Kamis, 03 Maret 2011

Wanita : Dapur, Sumur, Ka**r??

Hakikat Gender

Definisi gender merupakan definisi sosial budaya dari laki-laki dan perempuan, bagaimana cara masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan serta memberikan peran-peran sosial kepada mereka.

Berbeda dengan gender, jenis kelamin merupakan suatu yang bersifat alamiah. Sedangkan gender bersifat sosial budaya dan dikonstruksi oleh manusia (masyarakat). Jenis kelamin bersifat biologis, ia merujuk kepada perbedaan-perbedaan yang nyata dari alat kelamin dan perbedaan terkait dalam fungsi kelahiran. Sedangkan gender bersifat sosial budaya dan merujuk kepada tanggung jawab, peran, pola perilaku, kualitas-kualitas, dan lain-lain yang bersifat maskulin dan feminine. Jenis kelamin bersifat tetap, ia akan sama dimana saja. Gender bersifat tidak tetap, ia berubah dari waktu ke waktu, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari satu keluarga ke keluarga lainnya. Jadi jenis kelamin tidak bisa dirubah, sedangkan gender dapat dirubah.

Kemudian muncullah gerakan feminisme. ‘Feminisme’ merupakan kesadaran akan penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan dan upaya untuk merubah keadaan tersebut baik oleh laki-laki maupun perempuan. Adapun berbagai macam ketidakadilan gender, yaitu:
  1. Marginalisasi perempuan  (berkurangnya hak perempuan)
  2. Subordinasi (perempuan tidak penting/bukan sentral)
  3. Gender dan Stereotipe (pesolekàmudah dilecehkan, lemahàtidak tegar)
  4. Gender dan kekerasan (perkosaan, serangan fisik, prostitusi, pornografi, pemaksaan KB, kekerasan terselubung, pelecehan seksual)
  5. Gender dan beban kerja (beban kerja lebih berat, tetapi tidak dihitung/dihargai)

Partisipasi Perempuan dalam Ranah Politik

Dalam diri seorang perempuan, melekat banyak peran, tidak sekedar seorang istri atau ibu, tetapi pada pemantapan kualitas eksistensinya. Melihat pengalaman pemilu kemarin, perempuan sebagian besar menjadi pemilih, jika dibandingkan dengan angka perempuan yang menjadi representasi kaumnya di ranah politik. Sehingga perempuan hanya menjadi objek politik dan mayoritas yang terbungkam.
Perempuan sebagai obyek politik, terkadang, yang  menjadi tolak ukur adalah sifat kodrati dan kondisi fisik sosok perempuan itu sendiri. Sehingga perlu sikap arif dari semua pihak untuk menerima kenyataan bahwa perempuan merupakan sosok pribadi yang menarik dan bisa mengatasi persoalan-persoalan di masyarakat. Perempuan itu sendiri harus bisa memanfaatkan peluang yang diberi oleh pemerintah. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kenapa perempuan belum begitu besar partisipasinya dalam jabatan politik. Faktor Penyebabnya yaitu faktor internal dari perempuan itu sendiri. faktor eksternal, yaitu faktor pemahaman yang keliru tentang interpretasi ajaran agama.
Menurut Cecilia Bylesjö dan Julie Ballington[1] faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi perempuan dalam ranah politik, faktor pertama adalah kenyataan historis dan berkelanjutan tentang rendahnya representasi perempuan Indonesia disemua tingkat pengambilan keputusan. Di parlemen nasional, perwakilan perempuan hanya 9.2 persen dari total anggota parlemen, jauh lebih rendah dari ‘rekor’ periode sebelumnya, yakni 12.5 persen. Faktor kedua berkaitan dengan reformasi politik yang sedang bergulir. Transisi menuju kehidupan politik yang demokratis telah memperlebar peluang bagi perempuan dan sektor-sektor masyarakat lainnya untuk mengekspresikan pandangan mereka serta merumuskan dan menyuarakan tuntutan mereka tentang kesadaran dan kepekaan jender yang lebih besar di dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, legislasi, dan politik pemilu. Sedangkan faktor ketiga berhubungan dengan krisis ekonomi tahun 1997 yang menyulut maraknya tuntutan pada representasi perempuan di semua tingkatan dan seluruh aspek kehidupan politik. Krisis itu telah memperburuk kondisi hidup kaum perempuan, sehingga mendorong mereka bangkit menyuarakan kebutuhan mereka, sekaligus mempertahankan hak-haknya. Semua faktor di atas telah menciptakan suatu atmosfir di mana seluruh organisasi masyarakat madani, LSM, aktivis, politisi dan badan-badan internasional bisa bersuara dan secara bersama-sama mempengaruhi wacana dan arah kebijakan pemerintah menyangkut pelibatan perempuan Indonesia dalam kehidupan publik.
Penyebab hadirnya ketidakadilan gender yang menimbulkan sedikitnya perempuan yang berkecimpung di ranah politik dan publik, disebabkan oleh sistem patriarki di masyarakat, struktur sosial, dan interpretasi terhadap agama.
Sistem patriarki adalah suatu relasi hirarkis dan semacam forum solidaritas antar laki-laki yang mempunyai landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan.[2] Terlihat jelas dari definisi di atas dan dari masyarakat yang memang sangat kuat budaya patriarkinya, benar-benar “terpenjara” oleh budaya. Simone de Beauvoir (1981) dalam The Second Sex[3] banyak mencontohkan wujud patriarki ini dalam bermacam-macam kebudayaan di dunia. De Beauvoir menyatakan dalam budaya Arab (masa jahiliah)[4] misalnya, seorang anak perempuan yang baru lahir sebisa mungkin akan disingkirkan karena semua bayi perempuan dianggap tidak menguntungkan dibandingkan dengan mempunyai anak laki-laki.
 Di negara-negara Asia dan di banyak kultur lain pun ketika seorang anak perempuan masih berusia remaja, seorang ayah memegang kendali penuh atas hidupnya sampai ketika ia menikah dan kontrol itu akan beralih ke suaminya. Kultur ini dari sisi positifnya, bermaksud untuk melindungi perempuan. Tetapi, rentan terjadinya eksploitasi terhadap perempuan.
Struktur sosial di masyarakat pun secara langsung atau pun tidak, telah terbentuk menyudutkan pihak perempuan. Didukung oleh kungkungan budaya dan media yang notabene malah mengeksploitasi perempuan.
Masalah interpretasi agama yang terkadang menjadi sarana terselubung bagi laki-laki untuk mengsubordinat perempuan. Dikarenakan penulis beragama Islam, jadi hanya akan membahas interpretasi terhadap ajaran Islam. Dalam Al-Quran yang menjadi panduan hidup orang muslim, terdapat ayat yang berbunyi “Ar-Rijalu qawwamuna a’la annisaa” (An-nisa:34). Dan seringkali terdapat kekeliruan dalam menginterpretasikan ayat ini. Seringkali ayat ini diartikan sebagai ‘laki-laki adalah pemimpin atas perempuan. Padahal, jika ayat ini dikaji ulang, kata ‘ar-Rijal’ disana bukan berarti laki-laki secara biologis (laki-laki dalam artian jenis kelamin), karena dalam bahasa arab, laki-laki dalam artian jenis kelamin adalah dzakar/ad-dzakar. Ar-Rijal disana dalam artian gender. Sehingga yang termasuk ar-rijal bisa laki-laki dan bisa perempuan. Argumen ini juga diperkuat oleh ‘yang membedakan dari setiap manusia adalah taqwanya.
Sejarah kenabian mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran ini bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Ummu Salamah, dan para isteri nabi yang lain, Fathimah (anak), Zainab (cucu) dan Sukainah (cicit). Mereka sering terlibat dalam diskusi tentang tema-tema sosial dan politik, bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis. Partisipasi perempuan juga muncul dalam sejumlah“ baiat” (perjanjian, kontrak) untuk kesetiaan dan loyalitas kepada pemerintah. Sejumlah perempuan sahabat nabi seperti Nusaibah bint Ka’b, Ummu Athiyyah al Anshariyyah dan Rabi’ bint al Mu’awwadz ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan. Umar bin Khattab juga pernah mengangkat al Syifa, seorang perempuan cerdas dan terpercaya, untuk jabatan manejer pasar di Madinah. Sayangnya sekarang partisipasi politik perempuan mengalami proses degradasi dan reduksi secara besar-besaran. Ruang aktivitas perempuan dibatasi hanya pada wilayah domestik dan diposisikan secara subordinat. Pembatasan ini tak hanya terbaca dalam buku-buku pelajaran, tetapi juga muncul dalam realitas sosial. Sejarah politik Islam sejak Nabi SAW wafat dan masa khulafa al-rasyidun sampai awal abad 20 tak banyak menampilkan tokoh perempuan untuk peran-peran publik.[5]
Kemudian, yang menjadi hambatan bagi berpartisipasinya perempuan dalam politik, adalah paradigma tentang politik itu sendiri. Politik telah direduksi sedemikian rupa sehingga melahirkan pemahaman yang sempit tentang politik. Politik dianggap sebagai sebuah arena kekuasaan dan kepentingan yang keras, kotor, dan karenanya penuh tipu daya. Praktek-praktek demikian yang menyingkirkan perempuan dan menjadikan perempuan sendiri merasa enggan untuk terlibat dalam arena politik.
Menurut Ramlan Surbakti[6], ada 5 pandangan tentang konsep politik:
1.      Politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama.
2.      Politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
3.      Politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.
4.      Politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum.
5.      Politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
Dalam membicarakan peran perempuan di bidang politik, asumsinya bahwa tidak dalam segala pengertian politik semua perempuan dapat ikut ambil bagian. Menurut Sari murti W dalam artikelnya “Perempuan dan politik di Era Otonomi Daerah”, perempuan adalah manusia yang mempunyai puki, bisa menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Oleh karena banyak hal dan tentu tanpa bermaksud merendahkan satu dengan yang lain, maka kaum perempuan dapat dipetakan kedalam dua kategori. Pertama adalah perempuan yang luar biasa karena kualifikasi dan kapabilitas yang dimilikinya.  Kedua adalah peempuan biasa. Bagi perempuan yang termasuk ke dalam kategori pertama, tentunya mempunyai lebih banyak peluang dibanding perempuan yang termasuk ke dalam kategori kedua.
Dari kedua kategori tersebut dapat diasumsikan bahwa pada keduanya tentu memiliki “power” meski dalam takaran yang berbeda. Oleh karena itu, dengan power yang dimilikinya perempuan dapat mengambil tempat dan peran yang tepat untuk berpartisipasi dalam politik.
Dalam UU no 22 Tahun 1999 yang jika dikaji, akan diketemukan bahwa peran serta masyarakat merupakan salah satu tiang penyangga bagi terselenggaranya otonomi daerah disamping demokrasi, pemerataan, dan keadilan.

Berdasarkan UU no 22 Tahun 1999 beserta peraturan pelaksanaannya, ada beberapa alternatif tempat strategis yang relevan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Pertama, adalah pada posisi legislatif dan eksekutif, dan itu berarti perlu melibatkan diri dalam parpol tertentu. Supaya perannya efektif, mereka yang melibatkan diri dalam parpol tertentu seharusnya perempuan yang termasuk ke dalam kategori pertama. Kedua, posisi sebagai tokoh masyarakat sehingga bisa menjadi saluran aspirasi masyarakat. Dengan demikian, setiap usaha pembangunan dapat dikendalikan mulai dari perencanaan sampai demgan pelaksanaannya agar kepentingan perempuan tidak diabaikan. Itu berarti sekaligus akan merubah paradigma, semula perempuan hanya sebagai objek pembangunan, berubah menjadi subjek pembangunan. Ketiga, memposisikan diri sebagai kelompok penekan (pressure group). Sangat cocok bagi perempuan biasa saja, namun memiliki komitmen untuk senantiasa mencari kebaikan bersama.[7]

Perempuan dan Media

Media massa, termasuk televisi menjadi sebuah instrumen yang turut membentuk sosok laki-laki dan perempuan seiring dengan apa yang dikemukakan dalam produksinya (tulisan, iklan, sinetron, film, dsb). Sosok atau penampilan laki-laki dan perempuan ditampilkan dalam bingkai yang seragam. Laki-laki harus lebih kuat dari perempuan, rasional, bertubuh kekar, pandai, dan berkuasa. Sedangkan perempuan selalu ditempatkan aktif dalam ranah domestik (mencuci, memasak, dsb), emosional, lemah, dan cantik. Kendati kemunculan perempuan di media lebih sering dibanding laki-laki, namun hal ini tidak merepresentasikan perempuan. Justru perempuan cendrung menjadi obyek, komoditas, dieksploitasi fisiknya, dan bersifat tidak lebih baik dari laki-laki. Sehingga muncullah prasangka gender yang timpang (bias gender).[8]
Media seharusnya  dihimbau agar bersedia meliput acara yang menonjolkan isu gender. Kaum perempuan juga perlu menyadari pentingnya memanfaatkan media untuk memperjuangkan agenda mereka, antara lain dengan tampil pada program-program talkshow, menjadi narasumber, mengomentari berbagai isu, dan rajin menulis artikel.
Menurut Ani Soetjipto dalam makalahnya yang berjudul “Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan Melalui Reformasi Konstitusi dan Pemilu” Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memperjuangkan partisipasi perempuan dalam politik, yaitu:
Diperlukan lebih banyak perempuan di parlemen agar UU parpol berhasil lolos. Dengan hanya dua wanita yang saat ini duduk di komisi khusus UU parpol, dukungan untuk meloloskan proposal tentang kuota perempuan memang boleh dikatakan mustahil bisa didapat.
Isu-isu perempuan harus direpresentasikan oleh perempuan sendiri. Karena rendahnya jumlah perempuan di lembaga-lembaga pengambilan keputusan, di samping keengganan kaum pria untuk membahas isu-isu ‘perempuan,’ maka kaum perempuan harus hadir di lembaga-lembaga tersebut untuk mengartikulasikan tuntutan mereka.
Proses-proses politik untuk meloloskan RUU di parlemen tidak selalu taat prosedur. Kesepakatan tentang pasal 13 (3) dari UU Parpol, yang membahas kesetaraan jender dicapai pada saat rehat, ketika tidak satupun anggota perempuan hadir di ruang sidang.
Menjalin jaringan kerja sangat penting artinya, baik di dalam maupun di luar parlemen, demi tercapainya tujuan bersama seperti yang diinginkan para aktivis perempuan, anggota legislatif perempuan, dan para anggota kaukus perempuan.
Proposal kuota tadi, misalnya, harus selalu dimonitor perkembangannya, dan ini juga mengharuskan organisasi-organisasi perempuan untuk selalu aktif melakukan lobi. Tanpa upaya-upaya itu, topik tersebut akandihapus dari agenda parlemen.
Media memegang peranan penting dalam memperjuangkan berbagai isu. Tekanan dari media dapat menjadi kekuatan yang efektif. Parpol-parpol dan para anggota parlemen tentu berkepentingan menjaga citra mereka di mata media, dan oleh karena itu cenderung memberi dukungan pada isu-isu populer. Oleh sebab itu, dengan meminta bantuan media kita dapat mengendalikan tindakan para aktor politik.
Kesiagaan dan semangat pantang menyerah sangat penting. Berbagai lokakarya tentang pemberdayaan perempuan perlu dilanjutkan, dan strategi-strategi perjuangan harus dimantapkan dan senantiasa dikaji ulang, agar sesuai dengan kebutuhan yang berkembang di arena politik. Jalan menuju pemberdayaan perempuan Indonesia penuh dengan hambatan, kekecewaan, bahkan langkah mundur, namun tujuan akhir ke arah kesetaraan jender itu harus selalu disuarakan.

Ø  Hakikat gender merupakan definisi sosial budaya dari laki-laki dan perempuan, bagaimana cara masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan serta memberikan peran-peran sosial kepada mereka.
Ø  Perempuan harus menyadari  bahwa dirinya (sebagian besar perempuan) berada dalam pihak yang tersubordinat oleh laki-laki. Ajaran agama yang selama ini alat laki-laki untuk mengsubordinat perempuan harus dikaji kembali.
Ø  Kesadaran yang dimiliki oleh perempuan tersebut harus bisa digunakan untuk memperjuangkan apa yang menjadi pemikiran dan hak perempuan. Perempuan juga harus membuktikan bahwa mereka juga bisa dan menghapus stereotipe yang ditujukan terhadap mereka.
Ø  Adanya kesempatan kepada perempuan untuk berperan di ranah politik.
Ø  Dunia politik bukan hanya dunia laki-laki. Sebenarnya politik itu sendiri tidaklah kotor, namun praktek dari politik itu sendiri yang kotor.
Ø  Akses yang sama antara laki-laki dan perempuan.















[1] Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia; Laporan hasil konferensi yang diadakan di Jakarta, pada bulan September 2002.hal.4
[2] Loc.cit
[3] Ibid
[4] Jaman kebodohan, sebelum hadirnya Nabi Muhammad SAW yang membawa ajaran Islam, dimana Islam mulai menghapuskan perbudakan.
[5] KH.Husein Muhammad. Partisipasi Politik Perempuan dan Rawya.
[6]Ramlan Surbakti dikutip dari Sari Murti W. Perempuan dan Politik di Era Otonomi Daerah. Bantul: IP4 Lappera. 2001.h.39
[7] Ibid. h. 43,44
[8] Jurnal perempuan 61. h. 145

0 comments:

Posting Komentar

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri