Senin, 13 Februari 2012

Media Massa dan Kekuasaan


*Sebuah laporan bacaan dalam mata kuliah Media Massa dan Sistem Politik, Kelas Kajian Media.

Apa yang diucapkan oleh Max Weber bahwa politik juga bisa diselenggarakan dalam bingkai negara. Konsep politik sangatlah luas, yang menggambarkan kepemimpinan independen. Seperti aliran kebijakan bank, bisa juga pendidikan kebijakan kotamadya, dsb.
Dalam konteks negara, politik adalah tentang memperoleh atau kehilangan kekuasaan (power). Ini memungkinan satu aktor dalam sebuah relasi sosial/mempengaruhi posisinya. “Politik” untuk kita berarti usaha untuk membagi kekuasaan untuk mempengaruhi distribusi kekuasaan, di dalam negara atau kelompok di dalam negara. Aktor dalam politik juga berusaha mendapatkan kekuasaan untuk mengusahakan maksud lain, kekuasaan untuk kekuasaan, menikmati gengsi/wibawa – perasaan yang didapat dari kekuasaan.
Politik mendorong kita meninggalkan impersonality birokrasi, dari tekanan modern pada rasionalitas dan efisiensi. Ini membawa kita kembali pada kepentingan pribadi dan resources. Ini memindahkan analisis politik dari impersonal ke personal, dari negara ke pesta, dari perintah ke ajakan, dari aturan ke hak suara, dari organisasi ke individu. Mengizinkan kita untuk berpikir tentang citra budaya dan manipulasi simbolik.
Ketika kekuasaan (power) didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk bertahan (resistence). Jika ada orang yang taat pada kita bukan karena takut, tetapi karena respect, ini menggambarkan bukan hanya kekuasaan tetapi juga otoritas.
Kekuasaan bisa dilegitimasi dalam term personal oleh kharisma pemimpinnya. Sejak dua abad terakhir, media massa menentukan konstruksi kekuasaan kharismatik, dan pada masyarakat modern, strategi politik berkembang menjadi produksi image (citra) yang dimediasi oleh media massa. Aksi politik menjadi performance (politikus). Para sosiologist dan intelektual mengkritik adanya “politik symbolic” sebagai manipulasi dan propaganda, sebagai sebuah alat perubahan dari realitas ke kepura-puraan, simulasi, dan tontonan. Dengan adanya politik image ini, PR dan advertising menjadi berkembang. Kharismatik itu kadang tidak terlihat sebagai kekuatan sosial (Mann 1986, 1993) tetapi kekuatan sosial ini dibatasi oleh kekuatan ekonomi dan intelektual.
Karl Marx mengartikulasikan fakta-fakta dan visi kuat pada kontrol sosial tersembunyi dalam teori kelasnya. C. Wright Mills mengembangkan model kelas ini menjadi lebih tajam, sebuah model kritikal-analisis Neo Marxian “the power elite.” Mills mengembangkan model yang lebih plural dan weberian. Kekuatan elit bukan hanya kekuatan ekonomi, tetapi juga kekuatan politik dan militer. Masing-masing kekuatan ini mengkoordinasikan aksinya. Mereka ini saling tarik menarik secara psikologis untuk menggenggam personal dan basis sosial pada kesatuan elit power. Dominasi kaum elit ini men-share identitas kolektif. Kaum elit ini bukan hanya berinteraksi secara ekonomi, tetapi sosial dan budaya. Kaum menengah masih mempunyai akses, sedangkan kaum bawah, sulit mendapatkan akses.
Kekuatan sosial tidak terdistribusi secara merata. Perusahaan-perusahaan besar seringkali mempengaruhi kebijakan pemerintah. Publik telah ditransformasi, publik yang diekspos secara pasif ke media massa, dan dimanipulasi. Maka, opini publik telah dihapuskan, sebagai tantangan bagi kekuasaan kaum elit.
Diantara sosial power, state power, ada ruang budaya dan ruang institusional yang disebut dengan ruang sipil. (Alexander 2006). Dimana ruang sipil inilah yang menjamin hak individu, rasa dan nilai yang terbangun di masyarakat. Untuk mencapai kekuatan politik yang berdasarkan civil society dibutuhkan media yang bisa merepresentasikan mereka (civil qualities) dengan idealisme yang tinggi dan merefleksikan harapan dan aspirasi. Pada saat krisis, demokrasi masyarakat (bawah, menengah, atas) bisa mencegah kekuatan korporat dan menghadapinya dengan cara yang lebih mengena.
Menurut Robert Dahl (1971) demokrasi dibutuhkan tidak hanya bebas, fair, dan pemilu yang kompetitif, tapi juga kebebasan organisasi dan kebebasan ekspresi, tapi juga membuat pemilu tersebut berarti. Demokrasi bukan hanya tentang peran mayoritas, tapi juga menyediakan kebebasan politik sehingga bisa ada debat dan pengambilan keputusan yang independen pada institusi pengadilan dan media. Jika demokrasi diperkenalkan secara tiba-tiba (dalam konteks Indonesia) yang kalah akan berusaha bertahan, dan yang menang menjadi tidak mudah. Sebagaimana yang kita lihat di Asia Tenggara, para elit berharap pada media. Dengan adanya perubahan radikal media berkembang menjadi latar belakang politik-yang menunjukkan kekuatan dan aspirasi (Atkins 1999). Sebelum krisis 1997-1998 komentator melihat pola ekonomi regional akan membawa berkembangnya produk media (cetak dan siaran).
Di Indonesia, penggunaan media cukup baik. Misalnya sangat membantu dalam menciptakan nasionalisme dalam perbedaan pulau, agama, dan budaya, dimana ini menjadi sebuah imagine community.

0 comments:

Posting Komentar

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri