Jumat, 02 November 2012

Radit-Rana

[Sebuah Cerita Fiktif Belaka]

Adakah cinta tanpa rasa sakit?
Adakah harap tanpa kecewa?
Karena sejatinya cinta itu memberi, tanpa berharap kembali.
Tapi, nyatanya harap selalu ada, akan mendapat balasan yang sama.

Rana tak menyangka rasa itu akan begitu mendalam pada Radit-cinta pertamanya. Baginya, walaupun  Radit sering membuatnya sakit hati, selalu ada segudang maaf untuknya. Hubungannya terasa pahit manis, seperti memakan gula-gula berseling dengan meminum pil pahit, begitu terus menerus saling bergantian. Di satu sisi, Rana kadang membencinya. Tapi di sisi lain, Rana merindukannya. Ya, begitulah. Benci-benci rindu.

Pertama kalinya Rana bertemu dengan Radit, yaitu saat ia mengikuti seleksi masuk SMP Swasta berbasis Islamic Boarding School (Pesantren). Rana masih ingat, Radit duduk di bangku dekat pojok ruangan, baris kedua dari belakang. Saat itu, Rana tidak merasakan apa-apa, apalagi yang sering orang-orang sebut dengan love at the first sight. Rana masih anak polos, yang belum mengenal cinta. Seminggu setelah seleksi itu, pengumuman siswa yang lolos seleksi pun diumumkan, dan Rana telah sah menjadi siswa di Islamic Boarding School tersebut.

Sejak seminggu masa orientasi siswa hingga hampir setahun berlalu, Rana melewati hari-harinya dengan penuh semangat. Rana terbilang anak yang cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Pesantren memiliki tata tertib dan jadwal kegiatan yang harus diikuti oleh semua siswa, termasuk Rana. Sepulang sekolah hingga malam hari, kegiatannya diisi dengan belajar agama sehingga sedikit waktu yang terbuang sia-sia. Di sana, interaksi perempuan dengan laki-laki pun dibatasi, mereka hanya bertemu jika sedang belajar di sekolah saja.

Rana, anak bau kencur itu akhirnya mengawali masa pubertasnya di pertengahan tahun kedua. Saat itu, dia sudah aktif di beberapa organisasi dan ekstrakurikuler. Saat pemilihan ketua OSIS, dia terpilih sebagai kandidat ketua, tetapi akhirnya Rana tidak terpilih sebagai ketua, dan menduduki posisi sekretaris. Menjadi pengurus OSIS, membuat Rana disibukkan dengan banyaknya rapat. Dan sejak seringnya menghadiri rapat itu Rana mulai mengagumi seseorang, teman sekelasnya yang cerdas, yang juga menjabat sebagai bendahara OSIS. Orang itu adalah Radit.

Untuk beberapa lama, Rana mengagumi Radit dalam diam. Rana berhasil menjadi secret admirer. Awal tahun ketiga di SMP, penyamaran Rana terbongkar ketika teman sebangkunya-Nancy, menyobek kertas yang berisi tulisan curhatan Rana, dan memberikan secarik kertas itu pada Radit. Secarik kertas itu berisi tulisan Rana agar ia melupakan Radit, karena mungkin baginya memikirkan Radit hanya membuang waktu saja. Rana benar-benar marah pada Nancy, dan merasa dirinya telah dipermalukan. Rana kaget ketika esok harinya Radit bersikap berbeda. Radit marah. Melihat Radit yang tidak terlalu banyak bicara itu marah, ia merasa takut, karena baru pertamakalinya melihat sikap Radit sedingin itu.

Radit mengajak Rana untuk berbicara empat mata di waktu istirahat, sehingga di kelas tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.

“Kok kamu ngambek gitu sih Dit?” tanya Rana.
“Aku juga suka sama kamu Na..” jawab Radit. Mendengar jawaban Radit seperti itu, Rana malah bergeming. Wajahnya mulai terasa panas, mungkin sudah memerah seperti kepiting rebus. Sejak saat itu, Rana mulai tahu bahwa Radit mempunyai perasaan yang sama dengannya. Cintanya ternyata tak bertepuk sebelah tangan.

Tidak ada kata terlambat untuk menyatakan rasa suka atau bahkan cinta kita pada seseorang, dipenghujung waktu sekalipun. Begitu pun dengan Rana dan Radit, walaupun mereka sudah ada di tahun ketiga, dan tak lama lagi akan lulus dari SMP. Bagi Rana dan Radit, hanya dengan mengetahui masing-masing saling suka itu sudah lebih dari cukup.

Ujian Nasional seperti menjadi pemicu bagi Rana, Radit, dan teman-teman seangkatan mereka untuk semakin giat belajar. Rana seringkali belajar bersama dengan Radit, membahas dan mengerjakan latihan soal bersama-sama. Rana paling senang jika bisa mengerjakan latihan soal matematika bersama Radit, karena Radit memang ahli dalam mata pelajaran hitung-hitungan itu. Jika Radit yang mengajarinya, materi yang disampaikan akan terus diingat Rana dalam memorinya. Ah, Rana...Rana...

Namun, cerita indah ini sepertinya harus berakhir. Kelulusan sudah di depan mata, dan tentunya perpisahan tidak terelakkan lagi. Radit memilih melanjutkan sekolah di SMA favorit di kota asalnya, sedang Rana memilih tetap tinggal di Pesantren dan melanjutkan di SMA yang sama. Its mean,  Rana dan Radit mau tidak mau harus berpisah. Tidak ada farewell party atau ucapan perpisahan, Rana hanya melihat Radit pergi dari jauh.

Ini sebuah kenyataan yang harus dihadapi oleh Rana. Masa-masa awal SMA terasa berat baginya, karena Rana merasa sebagian dari dirinya hilang, dia kehilangan semangatnya. Rasa rindu yang membuncah, terkadang membuat pikiran Rana kemana-mana. “Apakah Radit masih merasakan perasaan yang sama, Apakah Radit masih mengingatnya, atau jangan-jangan Radit mulai tertarik dengan perempuan lain yang lebih cantik dan lebih pintar?” Rana mulai berpikiran yang macam-macam. Hingga suatu hari, diam-diam Rana mencari data tentang Radit di pusat data siswa SMP. Rana memberanikan diri mengirim sepucuk surat ke alamat rumah Radit, dan nyatanya sampai sekarang surat itu tidak pernah berbalas. Mungkin alamat yang ditulis disana salah, atau mungkin Radit malas untuk membalasnya, Rana tak pernah menanyakan hal itu pada Radit.

Hingga suatu sore di akhir pekan, menjadi sore yang tak terlupakan bagi Rana.

“Na, ada Radit sedang menunggumu di rumahku!” ujar Rita. Rumah Rita memang ada di belakang Pesantren, dekat perbatasan Pesantren dan rumah penduduk. Ia baru saja kembali dari rumahnya.
“Oya?!” “Makasih ta..” Rana meloncat girang. Setelah memeluk temannya itu, Rana mulai menyelinap keluar dari kompleks pesantren, melatih keahliannya untuk kucing-kucingan dengan para ustadzah.[1]

Demi mendengar kabar gembira itu, Rana benar-benar bahagia. Rona berseri-seri terihat dari wajah Rana, walaupun gugup sedikit menyelimuti. Waktu yang singkat itu dihabiskan Rana dan Radit dengan ngobrol, diselingi gelak tawa, walaupun terkadang ada sedikit canggung diantara mereka. Sayangnya, ketika toa mesjid pesantren mulai menyuarakan lantunan ayat suci, Rana harus berpisah dengan Radit, karena kalau terlambat menghadiri pengajian bisa-bisa Rana terkena sanksi. Ketika dia kembali ke kompleks Pesantren, Rana harus mahir menyelinap supaya tidak ketahuan, karena sudah keluar dari kompleks Pesantren tanpa izin. Jika ketahuan, Rana pasti kena sanksi.

Tahun-tahun selama SMA, terasa begitu panjang bagi Rana, mungkin karena hubungannya dengan Radit yang jarak jauh itu...Rana menganggapnya sebagai Long Distance Relationship, sedangkan Radit tidak mau jika hubungan ini disebut dengan pacaran, entahlah. Radit bisa dibilang seorang muslim yang agak menghindari pacaran. Relasi yang seperti ini akhirnya membuat Rana sadar, bahwa relasi ini tak ubahnya seperti bermain layang-layang. Ia harus tahu, kapan saatnya menarik, dan kapan saatnya mengulur.

Selepas SMA, Rana terdampar di sebuah Universitas Negeri di Bandung. Rana tak yakin dengan universitas pilihannya itu. Bagi Rana, yang penting dia bisa keluar dari zona nyaman kota kelahirannya dan mulai pergi merantau. Sedangkan Radit diterima sebagai mahasiswa teknik di Universitas Negeri di Jawa Tengah.

Saat tahun pertama kuliah itu, Rana merasa Radit mulai mengabaikannya.
Ah, Radit terasa mulai menjauh dariku. Apa faktor kampusku yang tidak terlalu populer menjadi penyebabnya? Apakah gengsi antar Universitas itu masih ada? Atau dia mulai jenuh dengan hubungan ini? Prasangka buruk kembali hadir dalam benak Rana.

Di akhir semester 2, Rana mengikuti seleksi beasiswa sebuah Universitas di Jakarta, dan hasilnya positif. Rana got the scholarship. Perubahan itu dijadikan Rana sebagai momentum untuk memulai semuanya dari awal. Saat pulang ke kampung halaman, Rana memberanikan diri untuk memperjelas hubungannya dengan Radit.

“Dit, ada sesuatu yang ingin aku utarakan..” Rana mengirim pesan singkat itu.
“Aku juga, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan..” Rana membaca balasan dari Radit.
“Urggh...” Rana benar-benar kesal. Rana yakin yang ingin dibicarakan Radit pasti tentang hubungan mereka yang tidak jelas itu. Rana kesal karena menurutnya Radit tidak berinisiatif. Radit membiarkan semua ini menggantung, dan jika Rana tidak berinisiatif memperjelas semua ini, mungkin Radit masih betah dengan situasi seperti itu. Rana merasa hubungannya sudah tidak sehat lagi, dan bukan masalah siapa yang mengatakan putus, karena Radit juga pasti menyadarinya. Ini masalah  siapa yang lebih dulu berani mengambil sikap.

Rana akhirnya melayangkan pesan putus melalui pesan Facebook, bersamaan dengan argumen kenapa sebaiknya hubungan ini diakhiri. Kenapa dia memilih mengirim pesan dibandingkan dengan bertemu langsung, karena dengan cara ini membuat Rana bisa berpikir lebih jernih. Beberapa hari setelah pesan itu dikirim, pesan dan telpon dari Radit benar-benar ia abaikan. Rana kesal, karena Radit yang tidak mau mengambil sikap itu.

“Marah, bukan berarti nggak mau mengangkat telpon dan nggak mau ketemu kan?” Radit mengirim pesan kesekian kalinya untuk Rana.
Setelah proses lobbying itu, akhirnya Rana mau bertemu dengan Radit. Tak disangka, Radit membawa sebuah kotak bermotif bubble, itu kado yang Radit berikan untuk Rana di hari ulang tahunnya. Radit menjawab semua kesalahpahaman yang ada, dan prasangka buruk Rana menguap sudah. Sore hari itu, hubungan mereka tetap berakhir, tetapi dengan akhir yang baik.

7 bulan kemudian
“Na, semester ini aku jadi asdos matkul struktur beton!” Pesan Radit kembali menari-nari di handphone Rana, setelah 7 bulan menghilang. Rana sumringah, walaupun masih ingat dengan pengalaman pahit masa lalu.
Congrats ya Pak..” Rana menekan tombol send. Tak lama beberapa menit kemudian, sms itu berbalas.
“Yang sms Ibu dong..” Sejenak Rana termenung. Mungkin karena kaget, tapi seulas senyum terbentuk di wajahnya. Sejak saat itu, komunikasi Rana dan Radit mulai cair lagi. Cinta lama bersemi kembali.

Tahun kedua di Ibukota
Momen Ramadhan, biasanya menjadi momen nostalgia teman-teman lama. Sebenarnya Rana tidak terlalu menyukai ini. Karena dengan mengikuti acara buka bersama itu, kemungkinan besar Rana akan bertemu dengan Radit. Bagi Rana, berharap kembali itu selalu satu paket dengan rasa sakit, dan Rana rasa dirinya belum siap dengan rasa sakit itu.

Karena ajakan tema-teman, Rana akhirnya menghadiri acara itu, dan dia benar-benar bertemu dengan Radit. Tak disangka, Radit menghadiahinya sebuah buku. Ternyata Radit masih mengingat hari ulang tahunnya. Hal itu, membuat Rana menjadi luluh kembali.

“Kamu bawa motor Na?” tanya Radit. Rana menggeleng, karena memang ketika dia berangkat ke tempat buka bersama itu, pergi dengan menaiki angkutan umum.

“Aku antar pulang ya..” ajak Radit. Rana menurut saja.

Beberapa bulan setelah pertemuan itu, Rana menangis tersedu. Entah kenapa, perasaannya begitu galau. Saat Rana tak sengaja melihat profil Radit di Facebook, Rana merasa sosok Radit begitu asing baginya. Radit malah seperti seseorang yang hanya berteman di social media, dan perasaan untuk Radit sama sekali hampa.

Tahun Ketiga di Ibukota
Liburan semester genap bagi Rana, terasa begitu panjang. Rana mengunjungi Pare, sebuah kampung kursusan Bahasa Inggris, yang terletak di Kediri, Jawa Timur. Rana sebenarnya ingin mampir ke kota dimana Radit berkuliah, hanya saja setelah dipikir-pikir untuk apa. Saat di kereta, Rana mengirimi Radit pesan singkat.

“Dit, aku lewat Jawa Tengah nih..”
“Waah...itu kalau belok ke kiri ke Purwokerto Na, kalau ke kanan arah ke Jogja..” balas Radit. Sebuah percakapan ringan di malam hari, yang sebenarnya nothing special.

Sudah cukup lama Rana ada di Kediri, dan Radit benar-benar tidak menghubunginya, sekalipun say hi melalui sms. Hubungan macam apa ini, kalau tidak saling mengabari? Batin Rana. Saat hari pertama Bulan Ramadhan tiba, Rana benar-benar merasa desperate. Merasa sendiri dan diabaikan. Selain karena jauh dari orangtua, juga karena sudah lama Rana tidak berkomunikasi intens dengan Radit. Walaupun, telah mengetahui bahwa masing-masing mempunyai perasaan yang sama, terkadang Rana merasa ingin diperhatikan. Dan perhatian itu terkadang harus benar-benar ditunjukkan bukan?

Adakah harap tanpa kecewa?
Adakah cinta tanpa rasa sakit?

Di titik terdalam kesedihannya, Rana benar-benar kesal. Kesal pada Radit yang seolah dalam hubungan ini Rana berada di posisi orang yang mengemis cinta. Rana tidak suka dengan itu. Malam itu, Rana menangis, dan menuliskan sesuatu di diary digital-nya.

“Sudah Na, malam ini kamu berikrar untuk tidak menautkan lagi hati padanya, tidak lagi membiarkannya menghiasi hari-harimu, dan tidak lagi membiarkannya menyakitimu. Jika kamu kembali berharap padanya, rasa sakit itu akan datang kembali.”

Setelah menuliskan semua curahan hatinya, Rana merasa sedikit lebih baik. Ditambah dengan suasana baru di Pare, sambil bersepeda di jalanan sana, mungkin ini bisa menjadi obat untuk melupakan semuanya. Setelah dari kampung kecil itu, mungkin Rana bisa memulai hidupnya kembali dengan lebih normal. Batin Rana.

Namun, apa yang terjadi dua hari kemudian? Radit kembali muncul, dengan pesan yang muncul di smartphone Rana.

“Na, how are you? Gimana Ramadhan disana? We didnt text each other, right?” Bukannya senang, Rana masih kesal pada Radit. Rana membalas sms Radit.

I think you have forgotten, Dit..” Balas Rana. Sms selanjutnya Rana balas dengan singkat, dan tidak antusias. Biar Radit tahu, bagaimana rasanya diabaikan itu. Jadi semuanya impas. Batin Rana.

Setelah hari-hari di Pare itu dan Rana merasa lebih baik, karena sudah bisa move on..menjalani hari-harinya dengan hal-hal positif. Ketika Rana pulang ke kampung halamannya dan Radit mengetahuinya, Radit mengajaknya bertemu. Hanya, semuanya tidak terealisasi sampai di penghujung Ramadhan. Seperti tahun sebelumnya, acara buka bersama teman-teman lama kembali diselenggarakan. Rana awalnya berniat untuk tidak hadir di acara tersebut, tetapi dia juga ingin bertemu dengan teman-teman lama. Apa karena Radit dia harus mengorbankan pertemuannya dengan sahabat dekat dan teman-teman lama? Akhirnya Rana menghadiri acara tersebut.

Radit dan Rana tidak banyak bicara, kecuali saat pertama kali mereka bertemu. Saat acara selesai, reunian pun bubar.
“Aku antar pulang ya Na..” ujar Radit.
“Yaudah..” Rana menyetujui.

Karena memang, angkutan umum sudah jarang jika malam menjelang, Rana mengiyakan saja. Ada sebersit bahagia, walaupun ada sedikit ragu. Rana ragu, apakah dia akan kembali menautkan hatinya pada lelaki masa lalu itu? Ini sebuah keputusan yang sulit, karena harap itu selalu satu paket dengan kecewa, dan cinta itu selalu satu paket dengan sakit. Dan Rana tidak bisa jika kembali mencintai, tetapi tanpa disertai harapan. Karena harapan itu selalu tumbuh dengan sendirinya. Malam itu, saat orang-orang sudah meramaikan masjid untuk shalat tarawih, Rana diantar Radit ke rumahnya. Ya, kisah indah kembali terulang.

Setelah pertemuan itu, Rana dan Radit tidak saling berkomunikasi. Semua adem ayem, kembali seperti semula. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Atau mungkin Radit yang sudah ditahun terakhir kuliahnya itu sedang sibuk dengan Kuliah Prakteknya, entahlah. Rana juga sebenarnya tidak suka perhatian yang terlalu berlebihan.

Someone Comes Home!
Ketika hari pertama di bulan September tiba, ini menjadi hari yang spesial untuk Rana. Karena hari ini menjadi momentum titik balik dan evaluasi dirinya setelah dianugerahi hidup selama bertahun-tahun. Hingga dia mencapai usia ke-22. Rana tak berharap banyak dari hari spesialnya itu, yang pasti semoga hari-hari berikutnya semoga bisa menjadi lebih baik.

Siang hingga sore hari, Rana menghabiskan waktu di dapur untuk membantu Mamanya, karena begitulah rutinitas Rana selama sisa libur kuliahnya. Tak disangka di sore itu, someone comes home!

“Na, kamu lagi di rumah?” sms dari Radit baru Rana baca.
“Ya..” message sent. Beberapa menit kemudian, tak ada balasan dari Radit. Rana mulai curiga, kalau Radit akan datang. Sehingga Rana mulai membereskan dapur, kemudian mandi.

“Memangnya kenapa Dit?” akhirnya Rana bertanya juga, penasaran.
“Aku mampir ke rumah ya...” balas Radit. Demi membacanya, Rana kaget, ini diluar ekspektasinya. Ketika Radit pulang dari Kuliah Prakteknya, dia memang melewati kota dimana Rana tinggal. Ya, apa salahnya mampir?

“Sekarang dimana Dit?” tanya Rana lagi.
“Udah depan rumah Na..”

Dan benar saja, ketika Rana menengok ke arah jendela, terlihat bayangan Radit di sana. Its really a surprise. Rana melihat, kini Radit becomes so mature, walaupun usia Rana 5 bulan lebih tua darinya. Setiap Rana bertemu dengan Radit, Rana merasa seperti menemukan sesuatu yang baru. Entah sesuatu itu apa, yang pasti ada sesuatu yang berubah dari sosok Radit.

Rana tak pernah bisa memilih, kenapa dia bisa mempunyai perasaan yang begitu mendalam pada Radit. Sosok yang sebenarnya lebih muda. Tapi, kadang usia tidak menjadi ukuran kedewasaan  seseorang bukan? Tetapi pengalaman hiduplah yang membuat orang menjadi lebih dewasa.

Rana pernah membayangkan bahwa mungkin Radit adalah Mr. Right baginya. Dia pernah ada dalam fase, ketika berdoa pada Tuhan, meminta Radit itu adalah jodohnya. Kalau bukan jodoh, maka jodohkanlah. Ini sih doa maksa, haha. Tetapi, fase itu sudah berlalu. Seperti Radit, Rana juga menjadi dewasa dalam beberapa hal. Rana tidak lagi terlalu berharap kalau Radit adalah jodohnya. Berharap dia akan mendapatkan jodoh yang terbaik, begitu pula dengan Radit. Jika mereka bertemu di kemudian hari, berarti itu jawaban yang diberikan Tuhan.

*Sebuah cerita pret..dut..cuih..haha. 


[1] Guru perempuan dalam Bahasa Arab.

4 komentar:

  1. Ternyata sebagian adegan bersenting pare... atau jangan-jangan... *ihhiy #abaikan

    BalasHapus
  2. di bold-di italic,
    Sebuah cerita prett..dut..cuihh...hehe. Fiktif Belaka. *Disisipi disana-sini.

    BalasHapus
  3. Yah, setidaknya ada sisipan harapan juga lah.. *Plak!

    BalasHapus
  4. udah nampar duluan...hoho..*abaikan.

    BalasHapus

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri