refleksi 30 Desember 2011
Biar aku ceritakan apa yang aku alami hari ini...
Hari ini, hari yang cukup menyenangkan, dimana aku merasa cukup bahagia dengan hari yang kujalani. Sejak tadi siang, aku pergi keluar kota bersama teman-teman untuk mengunjungi sebuah TV komunitas di sebuah Universitas di kota tersebut. Alhamdulillah, aku dan teman-teman disambut baik oleh tuan rumah, dan kami mendapat pengalaman yang benar-benar berharga. Sepanjang perjalanan pergi-pulang, kami tertawa, joke-joke ringan mengalir begitu saja, begitu juga dengan cemilan-cemilan ringan yang menambah keceriaan.
Sesampainya di kampus, kami memutuskan untuk sekedar makan-makan disebuah food court tak jauh dari lokasi kampus. Sebuah lokasi dimana banyak tempat-tempat favorit yang menyediakan makanan dan wifi selama 24 jam. Karena lokasi tersebut memang dekat dengan studio sebuah statsiun swasta, maka tak aneh jika hingga jam 10 malam, tempat tersebut masih ramai dengan manusia-manusia Jakartaensis.
Kami pun menikmati makanan yang kami pesan sambil berdiskusi ringan, kali ini agak serius, bukan lagi rumpi cewek-cewek, tetapi lebih ke politik kampus, organisasi yang dipimpin, masalah sosial, dan resolusi tahun baru yang sebentar lagi menjelang. Ah, setidaknya obrolan malam itu cukup menyadarkanku supaya terus menjadi lebih baik.
Kami pulang. Aku dan salah satu temanku berjalan di trotoar, persis dimana masih banyak orang berlalu-lalang. Tiba-tiba mataku melihat sosok mungil, merangkul lututnya, tertidur di samping trotoar. Tiba-tiba angin yang berhembus, menerobos kaus yang kupakai dan terasa dingin menusuk tulang. Mataku memanas, hatiku terenyuh melihat sosok mungil yang tertidur itu. Rasanya tak adil, jika aku melewati hari ini dengan bahagia, tetapi tidak dengan sosok mungil yang kulihat.
“Dek..dek..ini buat makan..” aku menyimpan sedikit uang disamping sosok mungil itu. Dia masih terdiam, tertidur pulas, uang kertas hampir terbang tertiup angin malam.
“Dek..dek..ini buat makan..” aku menyelipkan lembar uang itu di dekat lengannya. Sosok mungil itu terbangun. Setidaknya, uang kecil ini cukup untuk mengganjal perutnya sementara.
Baru berjalan dua tiga langkah, aku menemukan sosok yang sama sedang meringkuk di trotoar sebelah kiri. Aku terus berjalan, mengacuhkan apa yang kulihat. Hatiku benar-benar meringis, bagaimana mungkin mereka melalui malamnya dengan tidur kedinginan di luar rumah?
Aku akui, aku tidak bisa berbuat banyak. Hanya doa yang terucap, semoga esok, nasibnya bisa menjadi lebih baik. Terlepas dari apa yang kulakukan akan membuat homeless-homeless seperti mereka menjadi ketergantungan. Mereka masih kecil, masih terlalu muda untuk kehilangan kasih sayang sebuah keluarga.
Melihat hal ini, tentunya kita tidak bisa terus-terusan menyalahkan atau hanya mengandalkan pemerintah. Kita juga mungkin bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak terduga..Bisnis Social Mungkin bisa dicoba?
J
Sebuah realita pahit di negeri yang katanya kaya raya dengan potensi bumi dan lautnya (agaknya ni statement udah agak basi #nyengir).
BalasHapus---
anw, Bisnis Sosial? konsepnya kayak gimana tuh Sri?
Bisnis sosial setauku sih, posisinya ditengah2 antara konsep bisnis (yang orientasi keuntungan) sama konsep sosial (yang biasanya charity).
BalasHapuskalau kata Muh. Yunus (pendiri Grameen Bank) sih, konsep Charity itu malah memposisikan orang2 trsbt sebagai objek.
kalau bisnis sosial, memposisikan orang2 trsbt sbg subjek, in case grameen bank, orang2 itu dapat pinjaman uang (terus digunakan sbg modal usahanya, terserah org trsbut mau dipake bisnis apa).. karena poinnya menempatkan org2 itu sbg subjek, dan kenyataannya org2 itu bisa ngembaliin uang pinjaman itu. Contoh kasusnya di Bangladesh sih,
gimana menurutmu Rul?
Saya pernah membaca sekilas kisah sukses Grameen Bank. Sangat inspiratif.
BalasHapus---
Kalo tanggapan saya pribadi, belajar dari Grameen Bank, jika konsepnya pernah terbukti berhasil artinya di Indonesia juga pasti bisa diterapkan, walau mungkin ada hal-hal yang perlu dimodivikasi sedikit terkait dengan latar belakang/karakteristik budaya dan manusianya yang berbeda.
---
menurut Sri, starting point-nya dimulai dari mana?