Minggu, 29 Maret 2015

Bagaimanakah Menjaga Perasaan Anak?

Ilustrasi, sumber: http://indoblog.blogdetik.com/
Sebagaimana orang dewasa, anak-anak juga memiliki perasaan. Bahkan emosi anak berbeda-beda sesuai dengan perkembangan usianya.  Lalu, bagaimanakah menjaga perasaan anak?

Menjaga perasaan anak dimulai sejak dini, bahkan ketika si anak masih dalam kandungan. Oleh karenanya, perlu untuk menjaga kondisi emosi Ibu saat hamil, agar Ibu tidak mengalami stress, yang akhirnya berpengaruh terhadap janin. Menjaga emosi seperti halnya menghindari hal-hal negatif seperti kata-kata, kejadian, intervensi negatif dari lingkungan, sehingga emosi Ibu hamil lebih stabil.

Setelah anak lahir, menyusui adalah salah satu cara untuk menjaga perasaan anak. Dengan menyusui, membangun kedekatan antara ibu dan anak yang kemudian memunculkan perasaan tenang dan nyaman bagi anak. Anak dengan usia di bawah satu bulan belum bisa melihat dengan jelas, ada yang mengatakan bahwa anak dalam usia ini baru bisa melihat objek di sekitarnya secara vertikal. Sehingga, dalam fase ini suara-suara yang didengar menjadi suatu hal yang sangat penting. Bagi orang tua, hindari suara membentak. Kemudian setelah anak bisa melihat, perlihatkanlah ekspresi yang menyenangkan bagi anak.

Di masyarakat Perancis, dikenal istilah “delayed gratification” dimana orang tua tidak langsung mendekati anaknya ketika menangis. Delayed gratification ini orang tua tidak memberikan respn cepat, sehingga membuat anak menunggu untuk beberapa saat dengan tujuan melatih kesabaran anak. Delayed gratification ini bahkan sudah dimulai sejak masa menyusui. Menanggapi hal ini, menurut Narasumber Rolla Apnoza, delayed gratification sebaiknya dilakukan bagi anak di atas usia 2 tahun. Mengapa? Karena anak usia di bawah 2 tahun sedang dalam fase menyusui, ketika anak menangis perlu direspon dengan segera, untuk membangun kepercayaan (trust vs mistrust) antara anak dengan Ibu. Jika tertunda, dikhawatirkan akan muncul rasa tidak berharga pada diri anak. Delayed gratification sebaiknya dimulai saat anak berusia di atas 2 tahun, dengan pertimbangan di usia ini, anak mulai terlatih kemampuan berjalannya. Anak yang baru bisa jalan, egonya luar biasa kerasnya.

Kemudian, untuk anak usia balita, orang tua bisa membantu anak mengenal perasaannya. Misalnya ketika si anak menangis, orang tua bisa menanyakan apakah si anak marah atau sedih. Dengan menyebutkan label emosi (sedih atau marah, dsb), membantu orang tua untuk mengetahui perasaan anaknya, dan anak juga bisa mengekspresikan emosinya dengan baik. Ketika anak sudah mengerti tentang emosinya, orang tua menjadi tahu kapan seharusnya marah atau tidak.

Difficult, Easy, And Slow  to Warm Up Child
Dalam memahami emosi anak, perlu diketahui mengenai karakter anak yang berbeda-beda. Dalam psikologi dikenal dengan kategori: easy child, difficult child, dan slow to warm up. Kategori easy child, anak cenderung mudah beradaptasi dengan hal baru dan mudah bersosialisasi. Difficult child, anak cenderung sulit beradaptasi dengan hal baru. Jika menangis, maka sulit ditenangkan. Dan slow to warm up, berada di antara dua kategori ini.

Membedakan antara easy child dan difficult child adalah misalnya, jika orang tua memberikan ekspresi kaget dan berteriak, anak easy cenderung tidak terlalu kaget. Tetapi, anak difficult akan cenderung ketakutan dan menangis histeris. Jika si orang tua mengucapkan kata yang kurang baik, anak easy cenderung akan cepat melupakan, sedangkan anak difficult akan mengingatnya, cenderung sakit hati. Kemudian menanggapi orang tua yang sedang marah, anak easy bisa saja berujar “Mamah kok marah-marah terus?”, sedangkan anak difficult bisa menangis, diam di pojokan. Ciri lain dari anak kategori difficult yaitu sering menunjukkan emosi negatif, kesulitan dalam menerima perubahan baru, makan dan tidur yang tidak teratur, lambat menerima makanan baru, curiga terhadap orang baru dikenal, proses adaptasi yang lama saat berhadapan dengan lingkungan dan orang baru.

Kapankah Ortu Perlu Marah dan Bagaimana Mengendalikan Emosi?
“Marah bukan berarti tidak sayang, dan sayang bukan berarti tidak marah. Namun, terlalu sering marah-marah dengan alasan sayang, atau tidak pernah marah dengan alasan sayang juga bukanlah sikap yang bijak”. Dalam pengasuhan anak, banyak hal yang mungkin dapat memicu kemarahan orang tua, tinggal bagaimana orang tua bisa menentukan kapan harus marah, dan dengan cara seperti apa.

Kapan orang tua harus marah? Menurut Kiki Barkiah, belajar dari kehidupan Rasulullah SAW, Rasulullah marah karena Allah, marah pada alasan-alasan yang berkaitan dengan pelanggaran syariat. Islam sendiri menganjurkan pentingnya menahan amarah, bahkan menempatkannya sebagai salah satu ciri orang yang beriman. Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Imran 134 “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Lalu bagaimanakah cara mengendalikan emosi/marah? Berikut beberapa hadist yang berkaitan dengan cara kita mengendalikan marah:

1.       Membaca taawudz. Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awudz: A’-uudzu billahi minas syaithanir rajiim, marahnya akan hilang. (HR. Bukhari dan Muslim) . Rasulullah SAW bersabda, “Ajarilah, permudahlah, dan jangan menyusahkan. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam.” (HR Ahmad)

2.       Mengubah posisi tubuh apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur. (HR. Ahmad 21348, Abu Daud 4782 dan perawinya dinilai shahih oleh Syuaib Al-Arnauth).

3.       Mengingat keutamaan mengendalikan amarah “Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu meluapkannya, maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki. (HR. Abu Daud, Turmudzi, dan dihasankan Al-Albani)

4.       Berwudhu. Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu. (HR. Ahmad 17985 dan Abu Daud 4784)

5.       Bersujud. Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya? Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah ia menempelkan pipinya dengan tanah (sujud)." (HR Tirmidzi).

Menurut Kiki Barkiah, menjaga perasaan anak pada dasarnya sama dengan adab kita dalam memperlakukan manusia pada umumnya. Sebagaimana kita yang tidak suka dibohongi, diancam, diabaikan, diremehkan, tidak suka jika orang lain fokus pada kesalahan kita, padahal banyak hal positif yang sudah diikhtiarkan, kita juga tidak suka kesalahan kita diungkit-ungkit, tidak suka dihina/direndahkan, tidak suka jika orang lain marah dengan cara yang berlebihan, kita tidak suka dituntut berubah secara instan, tidak suka bila tidak didengar, kita tidak suka bila semua hal yang kita mau dilarang, akan lebih suka jika mendapat penjelasan tentang apa yang boleh dan tidak boleh, dan alasan mengapa hal tersebut dilarang. Kita tidak suka dicurigai, kita tidak suka dibanding-bandingkan, kita tidak suka diperlakukan dengan sarkas, tentu manusia suka diperlakukan dengan penuh cinta .

Kemudian juga penting memperlakukan anak dengan kacamata usia dan menyesuaikan dengan tahapan perkembangan mereka, bukan dengan kacamata status mereka dalam keluarga, apakah anak pertama, terakhir, tunggal, atau anak kembar. Ketika menggunakan kacamata apakah sulung, atau bungsu, dikhawatirkan misalnya orang tua masih menganggap anak sebagai anak “bungsu” disaat si anak sudah beranjak dewasa.

Apakah anak yang temperamental (mudah marah) merupakan bawaan (hereditas) dari orang tua? Temperamen sebagian besar merupakan bawaan (hereditas), ini tidak berarti bahwa temperamen telah terbentuk sempurna ketika lahir. Temperamen berkembang seiring dengan munculnya beragam emosi dan kemampuan mengatur diri dan dapat berubah setelah merespon sikap dan penanganan pengasuhan. Nah di sinilah peran orang tua dalam membentuk perilaku anak dalam pola pengasuhan.

Bagaimana dengan system punishment? Terkadang punishment ini bertahan tidak lama di anak, bahkan anak yang cenderung punya agresivitas tinggi ketika mendapatkan  punishment malah cenderung melawan. Cara terbaik adalah dengan memberi reward, jika perilaku negative muncul, orang tua bisa mengabaikan atau mengambil kesenangan anak.

Tips bagi orang tua agar bisa menjaga emosi dalam rangka menjaga perasaan anak adalah berlatih untuk sabar. Banyak istigfar (bagi muslim), atau cobalah untuk menenangkan diri sejenak, setelah tenang baru kemudian menghadapi anak lagi.

Menjaga Perasaan Anak dalam Dunia Pertemanannya

Bagaimana menjaga perasaan anak ketika bermain dengan teman sebaya? Terkadang ada iri-irian, rebutan, pengucilan, didorong, dipukul teman, dan sebagainya. Sebetulnya ini sangat wajar terjadi pada anak-anak, karena egosentris anak yang masih tinggi. Orang tua tidak perlu frustasi saat anak sulit untuk dinasihati, ketika anak dalam situasi tenang, orang tua bisa menasihati dengan cara sesimple mungkin, atau dengan menggunakan media dongeng. 

*Notulensi diskusi Grup Pendidikan Parenting Forum Indonesia Muda. 
Narasumber: Kiki Barkiah, Rolla Apnoza
Notulen taker: Asri Nuraeni

2 komentar:

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri