Jumat, 15 April 2011

Konco Wingking dan Kartini-Kartini Baru



Konco wingking. Apa itu Konco Wingking? Bagi anda  yang belum tahu, konco wingking berarti  pandangan yang melihat perempuan sebagai ‘pemanis’ atau ‘penambah’ kehidupan, perempuan dianggap tidak menjadi subjek dalam hidup, sebagaimana laki-laki hidup. Kini, masih ada saja sebagian masyarakat yang melihat perempuan dalam kacamata konco wingking-nya.
Di dalam tubuh pemerintahan, masih ada menteri pemberdayaan perempuan. Itu berarti di Indonesia, masih terjadi ketimpangan gender. Dimana masih terjadi kekerasan terhadap perempuan, marjinalisasi (pemiskinan) terhadap perempuan, subordinasi terhadap perempuan yaitu kurangnya penghargaan terhadap peran perempuan dalam ranah domestik dan reproduksi, double burden (beban ganda) dimana ketika peran perempuan bekerja di ranah publik tidak dibarengi dengan pengurangan beban di ranah domestik, stereotype yaitu pelabelan terhadap perempuan bahwa perempuan itu lemah, perempuan itu tidak rasional dan emosional, perempuan itu suka digoda, dan masih banyak pelabelan lainnya, serta masih banyak hak-hak perempuan yang tidak terpenuhi.
Mari kita tengok masa lalu, dimana Kartini hadir sebagai representasi perempuan. Setelah lulus SD, sebenarnya ia sangat ingin melanjutkan pendidikannya. Namun adat istiadat yang masih lekat mengikat, membuatnya tak berani menentang keputusan orang tuanya yang memingitnya sampai ia menikah. Ia mengobati rasa hausnya akan ilmu pengetahuan dengan membaca. Ya, membaca buku-buku, bahkan surat kabar ia baca. Jika ada yang tidak ia pahami, ia akan bertanya kepada Ayahnya tentang hal  tersebut. Tiada hari tanpa membaca.
Melalui buku inilah Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita-wanita Eropa (Belanda) yang saat itu masih menjajah Indonesia. Wanita tidak hanya di dapur, tetapi juga harus mempunyai ilmu pengetahuan. Lalu, timbullah keinginannya untuk memajukan wanita-wanita Indonesia. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.
Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.
Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “Door Duisternis Tot Licht” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Kini, perempuan sebagian besar masih menjadi mayoritas bisu dan hanya menjadi objek politik (objek kebijakan). Menurut saya, rasanya perlu gebrakan dan gerakan yang lebih intens dari perempuan dalam memperjuangkan haknya.
Misalnya, dengan berkecimpung di ranah politik, representasi perempuan yang benar-benar memperjuangkan hak-hak perempuan bisa terus dilakukan. Berkecimpung di dunia politik tidak melulu berpartisipasi dalam sebuah partai politik.
Politik telah direduksi sedemikian rupa sehingga terkesan menjadi sesuatu yang kotor, arena memperebutkan kekuasaan, dan hanya pantas bagi laki-laki. Bukan itu, politik merupakan usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Hakikat politik sendiri baik, namun pada praktiknya lah seringkali kotor.
Perempuan adalah manusia yang unik, ia mempunyai puki. Ia bisa menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Untuk itu, dalam memperjuangkan hak-haknya melalui ranah politik, tanpa bermaksud merendahkan siapapun, perempuan dapat dikelompokkan menjadi perempuan biasa dan perempuan luar biasa. Perempuan biasa adalah perempuan yang secara pendidikan biasa, tidak menempuh pendidikan tinggi namun ia memiliki komitmen untuk melakukan usaha-usaha demi kebaikan bersama. Sedangkan perempuan luar biasa, adalah perempuan yang menempuh pendidikan tinggi dan memiliki komitmen dalam memperjuangkan hak-hak kaumnya. Bagi wanita biasa, ia bisa berkecimpung di dunia politik dengan bergabung atau membentuk suatu kelompok penekan (pressure group). Bagi perempuan luar biasa, ia bisa berkecimpung dengan suatu partai politik tertentu, untuk itu perempuan tipe ini haruslah mempunyai kredibilitas tinggi. Bisa juga dengan menjadi atau melalui tokoh masyarakat, sehingga menjadi sarana aspirasi masyarakat.
Berabad-abad yang lalu pun pada masa Rasulullah SAW, kedudukan perempuan sama dengan laki-laki. Kita ketahui, sejarah kenabian mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran ini bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Ummu Salamah, dan para isteri nabi yang lain, Fathimah (anak), Zainab (cucu) dan Sukainah (cicit). Mereka sering terlibat dalam diskusi tentang tema-tema sosial dan politik, bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis. Partisipasi perempuan juga muncul dalam sejumlah“ baiat” (perjanjian, kontrak) untuk kesetiaan dan loyalitas kepada pemerintah. Sejumlah perempuan sahabat nabi seperti Nusaibah bint Ka’ab, Ummu Athiyyah al Anshariyyah dan Rabi’ bint al Mu’awwadz ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan. Umar bin Khattab juga pernah mengangkat al Syifa, seorang perempuan cerdas dan terpercaya, untuk jabatan manejer pasar di Madinah.
Kini, pemerintah telah menetapkan 30 persen kuota untuk perempuan di parlemen. Saatnya, perempuan menyambut baik kesempatan ini. Walaupun ada yang berpendapat dengan adanya penetapan kuota ini, berarti telah membatasi partisipasi perempuan itu sendiri. Terlepas dari itu semua, ini saatnya perempuan menunjukkan kemauan dan kemampuannya.

Sebagaimana Kartini memenuhi kehausannya akan ilmu pengetahuan, sudah saatnya perempuan bangkit menyuarakan hak-haknya. Semoga Kartini-Kartini baru muncul, memerangi buta huruf, kemiskinan, dan kemalasan di bumi pertiwi ini. Dan lambat laun, persepsi tentang “konco wingking” bisa terhapuskan.


0 comments:

Posting Komentar

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri