Radit-Rana
[Sebuah Cerita Fiktif Belaka]
Adakah
cinta tanpa rasa sakit?
Adakah
harap tanpa kecewa?
Karena
sejatinya cinta itu memberi, tanpa berharap kembali.
Tapi,
nyatanya harap selalu ada, akan mendapat balasan yang sama.
Rana tak menyangka rasa itu akan begitu mendalam pada Radit-cinta
pertamanya. Baginya, walaupun Radit sering
membuatnya sakit hati, selalu ada segudang maaf untuknya. Hubungannya terasa
pahit manis, seperti memakan gula-gula berseling dengan meminum pil pahit,
begitu terus menerus saling bergantian. Di satu sisi, Rana kadang membencinya.
Tapi di sisi lain, Rana merindukannya. Ya, begitulah. Benci-benci rindu.
Pertama kalinya Rana bertemu dengan Radit, yaitu saat ia mengikuti
seleksi masuk SMP Swasta berbasis Islamic Boarding School (Pesantren). Rana
masih ingat, Radit duduk di bangku dekat pojok ruangan, baris kedua dari
belakang. Saat itu, Rana tidak merasakan apa-apa, apalagi yang sering
orang-orang sebut dengan love at the first sight. Rana masih anak polos,
yang belum mengenal cinta. Seminggu setelah seleksi itu, pengumuman siswa yang
lolos seleksi pun diumumkan, dan Rana telah sah menjadi siswa di Islamic
Boarding School tersebut.
Sejak seminggu masa orientasi siswa hingga hampir setahun berlalu, Rana
melewati hari-harinya dengan penuh semangat. Rana terbilang anak yang cepat
beradaptasi dengan lingkungan baru. Pesantren memiliki tata tertib dan jadwal
kegiatan yang harus diikuti oleh semua siswa, termasuk Rana. Sepulang sekolah
hingga malam hari, kegiatannya diisi dengan belajar agama sehingga sedikit
waktu yang terbuang sia-sia. Di sana, interaksi perempuan dengan laki-laki pun
dibatasi, mereka hanya bertemu jika sedang belajar di sekolah saja.
Rana, anak bau kencur itu akhirnya mengawali masa pubertasnya di
pertengahan tahun kedua. Saat itu, dia sudah aktif di beberapa organisasi dan
ekstrakurikuler. Saat pemilihan ketua OSIS, dia terpilih sebagai kandidat ketua,
tetapi akhirnya Rana tidak terpilih sebagai ketua, dan menduduki posisi
sekretaris. Menjadi pengurus OSIS, membuat Rana disibukkan dengan banyaknya
rapat. Dan sejak seringnya menghadiri rapat itu Rana mulai mengagumi seseorang,
teman sekelasnya yang cerdas, yang juga menjabat sebagai bendahara OSIS. Orang
itu adalah Radit.
Untuk beberapa lama, Rana mengagumi Radit dalam diam. Rana berhasil
menjadi secret admirer. Awal tahun ketiga di SMP, penyamaran Rana
terbongkar ketika teman sebangkunya-Nancy, menyobek kertas yang berisi tulisan
curhatan Rana, dan memberikan secarik kertas itu pada Radit. Secarik kertas itu
berisi tulisan Rana agar ia melupakan Radit, karena mungkin baginya memikirkan
Radit hanya membuang waktu saja. Rana benar-benar marah pada Nancy, dan merasa dirinya
telah dipermalukan. Rana kaget ketika esok harinya Radit bersikap berbeda.
Radit marah. Melihat Radit yang tidak terlalu banyak bicara itu marah, ia
merasa takut, karena baru pertamakalinya melihat sikap Radit sedingin itu.
Radit mengajak Rana untuk berbicara empat mata di waktu istirahat,
sehingga di kelas tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.
“Kok kamu ngambek gitu sih Dit?” tanya Rana.
“Aku juga suka sama kamu Na..” jawab Radit. Mendengar jawaban Radit
seperti itu, Rana malah bergeming. Wajahnya mulai terasa panas, mungkin sudah
memerah seperti kepiting rebus. Sejak saat itu, Rana mulai tahu bahwa Radit
mempunyai perasaan yang sama dengannya. Cintanya ternyata tak bertepuk sebelah
tangan.
Tidak ada kata terlambat untuk menyatakan rasa suka atau bahkan
cinta kita pada seseorang, dipenghujung waktu sekalipun. Begitu pun dengan Rana
dan Radit, walaupun mereka sudah ada di tahun ketiga, dan tak lama lagi akan
lulus dari SMP. Bagi Rana dan Radit, hanya dengan mengetahui masing-masing
saling suka itu sudah lebih dari cukup.
Ujian Nasional seperti menjadi pemicu bagi Rana, Radit, dan
teman-teman seangkatan mereka untuk semakin giat belajar. Rana seringkali
belajar bersama dengan Radit, membahas dan mengerjakan latihan soal bersama-sama.
Rana paling senang jika bisa mengerjakan latihan soal matematika bersama Radit,
karena Radit memang ahli dalam mata pelajaran hitung-hitungan itu. Jika Radit
yang mengajarinya, materi yang disampaikan akan terus diingat Rana dalam memorinya.
Ah, Rana...Rana...
Namun, cerita indah ini sepertinya harus berakhir. Kelulusan sudah
di depan mata, dan tentunya perpisahan tidak terelakkan lagi. Radit memilih
melanjutkan sekolah di SMA favorit di kota asalnya, sedang Rana memilih tetap
tinggal di Pesantren dan melanjutkan di SMA yang sama. Its mean, Rana dan Radit mau tidak mau harus berpisah.
Tidak ada farewell party atau ucapan perpisahan, Rana hanya melihat
Radit pergi dari jauh.
Ini sebuah kenyataan yang harus dihadapi oleh Rana. Masa-masa awal
SMA terasa berat baginya, karena Rana merasa sebagian dari dirinya hilang, dia
kehilangan semangatnya. Rasa rindu yang membuncah, terkadang membuat pikiran Rana
kemana-mana. “Apakah Radit masih merasakan perasaan yang sama, Apakah Radit
masih mengingatnya, atau jangan-jangan Radit mulai tertarik dengan perempuan
lain yang lebih cantik dan lebih pintar?” Rana mulai berpikiran yang
macam-macam. Hingga suatu hari, diam-diam Rana mencari data tentang Radit di
pusat data siswa SMP. Rana memberanikan diri mengirim sepucuk surat ke alamat rumah
Radit, dan nyatanya sampai sekarang surat itu tidak pernah berbalas. Mungkin
alamat yang ditulis disana salah, atau mungkin Radit malas untuk membalasnya, Rana
tak pernah menanyakan hal itu pada Radit.
Hingga suatu sore di akhir pekan, menjadi sore yang tak terlupakan
bagi Rana.
“Na, ada Radit sedang menunggumu di rumahku!” ujar Rita. Rumah Rita
memang ada di belakang Pesantren, dekat perbatasan Pesantren dan rumah
penduduk. Ia baru saja kembali dari rumahnya.
“Oya?!” “Makasih ta..” Rana meloncat girang. Setelah memeluk
temannya itu, Rana mulai menyelinap keluar dari kompleks pesantren, melatih
keahliannya untuk kucing-kucingan dengan para ustadzah.[1]
Demi mendengar kabar gembira itu, Rana benar-benar bahagia. Rona
berseri-seri terihat dari wajah Rana, walaupun gugup sedikit menyelimuti. Waktu
yang singkat itu dihabiskan Rana dan Radit dengan ngobrol, diselingi gelak
tawa, walaupun terkadang ada sedikit canggung diantara mereka. Sayangnya, ketika
toa mesjid pesantren mulai menyuarakan lantunan ayat suci, Rana harus berpisah dengan
Radit, karena kalau terlambat menghadiri pengajian bisa-bisa Rana terkena
sanksi. Ketika dia kembali ke kompleks Pesantren, Rana harus mahir menyelinap
supaya tidak ketahuan, karena sudah keluar dari kompleks Pesantren tanpa izin. Jika
ketahuan, Rana pasti kena sanksi.
Tahun-tahun selama SMA, terasa begitu panjang bagi Rana, mungkin
karena hubungannya dengan Radit yang jarak jauh itu...Rana menganggapnya
sebagai Long Distance Relationship, sedangkan Radit tidak mau jika
hubungan ini disebut dengan pacaran, entahlah. Radit bisa dibilang seorang muslim
yang agak menghindari pacaran. Relasi yang seperti ini akhirnya membuat Rana
sadar, bahwa relasi ini tak ubahnya seperti bermain layang-layang. Ia harus
tahu, kapan saatnya menarik, dan kapan saatnya mengulur.
Selepas SMA, Rana terdampar di sebuah Universitas Negeri di
Bandung. Rana tak yakin dengan universitas pilihannya itu. Bagi Rana, yang
penting dia bisa keluar dari zona nyaman kota kelahirannya dan mulai pergi merantau.
Sedangkan Radit diterima sebagai mahasiswa teknik di Universitas Negeri di Jawa
Tengah.
Saat tahun pertama kuliah itu, Rana merasa Radit mulai
mengabaikannya.
Ah, Radit terasa mulai menjauh dariku. Apa faktor kampusku yang
tidak terlalu populer menjadi penyebabnya? Apakah gengsi antar Universitas itu
masih ada? Atau dia mulai jenuh dengan hubungan ini? Prasangka
buruk kembali hadir dalam benak Rana.
Di akhir semester 2, Rana mengikuti seleksi beasiswa sebuah
Universitas di Jakarta, dan hasilnya positif. Rana got the scholarship.
Perubahan itu dijadikan Rana sebagai momentum untuk memulai semuanya dari awal.
Saat pulang ke kampung halaman, Rana memberanikan diri untuk memperjelas hubungannya
dengan Radit.
“Dit, ada sesuatu yang ingin aku utarakan..” Rana mengirim pesan
singkat itu.
“Aku juga, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan..” Rana membaca
balasan dari Radit.
“Urggh...” Rana benar-benar kesal. Rana yakin yang ingin
dibicarakan Radit pasti tentang hubungan mereka yang tidak jelas itu. Rana
kesal karena menurutnya Radit tidak berinisiatif. Radit membiarkan semua ini
menggantung, dan jika Rana tidak berinisiatif memperjelas semua ini, mungkin
Radit masih betah dengan situasi seperti itu. Rana merasa hubungannya sudah
tidak sehat lagi, dan bukan masalah siapa yang mengatakan putus, karena Radit
juga pasti menyadarinya. Ini masalah siapa yang lebih dulu berani mengambil sikap.
Rana akhirnya melayangkan pesan putus melalui pesan Facebook,
bersamaan dengan argumen kenapa sebaiknya hubungan ini diakhiri. Kenapa dia
memilih mengirim pesan dibandingkan dengan bertemu langsung, karena dengan cara
ini membuat Rana bisa berpikir lebih jernih. Beberapa hari setelah pesan itu
dikirim, pesan dan telpon dari Radit benar-benar ia abaikan. Rana kesal, karena
Radit yang tidak mau mengambil sikap itu.
“Marah, bukan berarti nggak mau mengangkat telpon dan nggak mau
ketemu kan?” Radit mengirim pesan kesekian kalinya untuk Rana.
Setelah proses lobbying itu, akhirnya Rana mau bertemu
dengan Radit. Tak disangka, Radit membawa sebuah kotak bermotif bubble,
itu kado yang Radit berikan untuk Rana di hari ulang tahunnya. Radit menjawab
semua kesalahpahaman yang ada, dan prasangka buruk Rana menguap sudah. Sore
hari itu, hubungan mereka tetap berakhir, tetapi dengan akhir yang baik.
7
bulan kemudian
“Na, semester ini aku jadi asdos matkul struktur beton!” Pesan Radit
kembali menari-nari di handphone Rana, setelah 7 bulan menghilang. Rana
sumringah, walaupun masih ingat dengan pengalaman pahit masa lalu.
“Congrats ya Pak..” Rana menekan tombol send. Tak
lama beberapa menit kemudian, sms itu berbalas.
“Yang sms Ibu dong..” Sejenak Rana termenung. Mungkin karena kaget,
tapi seulas senyum terbentuk di wajahnya. Sejak saat itu, komunikasi Rana dan
Radit mulai cair lagi. Cinta lama bersemi kembali.
Tahun
kedua di Ibukota
Momen Ramadhan, biasanya menjadi momen nostalgia teman-teman lama.
Sebenarnya Rana tidak terlalu menyukai ini. Karena dengan mengikuti acara buka
bersama itu, kemungkinan besar Rana akan bertemu dengan Radit. Bagi Rana,
berharap kembali itu selalu satu paket dengan rasa sakit, dan Rana rasa dirinya
belum siap dengan rasa sakit itu.
Karena ajakan tema-teman, Rana akhirnya menghadiri acara itu, dan
dia benar-benar bertemu dengan Radit. Tak disangka, Radit menghadiahinya sebuah
buku. Ternyata Radit masih mengingat hari ulang tahunnya. Hal itu, membuat Rana
menjadi luluh kembali.
“Kamu bawa motor Na?” tanya Radit. Rana menggeleng, karena memang
ketika dia berangkat ke tempat buka bersama itu, pergi dengan menaiki angkutan
umum.
“Aku antar pulang ya..” ajak Radit. Rana menurut saja.
Beberapa bulan setelah pertemuan itu, Rana menangis tersedu. Entah
kenapa, perasaannya begitu galau. Saat Rana tak sengaja melihat profil Radit di
Facebook, Rana merasa sosok Radit begitu asing baginya. Radit malah seperti
seseorang yang hanya berteman di social media, dan perasaan untuk Radit sama
sekali hampa.
Tahun
Ketiga di Ibukota
Liburan semester genap bagi Rana, terasa begitu panjang. Rana
mengunjungi Pare, sebuah kampung kursusan Bahasa Inggris, yang terletak di
Kediri, Jawa Timur. Rana sebenarnya ingin mampir ke kota dimana Radit
berkuliah, hanya saja setelah dipikir-pikir untuk apa. Saat di kereta, Rana
mengirimi Radit pesan singkat.
“Dit, aku lewat Jawa Tengah nih..”
“Waah...itu kalau belok ke kiri ke Purwokerto Na, kalau ke kanan
arah ke Jogja..” balas Radit. Sebuah percakapan ringan di malam hari, yang
sebenarnya nothing special.
Sudah cukup lama Rana ada di Kediri, dan Radit benar-benar tidak
menghubunginya, sekalipun say hi melalui sms. Hubungan macam apa ini,
kalau tidak saling mengabari? Batin Rana. Saat hari pertama Bulan Ramadhan
tiba, Rana benar-benar merasa desperate. Merasa sendiri dan diabaikan. Selain
karena jauh dari orangtua, juga karena sudah lama Rana tidak berkomunikasi intens
dengan Radit. Walaupun, telah mengetahui bahwa masing-masing mempunyai perasaan
yang sama, terkadang Rana merasa ingin diperhatikan. Dan perhatian itu
terkadang harus benar-benar ditunjukkan bukan?
Adakah
harap tanpa kecewa?
Adakah
cinta tanpa rasa sakit?
Di titik terdalam kesedihannya, Rana benar-benar kesal. Kesal pada
Radit yang seolah dalam hubungan ini Rana berada di posisi orang yang mengemis
cinta. Rana tidak suka dengan itu. Malam itu, Rana menangis, dan menuliskan
sesuatu di diary digital-nya.
“Sudah Na, malam ini kamu berikrar untuk tidak menautkan lagi hati
padanya, tidak lagi membiarkannya menghiasi hari-harimu, dan tidak lagi
membiarkannya menyakitimu. Jika kamu kembali berharap padanya, rasa sakit itu
akan datang kembali.”
Setelah menuliskan semua curahan hatinya, Rana merasa sedikit lebih
baik. Ditambah dengan suasana baru di Pare, sambil bersepeda di jalanan sana,
mungkin ini bisa menjadi obat untuk melupakan semuanya. Setelah dari kampung
kecil itu, mungkin Rana bisa memulai hidupnya kembali dengan lebih normal.
Batin Rana.
Namun, apa yang terjadi dua hari kemudian? Radit kembali muncul,
dengan pesan yang muncul di smartphone Rana.
“Na, how are you? Gimana Ramadhan disana? We didnt text
each other, right?” Bukannya senang, Rana masih kesal pada Radit. Rana
membalas sms Radit.
“I think you have forgotten, Dit..” Balas Rana. Sms
selanjutnya Rana balas dengan singkat, dan tidak antusias. Biar Radit tahu,
bagaimana rasanya diabaikan itu. Jadi semuanya impas. Batin Rana.
Setelah hari-hari di Pare itu dan Rana merasa lebih baik, karena
sudah bisa move on..menjalani hari-harinya dengan hal-hal positif. Ketika
Rana pulang ke kampung halamannya dan Radit mengetahuinya, Radit mengajaknya
bertemu. Hanya, semuanya tidak terealisasi sampai di penghujung Ramadhan.
Seperti tahun sebelumnya, acara buka bersama teman-teman lama kembali
diselenggarakan. Rana awalnya berniat untuk tidak hadir di acara tersebut,
tetapi dia juga ingin bertemu dengan teman-teman lama. Apa karena Radit dia harus
mengorbankan pertemuannya dengan sahabat dekat dan teman-teman lama? Akhirnya Rana
menghadiri acara tersebut.
Radit dan Rana tidak banyak bicara, kecuali saat pertama kali
mereka bertemu. Saat acara selesai, reunian pun bubar.
“Aku antar pulang ya Na..” ujar Radit.
“Yaudah..” Rana menyetujui.
Karena memang, angkutan umum sudah jarang jika malam menjelang, Rana
mengiyakan saja. Ada sebersit bahagia, walaupun ada sedikit ragu. Rana ragu,
apakah dia akan kembali menautkan hatinya pada lelaki masa lalu itu? Ini sebuah
keputusan yang sulit, karena harap itu selalu satu paket dengan kecewa, dan
cinta itu selalu satu paket dengan sakit. Dan Rana tidak bisa jika kembali
mencintai, tetapi tanpa disertai harapan. Karena harapan itu selalu tumbuh
dengan sendirinya. Malam itu, saat orang-orang sudah meramaikan masjid untuk
shalat tarawih, Rana diantar Radit ke rumahnya. Ya, kisah indah kembali terulang.
Setelah pertemuan itu, Rana dan Radit tidak saling berkomunikasi.
Semua adem ayem, kembali seperti semula. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Atau mungkin Radit yang sudah ditahun terakhir kuliahnya itu sedang sibuk
dengan Kuliah Prakteknya, entahlah. Rana juga sebenarnya tidak suka perhatian
yang terlalu berlebihan.
Someone
Comes Home!
Ketika hari pertama di bulan September tiba, ini menjadi hari yang
spesial untuk Rana. Karena hari ini menjadi momentum titik balik dan evaluasi
dirinya setelah dianugerahi hidup selama bertahun-tahun. Hingga dia mencapai
usia ke-22. Rana tak berharap banyak dari hari spesialnya itu, yang pasti
semoga hari-hari berikutnya semoga bisa menjadi lebih baik.
Siang hingga sore hari, Rana menghabiskan waktu di dapur untuk
membantu Mamanya, karena begitulah rutinitas Rana selama sisa libur kuliahnya.
Tak disangka di sore itu, someone comes home!
“Na, kamu lagi di rumah?” sms dari Radit baru Rana baca.
“Ya..” message sent. Beberapa menit kemudian, tak ada
balasan dari Radit. Rana mulai curiga, kalau Radit akan datang. Sehingga Rana
mulai membereskan dapur, kemudian mandi.
“Memangnya kenapa Dit?” akhirnya Rana bertanya juga, penasaran.
“Aku mampir ke rumah ya...” balas Radit. Demi membacanya, Rana
kaget, ini diluar ekspektasinya. Ketika Radit pulang dari Kuliah Prakteknya,
dia memang melewati kota dimana Rana tinggal. Ya, apa salahnya mampir?
“Sekarang dimana Dit?” tanya Rana lagi.
“Udah depan rumah Na..”
Dan benar saja, ketika Rana menengok ke arah jendela, terlihat
bayangan Radit di sana. Its really a surprise. Rana melihat, kini Radit becomes
so mature, walaupun usia Rana 5 bulan lebih tua darinya. Setiap Rana
bertemu dengan Radit, Rana merasa seperti menemukan sesuatu yang baru. Entah
sesuatu itu apa, yang pasti ada sesuatu yang berubah dari sosok Radit.
Rana tak pernah bisa memilih, kenapa dia bisa mempunyai perasaan
yang begitu mendalam pada Radit. Sosok yang sebenarnya lebih muda. Tapi, kadang
usia tidak menjadi ukuran kedewasaan seseorang
bukan? Tetapi pengalaman hiduplah yang membuat orang menjadi lebih dewasa.
Rana pernah membayangkan bahwa mungkin Radit adalah Mr. Right
baginya. Dia pernah ada dalam fase, ketika berdoa pada Tuhan, meminta Radit itu
adalah jodohnya. Kalau bukan jodoh, maka jodohkanlah. Ini sih doa maksa,
haha. Tetapi, fase itu sudah berlalu. Seperti Radit, Rana juga menjadi dewasa
dalam beberapa hal. Rana tidak lagi terlalu berharap kalau Radit adalah
jodohnya. Berharap dia akan mendapatkan jodoh yang terbaik, begitu pula dengan
Radit. Jika mereka bertemu di kemudian hari, berarti itu jawaban yang diberikan
Tuhan.
*Sebuah cerita pret..dut..cuih..haha.
*Sebuah cerita pret..dut..cuih..haha.
Ternyata sebagian adegan bersenting pare... atau jangan-jangan... *ihhiy #abaikan
BalasHapusdi bold-di italic,
BalasHapusSebuah cerita prett..dut..cuihh...hehe. Fiktif Belaka. *Disisipi disana-sini.
Yah, setidaknya ada sisipan harapan juga lah.. *Plak!
BalasHapusudah nampar duluan...hoho..*abaikan.
BalasHapus