Bagaimanakah Menjaga Perasaan Anak?
Ilustrasi, sumber: http://indoblog.blogdetik.com/ |
Menjaga
perasaan anak dimulai sejak dini, bahkan ketika si anak masih dalam kandungan.
Oleh karenanya, perlu untuk menjaga kondisi emosi Ibu saat hamil, agar Ibu
tidak mengalami stress, yang akhirnya berpengaruh terhadap janin. Menjaga emosi
seperti halnya menghindari hal-hal negatif seperti kata-kata, kejadian, intervensi
negatif dari lingkungan, sehingga emosi Ibu hamil lebih stabil.
Setelah anak
lahir, menyusui adalah salah satu cara untuk menjaga perasaan anak. Dengan
menyusui, membangun kedekatan antara ibu dan anak yang kemudian memunculkan
perasaan tenang dan nyaman bagi anak. Anak dengan usia di bawah satu bulan
belum bisa melihat dengan jelas, ada yang mengatakan bahwa anak dalam usia ini
baru bisa melihat objek di sekitarnya secara vertikal. Sehingga, dalam fase ini
suara-suara yang didengar menjadi suatu hal yang sangat penting. Bagi orang
tua, hindari suara membentak. Kemudian setelah anak bisa melihat,
perlihatkanlah ekspresi yang menyenangkan bagi anak.
Di masyarakat
Perancis, dikenal istilah “delayed
gratification” dimana orang tua tidak langsung mendekati anaknya ketika
menangis. Delayed gratification ini
orang tua tidak memberikan respn cepat, sehingga membuat anak menunggu untuk
beberapa saat dengan tujuan melatih kesabaran anak. Delayed gratification ini bahkan sudah dimulai sejak masa menyusui.
Menanggapi hal ini, menurut Narasumber Rolla Apnoza, delayed gratification sebaiknya dilakukan bagi anak di atas usia 2
tahun. Mengapa? Karena anak usia di bawah 2 tahun sedang dalam fase menyusui,
ketika anak menangis perlu direspon dengan segera, untuk membangun kepercayaan
(trust vs mistrust) antara anak
dengan Ibu. Jika tertunda, dikhawatirkan akan muncul rasa tidak berharga pada
diri anak. Delayed gratification sebaiknya
dimulai saat anak berusia di atas 2 tahun, dengan pertimbangan di usia ini,
anak mulai terlatih kemampuan berjalannya. Anak yang baru bisa jalan, egonya
luar biasa kerasnya.
Kemudian, untuk
anak usia balita, orang tua bisa membantu anak mengenal perasaannya. Misalnya
ketika si anak menangis, orang tua bisa menanyakan apakah si anak marah atau
sedih. Dengan menyebutkan label emosi (sedih atau marah, dsb), membantu orang
tua untuk mengetahui perasaan anaknya, dan anak juga bisa mengekspresikan
emosinya dengan baik. Ketika anak sudah mengerti tentang emosinya, orang tua
menjadi tahu kapan seharusnya marah atau tidak.
Difficult,
Easy, And Slow to Warm Up Child
Dalam memahami
emosi anak, perlu diketahui mengenai karakter anak yang berbeda-beda. Dalam
psikologi dikenal dengan kategori: easy
child, difficult child, dan slow to warm up. Kategori easy child, anak cenderung mudah
beradaptasi dengan hal baru dan mudah bersosialisasi. Difficult child, anak cenderung sulit beradaptasi dengan hal baru.
Jika menangis, maka sulit ditenangkan. Dan slow
to warm up, berada di antara dua kategori ini.
Membedakan
antara easy child dan difficult child adalah misalnya, jika
orang tua memberikan ekspresi kaget dan berteriak, anak easy cenderung tidak terlalu kaget. Tetapi, anak difficult akan cenderung ketakutan dan
menangis histeris. Jika si orang tua mengucapkan kata yang kurang baik, anak easy cenderung akan cepat melupakan,
sedangkan anak difficult akan
mengingatnya, cenderung sakit hati. Kemudian menanggapi orang tua yang sedang
marah, anak easy bisa saja berujar “Mamah kok marah-marah terus?”, sedangkan
anak difficult bisa menangis, diam di
pojokan. Ciri lain dari anak kategori difficult yaitu sering menunjukkan emosi
negatif, kesulitan dalam menerima perubahan baru, makan dan tidur yang tidak
teratur, lambat menerima makanan baru, curiga terhadap orang baru dikenal,
proses adaptasi yang lama saat berhadapan dengan lingkungan dan orang baru.
Kapankah Ortu Perlu Marah dan Bagaimana
Mengendalikan Emosi?
“Marah bukan
berarti tidak sayang, dan sayang bukan berarti tidak marah. Namun, terlalu
sering marah-marah dengan alasan sayang, atau tidak pernah marah dengan alasan
sayang juga bukanlah sikap yang bijak”. Dalam pengasuhan anak, banyak hal yang
mungkin dapat memicu kemarahan orang tua, tinggal bagaimana orang tua bisa
menentukan kapan harus marah, dan dengan cara seperti apa.
Kapan orang tua
harus marah? Menurut Kiki Barkiah, belajar dari kehidupan Rasulullah SAW,
Rasulullah marah karena Allah, marah pada alasan-alasan yang berkaitan dengan
pelanggaran syariat. Islam sendiri menganjurkan pentingnya menahan amarah,
bahkan menempatkannya sebagai salah satu ciri orang yang beriman. Sebagaimana
yang tercantum dalam Al-Imran 134 “(yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Lalu
bagaimanakah cara mengendalikan emosi/marah? Berikut beberapa hadist yang
berkaitan dengan cara kita mengendalikan marah:
1.
Membaca taawudz. Sungguh saya mengetahui ada
satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia
membaca ta’awudz: A’-uudzu billahi minas syaithanir rajiim,
marahnya akan hilang. (HR. Bukhari dan Muslim) . Rasulullah SAW bersabda,
“Ajarilah, permudahlah, dan jangan menyusahkan. Apabila salah seorang dari
kalian marah, hendaklah ia diam.” (HR Ahmad)
2.
Mengubah posisi tubuh
apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena
dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil
posisi tidur. (HR. Ahmad 21348, Abu Daud 4782 dan perawinya dinilai shahih oleh
Syuaib Al-Arnauth).
3.
Mengingat keutamaan
mengendalikan amarah “Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu
meluapkannya, maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari
kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki.
(HR. Abu Daud, Turmudzi, dan dihasankan Al-Albani)
4.
Berwudhu. Sesungguhnya
marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan
dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu. (HR. Ahmad 17985 dan
Abu Daud 4784)
5. Bersujud. Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam
hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat
darah di lehernya? Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah ia
menempelkan pipinya dengan tanah (sujud)." (HR Tirmidzi).
Menurut Kiki Barkiah, menjaga perasaan anak pada dasarnya
sama dengan adab kita dalam memperlakukan manusia pada umumnya. Sebagaimana
kita yang tidak suka dibohongi, diancam, diabaikan, diremehkan, tidak suka jika
orang lain fokus pada kesalahan kita, padahal banyak hal positif yang sudah
diikhtiarkan, kita juga tidak suka kesalahan kita diungkit-ungkit, tidak suka
dihina/direndahkan, tidak suka jika orang lain marah dengan cara yang
berlebihan, kita tidak suka dituntut berubah secara instan, tidak suka bila
tidak didengar, kita tidak suka bila semua hal yang kita mau dilarang, akan
lebih suka jika mendapat penjelasan tentang apa yang boleh dan tidak boleh, dan
alasan mengapa hal tersebut dilarang. Kita tidak suka dicurigai, kita tidak
suka dibanding-bandingkan, kita tidak suka diperlakukan dengan sarkas, tentu
manusia suka diperlakukan dengan penuh cinta .
Kemudian juga penting memperlakukan anak dengan kacamata
usia dan menyesuaikan dengan tahapan perkembangan mereka, bukan dengan kacamata
status mereka dalam keluarga, apakah anak pertama, terakhir, tunggal, atau anak
kembar. Ketika menggunakan kacamata apakah sulung, atau bungsu, dikhawatirkan
misalnya orang tua masih menganggap anak sebagai anak “bungsu” disaat si anak
sudah beranjak dewasa.
Apakah anak yang
temperamental (mudah marah) merupakan bawaan (hereditas) dari orang tua? Temperamen sebagian besar merupakan bawaan (hereditas), ini
tidak berarti bahwa temperamen telah terbentuk sempurna ketika lahir. Temperamen
berkembang seiring dengan munculnya beragam emosi dan kemampuan mengatur diri
dan dapat berubah setelah merespon sikap dan penanganan pengasuhan. Nah di
sinilah peran orang tua dalam membentuk perilaku anak dalam pola pengasuhan.
Bagaimana dengan system punishment?
Terkadang punishment ini bertahan
tidak lama di anak, bahkan anak yang cenderung punya agresivitas tinggi ketika mendapatkan
punishment
malah cenderung melawan. Cara terbaik adalah dengan memberi reward, jika perilaku negative muncul, orang
tua bisa mengabaikan atau mengambil kesenangan anak.
Tips bagi orang
tua agar bisa menjaga emosi dalam rangka menjaga perasaan anak adalah berlatih
untuk sabar. Banyak istigfar (bagi muslim), atau cobalah untuk menenangkan diri
sejenak, setelah tenang baru kemudian menghadapi anak lagi.
Menjaga Perasaan Anak dalam Dunia
Pertemanannya
Bagaimana
menjaga perasaan anak ketika bermain dengan teman sebaya? Terkadang ada
iri-irian, rebutan, pengucilan, didorong, dipukul teman, dan sebagainya.
Sebetulnya ini sangat wajar terjadi pada anak-anak, karena egosentris anak yang
masih tinggi. Orang tua tidak perlu frustasi saat anak sulit untuk dinasihati,
ketika anak dalam situasi tenang, orang tua bisa menasihati dengan cara
sesimple mungkin, atau dengan menggunakan media dongeng.
*Notulensi diskusi Grup Pendidikan Parenting Forum Indonesia Muda.
Narasumber: Kiki Barkiah, Rolla Apnoza
Notulen taker: Asri Nuraeni
Narasumber: Kiki Barkiah, Rolla Apnoza
Notulen taker: Asri Nuraeni
Keren bgt teh artikelnya :)
BalasHapusmenurut saya paling susah dalam memahami emosi anak
BalasHapus