Selasa, 23 September 2014

Cerita Di Balik Penerima Paramadina Fellowship



Saat saya menulis postingan ini, alhamdulillah saya sudah lulus. Terhitung sejak 8 Juli 2014 kemarin. Sewaktu ngobrol-ngobrol di kantin dengan teman-teman di kantor, saya sedikit cerita bahwa saya dan beberapa kawan harus segera hengkang dari asrama di akhir Agustus. Syukur saya sudah menemukan tempat baru (kosan) yang cocok di hati. Nyari kosan ibarat nyari jodoh ya, susah-susah gampang. Kadang susah kadang gampang nyari yang klop di hati. *Maaf ini malah curhat :)

“Kok diusir?” tanya teman saya.
“Memangnya nggak bisa diperpanjang?” tanyanya kemudian. Saya sampaikan lah bahwa saya tinggal di asrama selama kurun waktu 4 tahun. Dapat privilege tinggal di asrama secara gratis, plus dikasih living cost, termasuk biaya kuliah, karena saya beruntung dapat Paramadina Fellowship. Maka percakapan selanjutnya adalah tentang bagaimana bisa saya dapat beasiswa tersebut.

Oke, saya cerita sedikit yaa..

Kenalkan, saya Asri. Saya lahir, dan besar di sebuah daerah di Jawa Barat bagian selatan. Tepatnya Kabupaten Ciamis. Kabupaten ini sudah berbatasan dengan Cilacap, Jawa Tengah. Jadi kalau mengukur Ciamis dari Jakarta, kurang lebih 7-9 jam perjalanan dengan menggunakan bus. Nah, seperti saya katakan tadi, sampai sekolah di SMA saya masih di Ciamis. Mulailah sejak kelas 2 SMA saya bingung hendak berkuliah di mana. 

Dulu, maunya berkuliah di Yogyakarta. Saya pun mendaftar di beberapa universitas, 
kenyataannya: universitas yang saya pilih tidak memilih saya, dan ada yang memilih saya tetapi saya tidak memilihnya. Sampai pada suatu fase dimana saya benar-benar bingung. Bingung, karena motivasi untuk berkuliah sangat tinggi, tetapi melihat kemampuan finansial keluarga sepertinya belum memungkinkan. Sampai saya mendaftarkan diri di salah satu universitas di Bandung. Walaupun universitas ini tidak masuk kategori favorit anak SMA, saya tetap daftar. Motivasi sederhananya sih, karena keinginan untuk keluar dari Ciamis, belasan tahun saya di sana, dan tentu saya ingin tahu bagaimana belajar di tempat orang. Singkat cerita, saya mulai berkuliah di Bandung di jurusan Fisika.

Kenangan yang paling saya ingat saat berkuliah di Bandung adalah teman-teman sekelas yang baik hati, kami akrab satu sama lain. Ini kenangan manisnya. Kenangan tidak mengenakkan-yang sekarang saya sering menertawakannya, yaitu saya sering jalan kaki pergi ke kampus dan pulang dari kampus. Untuk menghemat pengeluaran. Saya pun menjadi guru bimbel untuk 1 orang anak SD, dan 1 orang anak SMA, supaya saya dapat tambahan penghasilan. 

Karena kiriman uang dari orang tua seringkali tidak pasti, dan sebenarnya tidak enak hati meminta beasiswa dari orang tua terus menerus. Situasi yang seperti ini agak menyulitkan, karena harus membagi-bagi waktu untuk belajar (ingat, jurusan yang saya pilih tidak mudah-menurut saya) dan membagi waktu untuk bekerja.

Kemudian saya ingat  tentang Paramadina Fellowship yang satu tahun sebelumnya saya belum sempat apply. Beberapa bulan sebelum pendaftaran dibuka, saya sudah mulai mempersiapkan diri. Saya mulai rajin membaca koran, untuk update isu-isu yang sedang ramai. Saat itu tahun 2010, sedang ramai Isu tentang Israel-Palestina, dan poligami salah seorang ustadz. Mengapa saya malah rajin update info lewat koran? Karena menurut kakak kelas yang sudah lebih dulu menerima Paramadina Fellowship, dalam tahap seleksi biasanya ada Focus Group Discussion (FGD).

Selain itu, persiapan yang saya lakukan adalah latihan menulis esai. Draft esai saya buat sebanyak 2 lembar halaman kertas polio. Dan saya minta salah satu kakak kelas disana untuk membacanya. Dan, menurut komentarnya esai saya sangat sangat tidak layak baca. Buang aja ke tong sampah itu mah! Begitu katanya. Saya tak patah arang, saya mencoba lagi dan lagi sesuai dengan tema esai yang disyaratkan dalam seleksi.

Paramadina Fellowship biasanya terdiri dari dua tahap seleksi.
  1. Tahap pertama adalah seleksi berkas. Berkas terdiri dari fotokopi raport, ijazah, formulir pendaftaran, rekomendasi dari dua orang tokoh (salah satunya bisa dari kepala sekolah SMA), disertai dengan sertifikat/piagam dari kegiatan non-akademik/akademik yang diikuti sewaktu SMA.

  2. Setelah lolos dari tahap pertama, seleksi selanjutnya adalah PEPT (Paramadina English Proficiency Test) semacam TOEFL, FGD (Focus Group Discussion), Psikotest, dan terakhir wawancara.
Seleksi tahap dua biasanya dilakukan di masing-masing provinsi. Pada saat saya mengikuti seleksi PF di tahun 2010, seleksi tahap dua dilaksanakan di Bandung. Banyak peserta dari Jawa Barat yang mengikuti seleksi ini, saat itu sekitar 40an peserta. Banyaknya peserta ini sempat membuat saya keder, karena terlihat mereka begitu percaya diri dengan beragam prestasi yang dimiliki masing-masing. Tetapi, saya tidak terlalu ambil pusing. Toh saya sudah mempersiapkan ini dari jauh beberapa bulan sebelumnya.

Hasil penerima PF pun kemudian diumumkan melalui website Paramadina, nama peserta diurutkan berdasarkan jurusan. Yang pertama muncul adalah nama adik kelas saya sewaktu SMP, aduh..saya makin deg-degan. Gengsi senioritas saya muncul dong, masa adik kelas saya diterima, trus saya enggak :( Saya scroll ke bawah, sampai di daftar penerima beasiswa dari jurusan Ilmu Komunikasi. Alhamdulillah, nama saya tertulis di sana. 

Saya pun senyum-senyum sendiri keluar dari warnet. Saya pun mengabari orang tua saya yang tinggal di Ciamis, Ibu saya seperti tidak percaya. Yang lucu adalah malam itu sama sekali saya tidak bisa memejamkan mata, karena saking bahagianya.


Apa saja yang didapat dari beasiswa ini?
  1. Biaya Kuliah

  2. Biaya Kemahasiswaan

  3. Living Cost (1 jt/bulan)

  4. Asrama

  5. Uang buku/semester
Tentu fasilitas ini didapat dengan syarat, IP minimal 3,25. Ini standar pas angkatan saya, makin kesini, standar IPnya makin naik :)

Yang unik dari Paramadina Fellowship adalah, masing-masing individu penerima fellowship dikenalkan dengan donornya. Donor saya sendiri adalah Pak Benny Subianto. Pak Benny adalah orang terkaya ke-37 di Indonesia versi Majalah Forbes. Beliau juga memiliki saham di Triputra Gorup dan Adaro Energy. Nama donor juga boleh disematkan dalam nama penerima fellowship, misalnya seperti nama saya:Asri Nuraeni Paramadina Benny Subianto Fellow, tetapi penyematan nama ini sebenarnya tidak diwajibkan.

Benny Subianto (Sumber: http://b-i.forbesimg.com)
Benny Subianto (Sumber: http://b-i.forbesimg.com)
Jujur, saya dan beberapa kawan lain yang didonori oleh Pak Benny, baru bertemu satu kali dengan beliau. Saat bertemu dengan beliau di awal tahun 2011, kami sempat menanyakan satu hal. “Apa yang bapak harapkan dari kami?” Karena berdasar informasi dari kampus, tidak ada kewajiban bagi penerima fellowship setelah lulus kuliah, misalnya mengabdi sekian tahun di perusahaan donor”.

Jawaban dari Pak Benny, harapan beliau adalah kami belajar dengan sebaik-baiknya, dan kelak suatu hari ketika sudah sukses seperti beliau, tirulah apa yang beliau lakukan. Menghidupkan budaya filantropi: memberi beasiswa-beasiswa kepada generasi bangsa. Dalam hati saya berujar, sungguh mulia apa yang dilakukan beliau, saya yang bukan siapa-siapa ini bisa menikmati belajar di perguruan tinggi. Semoga gusti Allah membalas semua kebaikan beliau.

Ya, saya mulai kuliah di September 2010, dan Juli 2014 saya lulus.
Kuliah bagi saya dulu, seperti hal yang mustahil. Tapi ternyata Tuhan memeluk mimpi-mimpiku. Saya masih ingat dengan pepatah yang selalu didengungkan oleh guru Bahasa Inggris saya sewaktu SMP.

Where there is a will, there is a way.

Mampang, 3 September 13.43
Pertamakali di posting di Kompasiana




1 komentar:

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri