Demokrasi dan Media Massa
*Sebuah laporan bacaan pada mata kuliah Media Massa dan Sistem Politik, kelas Kajian Media
Proses Demokratisasi sebuah negara merupakan sebuah proses yang tidak instan. Bukan berarti, ketika sudah berlangsungnya pemilu, negara tersebut bisa disebut sebagai negara yang demokratis. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang berasal dari kata demos (orang) dan kratos (aturan). Ada dua konsep mengenai demokrasi. Pertama, konsep dari Joseph Schumpeter. Baginya, demokrasi merupakan sebuah mekanisme yang sederhana dimana masyarakat memilih pimpinan politiknya. Kedua, konsep yang lebih komprehensif, yang disarankan oleh David Held. Ia menyebutnya sebagai otonomi demokrasi. Adanya negara yang accountable dan civil society. Adanya partisipasi dari masyarakat, kontrol terhadap semua aspek kehidupan sosial, dan hak dalam berpolitik, kebebasan, ekonomi, dan sosial.[1]
Sebuah negara dalam proses transisi menjadi demokratis, harus mempunyai beberapa kondisi tertentu. Yaitu adanya kesatuan nasional-(fase persiapan) runtuhnya rezim nondemokratis-(fase pengambilan keputusan)mulai mendirikan sebuah perintah demokrasi-(fase konsolidasi) mengembangkan demokrasi, hingga menjadi sebuah budaya. Indonesia sendiri, menurut riset Freedom House, termasuk ke dalam negara yang ada pada gray zone[2], dengan score lebih dari 2.0 kurang dari 4.25 termasuk ke dalam negara semi demokrasi (electoral democracies).[3]
Demokratisasi sebuah negara, tentu berkaitan dengan media massa yang ada. Tepatnya ada hubungan antara aktor politik, media, dan audiens. Hubungan ini bersifat interaktif. Interaktif, maksudnya bersifat interdependensi (saling ketergantungan) diantara variable-variable tersebut. Aktor politik tergantung pada media untuk mempublikasikan dirinya terhadap publik, media membutuhkan aktor politik sebagai objek/sumber informasi, dan audiens memang membutuhkan informasi mengenai orang-orang yang aktif di pemerintahannya, selain sebagai penerima informasi. Proses interaksi ini juga dipengaruhi oleh proses produksi informasi, distribusi informasi melalui media, penerimaan informasi dan penafsiran pesan-pesan politik.[4] Interaksi ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor luar seperti perkembangan politik dan ekonomi, reaksi terhadap konflik internasional, munculnya teknologi komunikasi yang baru seperti internet, dsb.
Munculnya internet, tentunya mengubah pola komunikasi politik yang dilakukan oleh para aktor politik. Kampanye politik misalnya, yang awalnya dilakukan melalui media TV, radio, poster, atau melalui kegiatan yang menarik perhatian banyak orang seperti dangdutan, pertunjukkan wayang, dsb, menjadi lebih variatif dengan munculnya internet. Para aktor politik saat ini banyak menggunakan sosial media (facebook, twitter) dan website dirinya dan partainya, sebagai media informasi dan kampanyenya.
Ada hubungan yang kuat antara komunikasi massa dengan proses demokratisasi. Pada pemerintahan otoriter, media yang ada dipantau kinerjanya oleh pemerintah, dan selama pemberitaan mereka tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah media tersebut masih bisa beroperasi. Sehingga tidak adanya kebebasan dalam bersuara, dan tidak adanya range of information (ragam informasi seperti pro dan kontra terhadap pemerintah) yang bisa diakses oleh masyarakat. Dari sini, muncullah kepercayaan bahwa media massa bisa menjadi alat kontrol pemerintah.
Kemudian, munculnya justifikasi normatif terhadap media. Pertama, adanya kebebasan pers (free pers) yang menyediakan ruang debat publik dan bebas bersuara. Hadirnya ‘market place of ideas’ dimana banyak ide/gagasan yang muncul. Media menjadi sebuah forum dimana berbagai macam kelompok bisa mengekspresikan pendapatnya. Sehingga, bisa disebut bahwa media menghadirkan ruang publik (public sphere) yang akan mendorong terciptanya civil society. Tetapi, disisi lain ada pendapat yang bertentangan mengenai hal ini, bahwa banyaknya opini/sudut pandang yang berbeda malah membuat perselisihan di masyarakat. Masyarakat (dalam hal ini yang menjadi audiens politik) tanpa disertai dalam memilih informasi yang disampaikan, hanya akan membuat suatu hal yang cacat (Dahl: 1998).[5] Padahal, keputusan masyarakat terkait dengan aktor politik (dalam pemilu misalnya) berhubungan dengan informasi yang disediakan oleh media.
Kedua, informasi yang berkualitas dalam waktu yang cukup lama, akan mendorong terbentuknya civil society. Asalkan Informasi tersebut netral (cover both side) yang memperlihatkan semua sisi kontroversi, dan melibatkan masyarakat dalam proses politik.
Ketiga, Media sebagai watchdog/pilar ke empat yang memonitori jalannya otoritas politik dan menjaganya berjalan sesuai konstitusi (accountable).
Ketika media menyampaikan informasi terhadap audiens, ada ‘media logic’ yang muncul, dimana politik menjadi sesuatu yang mudah dikonsumsi oleh publik. Maka terbentuklah framing terhadap isu-isu politik. Batas informasi dan hiburan menjadi kabur. Sehingga, terkadang media menjadi tidak independen. Ketika tidak independen itulah, media tidak lagi menjadi pilar ke empat demokrasi.
[1] Georg Sorensen. Handbook of Politics. USA. Springer : 2010.
[2] Gray Zone : Daerah abu-abu. Kondisi diantara demokratis dan otoriter.
[3] Ibid
[4] Lih, (Blumter & Gurevitch 1995) dalam Katrin Voltmer. Mass Media and Political Communication in New Democracies. Routledge : Oxon. 2006.
[5] Dalam Katrin Voltmer. Mass Media and Political Communication in New Democracies. Routledge : Oxon. 2006.
0 comments:
Posting Komentar
Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)