Di Ujung Senja I
Desember begitu cepat berlalu, tanpa memberiku jeda untuk setidaknya berpikir. Berpikir, mengingat ulang apa saja hal yang telah kulewati. Duhai waktu, kamu tahu bahwa aku tak mau sekedar menjadi robot-robot yang melewati rutinitas begitu saja!
"Iya ci, aku tahu kamu bukan robot!" suara itu muncul, mungkin itu sosok waktu yang mengajakku berbincang sore ini.
"Memang.." gumamku lirih.
"kamu ingat, saat dulu kamu punya begitu banyak waktu luang." "kamu lebih tertekan dibandingkan sekarang?" sang Waktu mengingatkanku kejadian beberapa tahun lalu.
"Hmmm..." aku menghembuskan nafas.
"setelah kamu 'cukup' sibuk dengan rutinitasmu saat ini, kenapa kau tampak tidak bahagia?" lanjut sang Waktu. Mendengar ucapannya aku menjadi geram.
"Bisakah kau tidak menyalahkanku?" jawabku.
"Aku tidak menyalahkanmu Ci, aku hanya mengingatkanmu untuk tidak lupa bersyukur."
"Baiklah, terimakasih sudah mengingatkanku!" jawabku sambil menundukkan kepala.
"Lalu kenapa kau terlihat begitu muram?"
Belum sempat aku menjawab pertanyaan sang waktu, seorang mahasiwi dengan rambut dikuncir lewat di depanku. Ia berjalan menuju gerbang kampus, mungkin hendak pulang ke rumahnya.
"Waktu, bukankah sangat menyenangkan dunianya itu?" mataku tertuju pada mahasiswi yang barusan lewat di hadapanku. Mahasiswi itu sudah menyetop sebuah taxi, untuk ditumpanginya pulang.
"Maksudmu? Bukankah hidupmu juga menyenangkan? Sebentar, kau belum jawab pertanyaanku tadi." elak sang Waktu.
"Ia tidak harus memikirkan banyak hal, pulang kuliah tinggal belajar di rumah. Bukankah belajar itu sangat menyenangkan? Menemukan hal-hal baru dari yang kau tekuni, sampai kau mengetahui seluk beluknya..dan kemudian membicarakannya di diskusi-diskusi kelas. Ia tidak harus memikirkan..ah sudahlah..!" aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, mulai sesenggukan.
"Maksudmu, kamuu...lelah dengan semua yang sedang kau jalani sekarang?"
tanya Waktu.
Pertanyaan yang menurutku, dia sudah tau jawabannya.
Aku mengangguk. Tangan lembutnya mengusap kepalaku, mungkin ia ingin berbagi dukungan. Atau mungkin ia sangat memahami situasiku.
"Kamu marah pada dirimu sendiri?" tanya Waktu.
Aku mengangguk.
"Iya, aku kesal dengan diriku yang membuat kesalahan. Kesalahan yang menurutku tidak perlu."
"Sudah Ci, tiap orang pasti punya salah.." bujuk Waktu.
"Tapi...tapi, dengan kesalahanku itu mungkin banyak orang yang tersakiti.." aku menatap matanya. Mencari jawaban.
"Tidak masalah kamu pernah berbuat salah, toh kamu bukan malaikat Ci, yang pasti kamu harus bisa belajar dari kesalahanmu." ujar sang waktu dengan bijak.
Benar apa kata waktu, tangisku pun mulai reda. Tiba-tiba sang waktu mulai menjauh dariku, kemudian bayangannya pun hilang. Seiring waktu, seiring banyaknya pengalaman yang membuatku makin dewasa, kesalahan yang telah aku perbuat pada akhirnya bisa aku terima. Semuanya hanya perlu waktu, dan hati yang lebih lapang.
Manusia mana yang tidak diuji?
-Mampang, 16 Des 2013
0 comments:
Posting Komentar
Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)