Buku Sipadecengi, Oleh-oleh dari Sulsel
Makassar, November 2014 until February 2015.
November saya mulai menginjakkan
kaki di bumi Sulawesi Selatan, tepatnya di kota pesisir Makassar. Panas
matahari berikut udara berdebu menyambut kedatangan saya. Saat itu kemarau
masih menerjang, hingga tambak-tambak yang saya temui kering kerontang. Jangankan
air untuk tambak, di pesisir Kabupaten Pangkep yang saat itu saya datangi,
kesulitan air untuk kebutuhan MCK, masak, dan minum. Namun kemarau tidak hanya
menyisakan kering, di sore hari ia menyisakan pemandangan langit yang luar
biasa indah. Semburat kuning keemasan dari matahari terbenam, yang seringkali
mengingatkanku akan sanak saudara di kampung halaman. Juga berujar, sedang apa
Mamak di kampung yang satu jam lebih lambat menjelang sore.
Saya dianugerahi pekerjaan yang
luar biasa patut disyukuri. Menulis dan jalan-jalan. Jalan-jalan dalam arti
harfiah, dimana saya berpindah dari daerah pesisir satu ke pesisir lainnya.
Daerah itu bernama Pangkep, Barru, Maros, dan Takalar. Bahkan berkesempatan
mengunjungi sebuah pulau yang terpisah dari daratan Sulsel, bernama Pulau
Tanakeke. Di salah satu dusun di Pulau Tanakeke, yaitu dusun Tompotana, listrik
hanya ada dari jam 7 hingga 10 malam. Sepulang dari Pulau kami bertemu badai, langit
dari arah Selatan menunjukkan awan hitam bergulung-gulung. Sembari pasrah jika
itu ternyata perjalanan saya yang terakhir.
Atau perjalanan syahdu lainnya.
Menuju sebuah dusun di Kabupaten Maros, Desa Nisombalia. Dusun terpencil,
dimana motor yang kami naiki harus melewati jalanan berbatu membelah hamparan
kawasan bekas tambak. Jangan bayangkan ada banyak rumah penduduk, tak satupun
rumah penduduk kami temui. Hanya tambak-tambak yang mulai digenangi air saat
musim penghujan mulai datang. Kami sampai di Dusun Kuri Caddi saat senja mulai
tiba, dan pulang saat malam sudah menjelang. Menyaksikan bagaimana ombak
menempas batu-batu nisan pekuburan warga dan menggenangi jalan yang kami
lewati. Banjir! Tambak yang banjir saat air laut naik.
Pekerjaan ini membawa saya
mengenal orang-orang desa yang menyenangkan. Hidup dengan cara sederhana,
kemudian bahagia. Dan selalu mengingatkan bagaimana hidup saya sedari kecil hingga remaja saat di kampung halaman.
Sampai 26 Februari 2015 kemarin,
buku berjudul “Sipadecengi” diluncurkan. “Sipadecengi” dalam Bahasa Bugis yang
berarti saling membangun saling memperbaiki. Buku ini berisi tentang best practice dari program Restoring Coastal Livelihood (lihat: www.rcl.or.id). Program perbaikan penghidupan
pesisir yang diinisiasi oleh Oxfam dan didanai oleh Canadian International
Development Agency (CIDA) yang fokus di 4 Kabupaten pesisir di Sulsel. Sampai
saat ini RCL sudah 5 tahun mendampingi warga, mendorong mereka agar ekonominya
meningkat dengan memberdayakan potensi pesisir.
Walaupun saya tak hadir dalam
peluncuran buku tersebut (karena sudah pulang ke Jawa), semoga buku ini bisa
bermanfaat bagi warga (4 Kabupaten: Pangkep, Barru, Maros, dan Takalar),
pemerintah, dan aktivis NGO.
Ini dia penampakan bukunya :) |
0 comments:
Posting Komentar
Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)