Selasa, 03 Maret 2015

Buku Sipadecengi, Oleh-oleh dari Sulsel

Makassar, November 2014 until February 2015.

Launching Buku Sipadecengi, Makassar 26 Feb 2015. Kiri ke Kanan: Pak Syahrul (Manager BUM Desa Sipurennu), Pak Rusman (Perwakilan Kelompok Usaha Pengupasan Kepiting Ujung Parappa), Harlina (Bendahara BUM Desa Sipurennu), dan Ibu Caroline dari BAKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Indonesia Timur). 

November saya mulai menginjakkan kaki di bumi Sulawesi Selatan, tepatnya di kota pesisir Makassar. Panas matahari berikut udara berdebu menyambut kedatangan saya. Saat itu kemarau masih menerjang, hingga tambak-tambak yang saya temui kering kerontang. Jangankan air untuk tambak, di pesisir Kabupaten Pangkep yang saat itu saya datangi, kesulitan air untuk kebutuhan MCK, masak, dan minum. Namun kemarau tidak hanya menyisakan kering, di sore hari ia menyisakan pemandangan langit yang luar biasa indah. Semburat kuning keemasan dari matahari terbenam, yang seringkali mengingatkanku akan sanak saudara di kampung halaman. Juga berujar, sedang apa Mamak di kampung yang satu jam lebih lambat menjelang sore.

Saya dianugerahi pekerjaan yang luar biasa patut disyukuri. Menulis dan jalan-jalan. Jalan-jalan dalam arti harfiah, dimana saya berpindah dari daerah pesisir satu ke pesisir lainnya. Daerah itu bernama Pangkep, Barru, Maros, dan Takalar. Bahkan berkesempatan mengunjungi sebuah pulau yang terpisah dari daratan Sulsel, bernama Pulau Tanakeke. Di salah satu dusun di Pulau Tanakeke, yaitu dusun Tompotana, listrik hanya ada dari jam 7 hingga 10 malam.  Sepulang dari Pulau kami bertemu badai, langit dari arah Selatan menunjukkan awan hitam bergulung-gulung. Sembari pasrah jika itu ternyata perjalanan saya yang terakhir.

Atau perjalanan syahdu lainnya. Menuju sebuah dusun di Kabupaten Maros, Desa Nisombalia. Dusun terpencil, dimana motor yang kami naiki harus melewati jalanan berbatu membelah hamparan kawasan bekas tambak. Jangan bayangkan ada banyak rumah penduduk, tak satupun rumah penduduk kami temui. Hanya tambak-tambak yang mulai digenangi air saat musim penghujan mulai datang. Kami sampai di Dusun Kuri Caddi saat senja mulai tiba, dan pulang saat malam sudah menjelang. Menyaksikan bagaimana ombak menempas batu-batu nisan pekuburan warga dan menggenangi jalan yang kami lewati. Banjir! Tambak yang banjir saat air laut naik.

Pekerjaan ini membawa saya mengenal orang-orang desa yang menyenangkan. Hidup dengan cara sederhana, kemudian bahagia. Dan selalu mengingatkan bagaimana hidup saya sedari kecil hingga remaja saat di kampung halaman.

Sampai 26 Februari 2015 kemarin, buku berjudul “Sipadecengi” diluncurkan. “Sipadecengi” dalam Bahasa Bugis yang berarti saling membangun saling memperbaiki. Buku ini berisi tentang best practice dari program Restoring Coastal Livelihood (lihat: www.rcl.or.id). Program perbaikan penghidupan pesisir yang diinisiasi oleh Oxfam dan didanai oleh Canadian International Development Agency (CIDA) yang fokus di 4 Kabupaten pesisir di Sulsel. Sampai saat ini RCL sudah 5 tahun mendampingi warga, mendorong mereka agar ekonominya meningkat dengan memberdayakan potensi pesisir.

Walaupun saya tak hadir dalam peluncuran buku tersebut (karena sudah pulang ke Jawa), semoga buku ini bisa bermanfaat bagi warga (4 Kabupaten: Pangkep, Barru, Maros, dan Takalar), pemerintah, dan aktivis NGO. 

Ini dia penampakan bukunya :)

0 comments:

Posting Komentar

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri