Rabu, 22 Januari 2014

Kata Orang Saya (Terlambat) Menikah

Ini cerita tentang perempuan muda urban, dari tempatnya dibesarkan dia hijrah ke kota besar untuk menimba ilmu. Setelah beberapa tahun berlalu, ia pun sampai pada tahap akhir menyelesaikan studinya. Suatu hari ditengah kesibukannya dikota (kebetulan perempuan muda ini sok sibuk), menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya.

Yang berkesan dari beberapa hari yang ia lalui di kampung, ada beberapa hal yang terkesan berulang. Hampir semua orang yang ia temui membahas/menanyakan hal yang sama. Kamu sendiri pasti sudah bisa menebak, tentang apa pembahasan itu. Tentang menikah gan! Sekali lagi, tentang menikah gan! *biasa aja kalii


Kembali lagi ke cerita perempuan tadi, saat malam hari ditengah perbincangan nya dengan Ibunya, si Ibu menanyakan..adakah atau siapa laki-laki yang sedang dekat dengan anak perempuannya itu. Si anak menjawab, dirinya sedang 'jomblo' sambil cengengesan-menganggap pembicaraan ini ringan, seringan mengunyah kacang rebus. Bagi beberapa orang, keyakinan mengenai status jomblo ini memang beragam, dan bagi perempuan ini terminologi 'jomblo' disana adalah pilihan. Tapi, entah kenapa Ibunya malah memasang raut cemas, campur iba. Pesan Ibunya, 'jangan terlalu pemilih!'

Di hari lain, perempuan ini bertemu dengan Ibu-Ibu muda yang masih bertetangga dengannya. Percakapan yang bukan basa-basi, menanyakan bgaimana studinya, dan akhirnya sampe juga di pembahasan kapan menikah. Ibu muda ini secara tidak langsung, menyampaikan urgensitas menikah setelah kelulusan si perempuan ini.
Kemudian, di hari lain, perempuan muda urban ini bertemu dengan teman lama, teman sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar. Temannya jelas sudah menikah, karena memang tidak ada prioritas lain baginya (karena memang tidak meneruskan sekolah selepas SD). Sama dengan yang lainnya, pembahasannya adalah tentang menikah, tetapi kali ini berbeda, ternyata teman SD-nya ini malah mendorongnya untuk menikmati masa-masa single dan prioritaskan studinya. 

Nah, kawan-kawan blogger, perempuan muda sok urban ini adalah saya sendiri. Sebenarnya, cerita atau narasi-narasi yang mengangkat tema pernikahan sudah biasa, apalagi jika itu dibahas oleh perempuan muda yg merasa dirinya terlambat menikah. Ups, tahan dulu. Terlambat menikah dalam persepsi masyarakat yg biasanya perempuan menikah cepat. Menikah cepat yg saya maksud adalah menikah di bawah usia 23, dan menikah terlambat berarti di atas 23 tahun. Tapi, artikel ini saya posting bukan sebagai bentuk pembelaan atas situasi saya saat ini, kenapa artikel ini saya posting, saya hanya sekedar mencoba memahami bagaimana pernikahan dalam perspektif yang berbeda, dan menunggu bagaimana komentar teman-teman blogger mengenai topik ini. 

Ada beberapa kondisi yang pernah saya alami dalam menyikapi tema pernikahan ini: 
  1. kondisi siaga 1 (merasa ketar-ketir), 
  2. kondisi waspada (merasa khawatir), dan 
  3. kondisi aman (merasa biasa-biasa saja, feeling good). 
Setelah menginjak usia 23, saya pernah melewati fase siaga 1, fase waspada, dan saat menulis postingan ini saya merasa biasa-biasa saja, and i'm feeling good.



Di belahan Indonesia lainnya atau perempuan-perempuan lainnya setanah air, di rentang usia after 23, mungkin (ini masih asumsi saya) mengalami kondisi yang sama, mulai dari ketar-ketir, khawatir, atau biasa-biasa saja menanggapi anggapan masyarakat tentang perempuan yg terlambat menikah.

Lalu, apa yg bisa membuat saya yg tadinya ketar-ketir menjadi (sedikit) bijak menyikapi ini semua? *ciee..berasa it is the biggest problem in the world.

Pertama, saya mikir..menikah karena dorongan dari orang lain, dan bukan karena kehendak sendiri bukannya malah itu menyedihkan ya? 

Kedua, saya banyak bertemu dengan perempuan-perempuan dengan usia after 23 belum menikah. Saya melihat mereka belum menikah ya karena memang belum bertemu dengan jodohnya, bukan karena terlalu pemilih dan alasan-alasan lain yang menjustifikasi/menyalahkan mereka. Kalau dipikir-pikir nih ya, ga ada memang yang namanya manusia sempurna, pasti ada aja kekurangannya. Tapi, dalam menentukan siapa yang pas jadi partner hidup kita bukan berarti comot asal gitu aja kan? 

Ketiga, membandingkan antara nikah muda dengan nikah (tidak muda). Sebenernya kalau ditanya saya mau milih mana, ya saya sih maunya nikah muda..nikah sebelum usia menginjak 23 lah ya. Nikah muda beberapa point ada positifnya seperti: 1) meminimalisir hubungan yang tidak dibolehkan (pacaran), 2) mendorong untuk berpikir dan bertindak dewasa, yaiyalah udah berkeluarga boo..masa maen maen terus.. 3) nantinya jarak anak sama orang tua ga jauh-jauh banget, jadi orang tua masih segar bugar ketika si anak udah beranjak dewasa. Tapi, nikah muda ini jelas ada tantangannya dong. Kudu siap mental, ilmu, juga finansial. Dan kalau mikir realistis, memang kayaknya gue ditakdirkan di posisi nikah (tidak muda), memantaskan diri dulu aja kali ya, persiapan ilmunya, siapin mentalnya, dan yang jelas siapin finansialnya. 

Intinya sih dari artikel ini saya mau ngingetin saya sendiri untuk tetep bersyukur. Dengan semua privelage yang dikasih Tuhan sama saya sekarang, masih punya independensi waktu untuk aktualisasi diri, iya nggak? :) 








1 komentar:

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri