Internet dan Budaya Baca Kita
Budaya baca masyarakat Indonesia memang masih terbilang rendah. Berdasar data yang dilansir dari Organisasi Pengembangan Kerja Sama Ekonomi (OECD), budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur.[1] Selain budaya baca yang rendah, masyarakat kita menjadi masyarakat yang sangat cerewet di sosial media. Nicholas Carr, menyampaikan kekhawatirannya terhadap penggunaan internet yang masif, dan dalam jangka waktu yang panjang, akan menimbulkan kedangkalan pikiran manusia. Benarkah demikian? Bagaimana dengan msayarakat kita dengan minat bacanya yang rendah, tetapi sangat cerewet di media baru ini?
Internet dengan digitalisasi yang menyertainya ternyata membawa beberapa hal baru di masyarakat. Tampilan layar (screen) yang kaya dengan image, text, numbers, graphics, sounds, yang memang sangat kompleks, merangsang indera penglihatan dan pendengaran kita. Internet itu sendiri, pada akhirnya sangat memanjakan otak kanan manusia. Karena image dan graphics yang dimuatnya. Sehubungan dengan otak kanan yang bersifat imaginatif, visual, lateral, sedangkan otak kiri lebih bersifat linear, tekstual. Fasilitas link, jump, dan association yang ditemukan di internet juga memang memanjakan otak kanan. Pasalnya, link, jump, dan association membiasakan penggunanya untuk cenderung berpikir dengan pola asosiatif dibandingkan dengan pola linear. Sehingga penggunaan link, jump, dan association memang sesuai dengan otak kanan.
Kita juga menjadi cenderung haus terhadap sesuatu yang cepat. Tidak dapat dipungkiri, kecepatan dituntut dalam mobilitas tinggi. Kebiasaan ini juga mulai membentuk masyarakat pengguna internet. Kita menjadi lebih senang dengan sesuatu yang lebih cepat/instan. Dibandingkan dengan mencari informasi di buku dan literatur sejenisnya, kita lebih senang untuk mencari informasi melalui search engine. Jika informasi yang dicari hanya informasi untuk mengobati rasa ingin tahu, tentunya kebiasaan menggantungkan diri pada search engine tidaklah masalah. Tetapi, bagaimana dengan pemahaman mendalam tentang suatu hal, yang tentunya perlu sumber informasi yang lebih valid dan sistematis dalam menyusun informasi tersebut dalam otak.
Banyak fenomena yang muncul seiring dengan populernya internet di masyarakat kita. Vand Dijk menyebutkan dalam bukunya The Network Society, fenomena tersebut diantaranya adalah data smog dan information dud/information overload. Data smog mendeskripsikan informasi yang ada seperti sampah, tidak berguna dan kurang menguatkan informasi yang ada, malah hanya pengulangan informasi yang telah ada. Pengulangan informasi yang telah ada inilah yang kemudian membentuk suatu pola pikir yang dangkal dan oleh karenanya perlu sumber informasi lain yang mendampingi.
Fenomena information dud/overload information terjadi karena begitu banyak informasi yang diproduksi. Perkembangan informasi dalam jumlah yang besar, sehingga bagaikan menyiapkan sebuah jawaban bagi pertanyaan yang belum diajukan. Saking banyaknya informasi yang ada, kita cenderung menjadi tahu banyak hal secara umum, tetapi tidak mengetahui satu hal secara spesifik.
Selain itu, internet juga mempengaruhi aktifitas membaca manusia, yang pada era sebelumnya (era cetak/era sebelum munculnya internet) membaca menjadi sebuah keasyikan umum. Dengan hadirnya internet, kebiasaan ini menjadi tergeser oleh keasyikan baru yaitu duduk di depan layar, dan mengakses internet. Menurut Nicholas Carss dalam bukunya “The Shallows” mengatakan bahwa membaca (cetak) membawa kita dapat memfokuskan perhatian, mendorong aktivitas berpikir mendalam dan kreatif. Sebaliknya, internet memaksa kita menelan informasi secara instan, cepat, dan massal, sehingga pikiran kita mudah teralihkan. Kita menjadi terbiasa membaca serba kilat dan cepat menyaring informasi, tapi akibatnya kita juga menjadi kehilangan kapasitas untuk berkonsentrasi, merenung, dan berpikir mendalam.
Jika dilihat dari penemuan teknologi dan budayanya, Indonesia ini mengalami perubahan budaya yang prematur. Disadari atau tidak, media dari sisi teknologi maupun kontennya membawa pengaruh terhadap masyarakat yang mengkonsumsinya. Paul Saffo pernah menyampaikan bahwa waktu yang dibutuhkan sebuah teknologi untuk bisa benar-benar meresap ke dalam masyarakat dan membudaya, yaitu selama 30 tahun/3 dekade. Dengan kategori seperti ini, budaya membaca (print age) di Indonesia belum begitu meresap ke dalam kehidupan masyarakatnya. Budaya membaca pada masyarakat Indonesia bersaing mendapatkan perhatian masyarakat dengan media-media lain seperti TV dan Radio, karena teknologi ini ada pada saat yang bersamaan. Teknologi cetak (print age) dan budaya baca yang dibawanya, belum benar-benar meresap dan menyebar secara keseluruhan ke dalam masyarakat Indonesia. Dan ketika budaya membaca belum benar-benar membudaya, media baru (internet) sudah hadir di Indonesia. Dan perubahan budaya ini terlihat prematur.
Sehingga, Indonesia tidak benar-benar selesai menjalani Print Age dengan budaya membacanya, dan malah sudah memasuki era internet. Indonesia seperti mengalami perlompatan budaya, dan ini berdampak pada keseharian masyarakat. Perlompatan budaya ini, mengindikasikan bahwa secara infrastruktur dan sosial kita belum siap masuk ke era internet. Tidak heran jadinya, jika kita temukan satu kelompok masyarakat dengan komunikasi yang sangat interaktif dengan akses yang sangat mudah, tetapi di daerah lain ada masyarakat dengan akses terhadap informasi sangat sulit, jangankan demikian, listrik saja masih menjadi barang mahal.
Bukan berarti kemudian saya lantas menyalahkan budaya yang dibawa internet dan perkembangan teknologinya. Tetapi, sebagai masyarakat yang sadar terhadap informasi, kita bisa menjadi lebih bijak dalam menggunakan internet dan mengakses informasi. Mengatur interaksi kita dengan internet itu sendiri, dan tetap menyediakan waktu luang untuk membaca (deep reading). Sehingga kita bisa menggenggam keduanya. Yaitu mendapatkan kemudahan dan kesenangan dengan adanya internet, tetapi juga tetap melakukan pembelajaran dengan membaca secara mendalam dan melibatkan pemikiran kontemplatif, reflektif. Sehingga dengan melakukan proses kontemplasi dan refleksi, kita tidak terjebak ke dalam informasi yang itu-itu saja, tetapi juga tetap menghasilkan informasi demi berkembangnya ilmu pengetahuan.
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Peminatan Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
0 comments:
Posting Komentar
Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)