasi Elang tertembak. Pos satpam itu sudah kosong, entah kemana Pak Satpam yang selalu berjaga, mungkin sudah bersembunyi di rumahnya masing-masing. Sarah cepat-cepat menelepon nomor darurat, berusaha meminta ambulans datang. Setelah 5 menit terlama yang ia rasakan, akhirnya ambulans datang.



“Thanks God..” pekik Sarah dalam hati.



“Kamu harus kuat Lang...” Sarah mulai terisak. “Kenapa Elang yang tidak bersalah, malah terkena peluru nyasar itu Tuhan?”



Saat di ambulans Elang mencengkram kuat genggaman tangan Sarah, mulutnya mengeluarkan erangan kesakitan. Bagaimana tidak, peluru itu merobek sampai ke bagian kiri dadanya, mungkin tepat merobek jantungnya. Darah segar merembes dari lukanya yang menganga.



Melihat adegan kesakitan di depannya, Sarah tak kuasa menahan tangis. Sahabatnya semoga saja tidak segera di panggil Tuhan.



Sesampainya di ICU, dokter dengan sigap memberi pertolongan pada Elang. Beberapa perawat mulai sibuk, ada yang menusukkan jarum infus di lengannya, ada yang merobek pakaian Elang, untuk melihat seberapa parah luka tembakan itu, ada juga yang memasangkan masker pernafasan di wajahnya untuk membantunya bernafas. Sarah menunggu di luar ruang ICU, beberapa saat masih terdengar erangan kesakitan sahabatnya itu. Beberapa saat kemudian erangan kesakitan itu tak terdengar lagi.



“Anda teman dari korban penembakan itu?” tanya seorang lelaki tua berkacamata yang keluar dari ruangan ICU.



“Iya, saya Dok..”



“Bagaimana keadaan teman saya Dok?” tanya Sarah dengan Nada cemas.



“Dia sudah tidak tertolong Nak..terjadi pendarahan yang berlebihan Nak..”



“Maafkan kami..” kata dokter itu yang kemudian menepuk bahu Sarah, seakan ikut bersedih dengan apa yang terjadi. Sarah memasuki ruangan ICU, dan mendapati sahabatnya itu sudah terbujur kaku, terlihat gurat kesakitan di wajahnya. Sarah duduk di samping jasad Elang, wajahnya tertunduk dalam, berusaha menahan tangis yang mendesak pecah.



“Ternyata kepergian lo begitu mendadak Lang..” ucap Sarah pilu.



Seakan melintas bayangan tadi pagi saat ia, Elang, Christ, dan teman yang lain masih bersama-sama membagi-bagikan buletin kampus yang mereka produksi di pers mahasiswa. Buletin yang berisikan tulisan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai universitas, dan salah satunya adalah tulisan mereka. Tulisan-tulisan itu sebagian besar berisikan perlunya reformasi dalam kepemimpinan yang otoriter, dan desakan untuk rezim otoriter agar segera mundur. Sayang, selang beberapa jam, ternyata maut menjemput Elang.



“Sarah..” terdengar Christ yang memanggil Sarah. Christ dan teman-teman yang lain baru bisa sampai di rumah sakit setelah mendengar kabar duka tentang Elang. Semua berduka, atas kepergian teman mereka.



***

Sebuah Merci berwarna merah berhenti tepat di gerbang kampus. Tak lama, muncul gadis berambut panjang, mengenakan kemeja hitam dan rok lutut hitam, plus high heels. Kacamata hitam bertengger manis di hidungnya, menyembunyikan sembab di matanya. Semalaman ia tak tidur, setelah cukup lama ada di kediaman Elang. Ponsel di tangannya berdering. Sambil keluar dari mobil, ia kemudian mengangkat telepon itu.



“Halo..” terdengar suaranya parau.

“Iya Mom..udah nyampe kampus nih..”

“Udah..udah..”

“Eh, udah dulu ya Mom, aku mau demo dulu nih...”

“Dah Mommy...mmmuach..”

Gadis berbaju serba hitam itu adalah Sarah. Sarah berlari kecil ke arah halaman kampus, dimana sudah banyak orang berkumpul disana, termasuk beberapa mahasiswa dari kampus lain yang berbela sungkawa.



“Aparat pembunuh...”

“Aparat pembunuh...”

“Aparat pembunuh...” teriakan-teriakan itu terus menggaung, membuat bulu kuduk siapa saja yang mendengar menjadi berdiri. Sarah mungkin salah satu dari demonstran yang berteriak paling kencang, ia meluapkan amarahnya, rasa kesalnya atas beberapa temannya yang jadi korban. Makin lama, suasana makin memanas. Suasana berubah jadi ricuh.



***

Sepanjang bulan, demonstrasi terus menerus terjadi. Gelombang mahasiswa mulai memenuhi Senayan.



“Sarah, besok lu mau ikut aksi peringatan Harkitnas ga di Monas?”

“Baru aja, gue liat siaran tokoh reformasi ngajak kita buat ngerayain Harkitnas itu..” ajak Christ.

“Jam berapa berangkat kesana Christ?” tanya Sarah.

“Jam enam Sar, jadinya naik mobil rombongan ke arah Monas..” papar Christ.

“Ya udah, lo nginep aja Sar di kampus, di luar takutnya udah ga aman kalau malam..” saran sahabatnya itu.

“Ok, gue nginep deh, tapi gue nelpon mommy gue dulu ya..”



***



Jam enam rombongan sudah siap, beberapa mobil yang mengangkut rombongan mahasiswa akhirnya berangkat. Di tengah jalan, suasana tak di duga muncul, ternyata beberapa jalan di blokade sehingga rombongan memutuskan turun, dan berjalan kaki menuju monas.



“Lu yakin mau jalan Sar?” Christ memastikan. Menghawatirkan Sarah yang hendak berjalan kaki dalam jarak yang cukup jauh.



“Yep..” Sarah mengangguk. Christ merasa ada yang berbeda dengan diri shabatnya itu, terutama setelah meninggalnya Elang. Sarah jadi lebih ‘mau sedikit perih’, tidak sehedon Sarah yang ia kenal dulu.



Sekitar 50 meter lagi, rombongan sampai di Monas, beberapa mahasiswa dari kampus lain juga sudah ada yang berdatangan. Tanpa diketahui oleh rombongan, ternyata Bapak Reformasi mengatakan bahwa peringatan hari Kebangkitan Nasional di Monas ternyata dibatalkan, karena khawatir akan terjadi bentrok massa dengan aparat. Sehingga massa pun berputar haluan, menuju Senayan.



Di luar kawasan gedung DPR, ribuan massa sudah berkumpul. Tentara pun sudah siap siaga jika sewaktu-waktu massa memaksa masuk ke lokasi DPR dan merusak pagar. Sarah, Christ, dan teman-teman kampus awalnya hanya melakukan aksi damai. Suara-suara yang mereka teriakkan adalah “Aparat pembunuh, Aparat pembunuh, Aparat pembunuh....”



“Mungkin beberapa dari aparat itu adalah pembunuh Elang..” batin Sarah.

“Nyawa tetap harus dibalas nyawa..!!”



Setelah beberapa jam massa hanya berdemo di luar kawasan DPR, akhirnya massa merangsek masuk. Kemudian muncul suara-suara yang entah arahnya dari mana.



“Aparat antek kapitalis..”

“Reformasi sampai mati!!”

“Turunkan rezim otoriter!”

“Serang aparat!!”

“Serang-serang-serang..”

“Rusak pagarnya..rusak-rusak-rusak...”



Massa pun menjadi terprovokasi, aksi damai berubah menjadi ricuh. Entah bagaimana, massa yang jumlahnya lebih besar merangsek maju ke arah aparat yang berjaga, berusaha merobohkan pagar yang menjulang tinggi. Merasa terancam aparat menyemprotkan water canon disusul dengan beberapa tembakan peluru karet. Aparat membabi buta. Massa bubar, tetapi aparat tak segera mengakhiri serangannya.



“Sarah!!!” Christ memanggil Sarah, mengajak untuk segera berlari menjauhi lokasi yang chaos itu.



“Arrggghhh!!” dalam suasana genting, kaki Sarah malah terantuk batu agak besar ditambah penglihatannya yang terganggu karena matanya terkena water canon.



“Shit, gue lupa kenapa demo masih pake high heels..” keluh Sarah dalam hati. Ia mengucek matanya, berusaha mengusir perih. Seseorang menarik tangannya, supaya secepatnya menghindar dari lokasi. Ia berhasil bangkit, kemudian berusaha melepas high heelsnya agar lebih mudah berlari.



“Arggghhh!!” Sarah berteriak lagi. Sebuah peluru nyasar mengenai bagian kiri perutnya. Ia terus memegangi perutnya itu sampai di tempat yang cukup jauh dari lokasi tadi. Christ kelimpungan melihat Sarah yang kesakitan.



“Arggghhhhh!!!!”



“Somebody help me!!!”



“Aparat bangsattt!!” ia memaki sambil melemparkan high heelsnya ke arah aparat yang lewat di depannya. Berteriak parau karena campur tangisnya yang pecah.



“Sakiiiiittttt.....!!”



Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Tapi bukan berpindah alam seperti Elang, hanya saja pingsan karena kelelahan.

0 comments:

Posting Komentar

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri