Minggu, 22 Mei 2011

Akar Historis Korupsi di Indonesia


Sri Margana*

*= dosen Ilmu Sejarah FakultasIlmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Dikutip dari Buku Korupsi Mengorupsi Indonesia

Pendahuluan

Pada masa-masa awal pemeritahan Presiden Soeharto, mantan wakil presiden Indonesia yang pertama, Muhammad Hatta, ditunjuk menjadi penasehat presiden dalam upaya pemberantasan korupsi. Dalam kapasitasnya sebagai seorang penasihat presiden, Hatta pernah mengungkapkan bahwa “Korupsi telah membudaya di Indonesia”. Pernyataan itu diungkapkan pada 1970 ketika usia Indonesia sebagai bangsa merdeka baru genap dua puluh lima tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki reputasi sebagai bangsa yang korup jauh sebelum Transparansi Internasional menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di Asia pada 1998. Jika Soeharto mulai menapakkan kekuasaannya pada suatu fase saat korupsi telah menjadi budaya, apa yang terjadi selama tiga puluh lima tahun pemerintahannya adalah sebuah proses penguatan untuk menjadi sebuah peradaban. Pada fase ini perilaku korupsi seolah sudah tidak lagi menjadi persoalan etis moral bagi para elit politiknya tetapi telah menjadi jalan hidup.

Kata “membudaya” memberikan pemahaman bahwa perilaku korupsi ini telah masuk dalam struktur kesadaran masyarakat sebagai proses wajar dan tak terbantahkan dalam relasi-relasi sosial, politik, dan ekonomi. Melabelkan korupsi telah menjadi “budaya” adalah sebuah cultural determinism,  yang mungkin juga dapat melemahkan semangat mengatasi masalah korupsi. Karena korupsi secara kultural telah menjadi bagian struktur kesadaran dan budaya masyarakat Indonesia, sikap antikorupsi dipahami sebagai anti atau memerangi budaya sendiri. Hal seperti ini juga dirasakan dalam pemberantasan korupsi di negara-negara Afrika. Sejauh mana sebenarnya determinasi kultural tentang korupsi di Indonesia ini memperoleh basisnya dalam sejarah dan menjadi kendala pokok dalam mengatasi atau menyusun strategi antikorupsi?

Karena di indonesia sendiri praktik korupsi telah ditemui jauh pada masa feodal-kolonial, banyak orang berkeyakinan bahwa korupsi yang dijumpai di Indonesia saat ini adalah sebuah historical legacy atau warisan sejarah. Pertanyaan kemudian sejauh mana praktik korupsi di Indonesia memiliki kesinambungan sejarah (historical continuity)?

Lebih dari persoalan sikap mental-kultural, korupsi itu sendiri sebenarnya sebuah konsep sosiologis, sebuah perilaku menyimpang yang terjadi dalam relasi sosial-ekonomi dan politik dalam sebuah komunitas atau lembaga. Oleh karena itu, melacak akar historis korupsi di indonesia harus mempertimbangkan perubahan-perubahan realitas sosiologis atau perubahan-perubahan sistem dan hubungan masyarakat Indonesia.

Determinasi Kultural

Cultural Determinism seringkali menjadi acuan dari para pengamat yang mempelajari mengapa praktik korupsi di Indonesia begitu meluas. Cara pandang seperti ini juga mendukung pendapat bahwa kebudayaan tertentu dari etnis tertentu memberi landasan mentalitas menguatnya perilaku korupsi. Untuk kasus Indonesia, kebudayaan Jawa seringkali dituding sebagai penyokong dari tradisi korupsi di Indonesia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa secara kuantitas penduduk Indonesia yang terdiri atas kurang lebih 300 kelompok etnik ini didominasi oleh etnik jawa yang jumlah mencapai lebih dari separuh dari keseluruhan penduduk Indonesia. Di samping itu, etnik jawa juga telah memegang hegemoni politik di Indonesia sejak berdirinya Majapahit yang pengaruhnya sampai ke negeri-negeri di luar Jawa. Kebudayaan Indonesia modern tidak terkecuali juga telah dipengaruhi dua tokoh dominan beretnik jawa yang menjadi presiden pertama, kedua, Soekarno dan Soeharto. Kedua pemimpin ini dinilai telah mempraktikkan bentuk kekuasaan yang mempersonifikasikan raja-raja Jawa di masa feodal.[1]

Fiona Robertson-Snape[2] adalah salah seorang penyokong determinisme kultural penyebab korupsi di Indonesia. Dalam sebuah artikelnya mereka mengungkapkan penjelasan kultural praktik korupsi di Indonesia dihubungkan dengan bukti—bukti kebiasaan kuno orang Jawa. Tradisi itu adalah kebiasaan menawarkan upeti atau persembahan kepada para penguasa. Kebiasaan ini menjadi akar dari praktik-praktik bribery (penyuapan) yang tersebar luas. Menurut penjelasan ini, tukar menukar hadiah dalam norma bisnis tidak seharusnya dipandang sebagai korupsi. Penjelasan yang sama juga dapat dilakukan berkaitan dengan praktik kolusi dan nepotisme. Di dalam kebudayaan tradisional Jawa dengan loyalitas kepada keluarga lebih besar daripada loyalitas kepada negara, kewajiban para pegawai publik di kantornya adalah sekunder, sedangkan yang utama adalah kewajiban pada keluarga dan komunitas. Setiap kesempatan ekonomi atau pekerjaan yang diberikan kepada keluarga dipandang sah.

Sekalipun mungkin premis ini memiliki landasan antropologis yang kuat, tentu saja juga memiliki subjektivitas yang masih harus diuji. Misalnya benarkah tradisi koupsi , nepotisme, dan kolusi itu tipikal Jawa?
Pendukung lain determinisme kultural adalah Theodore M.Smith yang pada 1971 melakukan sebuah penelitian untuk menguji variable kultural sebagai faktor yang mendukung berkembangnya korupsi di Indonesia. Ia berkesimpulan bahwa sebagian besar para perancang ekonomi dan pejabat-pejabat dari level terendah dan tertinggi, yang duduk dalam birokrasi lahir dan dibesarkan di desa, oleh Antropolog Clifford Geertz dinilai masih dekat dengan nilai-nilai patrimonialisme. Smith menegaskan bahwa Informasi itu bukan dimaksudkan sebagai apologi terhadap korupsi, tetapi secara jelas menggambarkan dilema yang dihadapi para pejabat negara. Terdidik oleh nilai-nilai pedesaan, ketika masuk biroksrasi pemerintah mereka tidak mengalami perubahan nilai yang signifikan, bahkan sebagian besar mengalami disorientasi nilai.

Elemen budaya lainnya yang mendukung praktik korupsi adalah budaya administratif di Indonesia yang cenderung sangat intens terhadap “status”, dalam kalimat Smith, a very intens concern for status : for smooth , constrained, and hyperpolite behavior. Ada budaya pakewuh (segan), karena bersikap keras terhadap korupsi akan melahirkan situasi konflik dan disharmonisasi, yang bisa mengancam hidup, keluarga, bawahan, bahkan organisasi secara keseluruhan. Rasa segan dan hormat terhadap senior atau pimpinan dalam birokrasi dan tidak mau bersikap kritis terhadap perilaku mereka. Dalam birokrasi ini telah ada budaya ‘tahu sama tahu’, tenggang rasa terhadap malpraktik dalam birokrasi. Sehingga tidak mengherankan bahwa kelompok elite dalam birokasi ini tidak bereaksi banyak terhadap praktik korupsi.  


[1] B.Anderson, Imagined Communities, (London : Verso, 1991), hlm.12
[2] Fiona Robertson-Snape, “Corruptin, Collusion, and Nepotism In Indonesia, Third World Quaterly, vol. 20, No.3, The New Politic of Corruption (June, 1999), hlm. 589-602.

1 komentar:

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri