Dapatkah Pendidikan Mencetak Individu-Individu Antikorupsi?
Ditulis oleh Asriana Issa Sofia dan Haris Herdiansyah*
*= dosen di Universitas Paramadina
*= dosen di Universitas Paramadina
Pendahuluan
Dalam beberapa dekade bisa dikatakan upaya pemberantasan korupsi di berbagai tempat di dunia dilakukan dengan lebih mengandalkan upaya hukum (lawyer approach). Bahkan, sejumlah negara telah menghalalkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Upaya hukum merupakan salah satu pendekatan yang penting, tetapi hanya akan berhasil apabila dikombinasikan dengan berbagai pendekatan lain.
Dalam beberapa tahun terakhir mulai menguat perhatian banyak pihak terhadap perlunya upaa preventif yang lebih menyentuh masyarakat akar rumput sekaligus melahirkan generasi bersih korupsi, salah satunya melalui jalur pendidikan. Pendidikan, dalamarti luas pada hakikatnya akan selalu eksis sepanjang kehidupan manusia dan secara simultan memperbaiki kualitas kemanusiaan manusia, melalui perbaikan akal dan budi. Persoalannya adalah tidak semua nilai-nilai dan skill dapat ditransfer melalui pendidikan di kelas-kelas. Ketika berbicara tentang hard skill, barangkali kelas merupakan wahana yang tepat, tetapi ketik berbicara tentang soft skill dan attitude, efektivitasnya masih belum teruji.
Terkait dengan isu korupsi, apakah pendidikan antikorupsi akan sukse mencetak individu-individu yang bersih-korupsi? Seberapa besar optimisme harus dibangun di atas peran pendidikan dalam mencegah korupsi?
Pendekatan dalam Strategi Memerangi Korupsi
Against Corruption! Dalam dekade terakhir ini menjadi semangat yang menyebar, di berbagai negara dan diberbagai komunitas. Desakan memerangi korupsi telah mendorong munculya berbagai inisiatif di tingkat multilateral, bilateral, maupun unilateral. Inisiatif tersebut diwujudkan dalam bentuk regulasi, deklarasi dan konvensi nasional maupun internasional antikorupsi, lahirnya organisasi-organisasi independent yang menggagas sejumlah indeks persepsi korupsi diikuti berbagai aktivitas mendukung gerakan antikorupsi, hingga konferensi-konferensi yang menghasilkan rencana konkret perlawanan terhadap korupsi.
Selama ini gerakan melawan korupsi dilakukan melalui dua pendekatan yang bersifat saling melengkapi.
A. Pendekatan Represif
Pendekatan yang bersifat represif, yaitu memproses kasus-kasus korupsi sebagai tindak pidana yang harus diselesaikan secara hukum; tindakan ini dikawal oleh perangkat hukum meliputi pasal-pasal hukum hukum dan aparat penegak hukum. Pendekatan hukum memang belum mampu menuntaskan banyak kasus korupsi, tetapi diharapkan hukuman bagi pelaku korupsi yang setimpal akan mampu menimbulkan deterren effect berupa rasa takut dan efek jera yang dapat mencegah seseorang dari tindakan korupsi, dikarenakan rasa takut akan hukuman fisik (penjara) maupun sanksi sosial (rasa malu).
Sesungguhnya hukum merupakan sistem aturan terendah yang dapat dijadikan sandaran dalam berperilaku, karena manusia secara kodrati memiliki hati nurani dan kemampuan pikir yang membedakan antara sikap manusiawi dan hewani. Di dalam hati nurani terdapat suatu nilai universal khas manusia, disebut moral, yang tatarannya jauh lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih mampu menyentuh ranah individual. Hukum merupakan suatu bentuk kesepakatan bersama yang mau tidak mau, suka tidak suka disepakati secara bersama tanpa pandang bulu, artinya hukum cenderung berada pada ranah komunal atau massal.
Keterbatasan lain dari upaya hukum adalah tidak jarang terjadi efek domino, saat investigasi terhadap suatu kasus korupsi bisa jadi mengungkapkan keterlibatan lebih banyak pelaku, yang sangat mungkin banyak diantaranya adalah tokoh penting yang mempunyai kekuasaan. Sehingga sering upaya hukum mengalami jalan buntu akibat adanya konspirasi beberapa pihak yang mampu menyetir keputusan pengadilan. Kondisi ini jelas memperlambat penanganan kasus-kasus korupsi hingga tuntas. Di samping itu, hasil langsung dari penindakan hukum jelas terbatas hanya terjadi pada pelaku-pelaku korupsi. Pertanyaan besarnya adalah sementara kasus-kasus korupsi diproses secara hukum, apakah pada saat yang bersamaan ada jaminan bahwa korupsi tidak terjadi di zona-zona masyarakat yang masih bersih? Apakah proses hukum terhadap kasus korupsi bisa lebih cepat dari proses munculnya korupsi-korupsi baru?
B. Pendekatan Preventif
Kenyataannya, terjadi kesenjangan yang cukup besar antara upaya penanggulangan (represif) dengan upaya pencegahan (preventif). Upaya preventif kurang mendapatkan perhatian dari banyak pihak, karena fokus masyarakat dan media massa lebih pada aksi-aksi penindakan. Tetapi, ketika semakin banyak kasus korupsi terkuak, masyarakat mulai mencari benang merah adanya berbagai faktor yang membuat tindak korupsi begitu mudah dilakukan oleh para koruptor. Longgarnya sistem administrasi anggaran, lemahnya hukum, dan faktor-faktor terkait sistem lainnya menyodorkan peluang terjadinya korupsi. Muncul kecemasan ketika gagapnya moral, nilai, dan etika individu ditemukan sebagai faktor yang melandasi perilaku korupsi tersebut.
Kondisi di atas menyebabkan pendekatan preventif berperan strategis, tanpanya korupsi bisa benar-benar menjadi bagian dari seluruh sendi kehidupan. Upaya preventif akan mempunyai jangkauan yang lebih luas dengan efek jangka panjang menuju lingkungan yang bebas korupsi.
Upaya preventif ini diimplementasikan dalam dua cara: Pertama, melakukan perbaikan sistem pada sektor publik maupun sektor swasta, dengan mewujudkan good governance yang diharapkan akan mengurangi bahkan menutup peluang terjadinya korupsi. Akan tetapi sistem yang baik tanpa diimbangi dengan kualitas moral para individu yang menjalankan sistem tidak akan menghasilkan output yang menggembirakan. Sehingga muncul uapaya kedua yaitu upaya perbaikan moral melalui pendidikan. Moral merupakan faktor kunci dan pendidikan antikorupsi yang bertujuan memebrikan pemahaman mengenai korupsi dan ruang lingkupnya kepada masyarakat luas, diharapkan akan membuka wawasan bagi masyarakat, khususnya kepada peserta didik untuk menganggap korupsi sebagai musuh bersama yang harus diperangi.
Mengapa Pendidikan Antikorupsi?
Praktik korupsi dalam kenyataan melibatkan berbagai aktor, yaitu pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Mengandaikan struktur aktor korupsi dengan sebuah piramida, maka di puncak piramida adalah pemerintah yang sering berperan sebagai juru kunci pembuka pintu-pintu korupsi. Di bagian tengah piramida adalah sektor swasta yang merupakan arena luas bagi permainan kasus korupsi. Dan di dasar piramida terdapat masyarakat sebagai mayoritas yang banyak menanggung akibat dari aksi-aksi korupsi yang terjadi dalam bentuk hilangnya hak sosial dan ekonomi mereka.
Menyikapi kondisi saat masyarakat rentan menjadi korban korusi karena kurangnya pemahaman mengenai korupsi itu sendiri, amat diperlukan program penyadaran masyarakat melalui peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan beragam bentuk, aspek-aspek, dan bahaya korupsi. Program ini pada dasarnya adalah penyebaran informasi tentang korupsi, dan antikorupsi, melalui berbagai media meliputi kampanye antikorupsi lewat deklarasi, konser musik, penyuluhan, training, leaflet, buku saku, spanduk, stiker, dan lainnya. Pemahaman tentang korupsi ini akan menjadikan masyarakat sadar ketika haknya dirampas, ketika dirinya menjadi korban tindakan korupsi. Sebagai respons diharapkan mereka akan melaporkan hal ini kepada pihak yang berwenang. Semakin kuat public awareness, semakin sempit ruang gerak para aktor kegiatan korupsi.
Namun, upaya pencegahan korupsi tidak bisa berhenti pada tahap public awareness saja. Perlu tuas yang lebih kuat yang bisa menggerakkan masyarakat untuk terlibat aktif dalam memberantas korupsi. Salah satunya adalah pendidikan antikorupsi.
Antikorupsi sebagai Pendidikan Moral
Keluarga dan Pendidikan Moral
Sebuah pepatah China kuno berbunyi : “Segala kebaikan dan keburukan berawal dari rumah”. Barangkali pepatah tersebut dapat dijadikan renungan bagi kita semua, betapa penting dan berharganya arti sebuah rumah. Rumah disini diartikan bukan sebagai bangunan tempat tinggal, tetapi sebagai tempat berkumpulnya sebuah keluarga. Bahkan lebih dalam lagi, rumah berfungsi sebagai “universitas” tempat pembelajaran dan tempat bersemainya nilai-nilai dan norma-norma luhur yang diajarkan dan ditunjukkan melalui metode yang kita kenal dengan cinta dan kasih sayang.
John Locke (dalam Brennan, 1994) mengatakan bahwa pada hakekatnya ketika dilahirkan ke dunia manusia tidak ubahnya seperti sebuah tabula rasa (kertas putih) yang memiliki tidak sedikit pun coretan atau tulisan di atasnya. Lingkunganlah yang akan menggoreskan ribuan tulisan dalam setiap lembarnya. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama, tempat seorang anak menerima pelajaran pertamanya. Segala bentuk fondasi sebagai individu, berasal dari rumah, termasuk fondasi moralnya.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa keluarga merupakan tempat terbaik bagi pendidikan moral anak. Pertama, ikatan darah. Secara umum, keterikatan darah membawa perasaan bahwa tidak ada yang lebih dipedulikan oleh seorang ayah atau ibu selain anak, atau tidak ada yang lebih peduli kepada seorang anak, kecuali orang tua. Dalam hal ini, anak mendapatkan kebutuhan utamanya, yaitu cinta kasih, yang akan membentuk kepercayaan dalam dirinya bahwa kebaikan itu ada dan dialami. Kebaikan pertama diterima oleh anak-anak, bukan dalam bentuk konsep atau pengetahuan, tapi tindakan praktis yang ia alami.
Kedua, kekuasaan dan pengaruh. Orang tua berkuasa atas anaknya baik secara fisik maupun psikologis. Bahkan hidup dan mati seorang anak dapat dikatakan tergantung dari orang tuanya. Kekuasaan biasanya terwujud dalam bentuk pola pengasuhan yang diterapkan orang tua terhadap anaknya. Dalm ilmu psikologi, pola pengasuhan dikenal dengan istilah parenting style. Ketergantungan inilah yang membuat orang tua berkuasa mengucapkan kata-kata agar didengar dan menunjukkan perilaku agar dicontoh.
Ketiga, harapan. Ada harapan pada setiap orangtua agar anak-nya menjadi manusia yang baik, bahkan jauh lebih baik daripada orang tuanya. Hampir dapat dipastikan bahwa tidak ada orang tua yang ingin anaknya menjadi koruptor sekalipun mereka adalah koruptor ulung. Harapan setiap orang tua adalah anaknya selalu menuju ke arah yang lebih baik dan positif. Hal ini, mendorong orang tua mengarahkan anaknya menuju apa yang dia inginkan.
Dari ketiga hal tersebut, tampak jelas bahwa keluarga secara alamiah telah memberi fondasi tentang bagaimana seorang anak dibesarkan. Atau dengan kata lain, keluarga memiliki peran penting dan menentukan bagaimana moral seorang anak terbentuk. Di sisi lain, ketiga hal tersebut menjelaskan bahwa secara nature dan nurture, pendidikan dan perkembangan moral manusia, tidak memberikan ruang sedikit pun bagi virus korupsi untuk muncul dan berkembang. Hal ini menjelaskan bahwa sesungguhnya korupsi bersifat eksternal, di luar kodrat manusia, di luar moral manusia. Korupsi adalah penyakit yang dapat menyerang moral manusia. Jika demikian, kunci dari kuatnya moral atau bahkan tergerogotinya moral oleh korupsi dapat dilihat dari seberapa kuatnya pendidikan dan perkembangan moral setiap manusia. Adalah keluarga sbeagai tempat peletakan batu pertama bagi perkembangan moral. Sejauh mana peran yang diambil oleh keluarga dalam pendidikan dan perkembangan moral seorang anak sangat berpengaruh kepada kuat-lemahnya antibodi yang dimiliki untuk menangkal virus korupsi.
catatan : saya mengutip tulisan dari Bu Asriana Issa dan Pak Haris Herdiansyah supaya banyak teman-teman yang tau ttg permsalahan korupsi ini. dikutip dari buku Korupsi Mengorupsi Indonesia.
nice post... menjadi pribadi yang tak koruptif memang tak mudah, tapi bukan berarti tak bisa dilakukan. ya semoga ini dapat menginspirasi setiap pembaca...
BalasHapussalam
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusamin,,
BalasHapusoya kak, komunita spemuda anti korupsi paramadina, bulan juni mu ngadain serangkaian lomab bertema antikorupsi..(just info)
menebarkan semangat optimisme Indonesia yang lebih baikk..=)
postingan yang kereeeennn..... ayo berantas KORUPSI !!!
BalasHapuslanjut terus post nya chieewww haha