Jumat, 15 April 2011

Lagi-lagi Motif Agama



Negeri ini bagaikan panggung sandiwara. Segala hal bisa diracik dan penuh intrik. Perbedaan antara yang salah dan benar menjadi bias, abu-abu. Masih hangat di telinga kita, beberapa media memberitakan tentang kasus bom buku yaitu semacam  teror bom yang dikemas dalam bentuk buku. Teror bom buku tersebut ditujukan kepada intelektual muslim Ulil Abshar Abdalla. Paket serupa dikirimkan kepada Kalakhar Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Gories Mere dan Ketua Pemuda Pancasila Yapto S Soerjosoemarno.
”Ini dirancang sangat baik, dengan motif-motif keagamaan. Tapi, menurut saya, hal tersebut dilakukan hanya untuk menutupi motif politik,” kata Ulil kepada wartawan suatu harian di Kantor KBR68H Utan Kayu, Jakarta, Rabu (16/3/2011).
Sekitar tahun 2002 dan 2003 kasus teror bom ditujukan untuk mengancam simbol yang menandakan ekspresi ideologi dan kepentingan barat, terutama AS. Kini, teror bom ditujukan untuk mengancam aktivis yang mengusung pluralisme dan toleransi.
Februari kemarin, terjadi kasus yang menodai kemanusiaan, yaitu penyerangan warga Ahmadiyyah yang tinggal di desa Umbulan oleh seribuan warga Cikeusik, Pandeglang, Banten yang mengakibatkan 3 orang tewas. Terlepas dari perdebatan sesat atau tidaknya Ahmadiyyah, saya rasa nilai-nilai kemanusiaan harus tetap ditegakkan.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa insiden tersebut tampak direkayasa. Mengapa seperti direkayasa?
 Pertama, tidak sigapnya polisi.  Menurut kabar dari keluarga seorang reporter ANTV, sejak Jumat aparat di seluruh Kabupaten Pandeglang sudah tahu kalau ada rombongan massa yang datang ke Cikeusik. Ketidakmampuan pihak polisi mencegah insiden tersebut terasa janggal, padahal polisi sudah mengetahui akan terjadinya hal tersebut sebelumnya.
Kedua ada penggerak massa. Dari gambar-gambar video yang muncul di Youtube maupun yang didapat dari lapangan, jelas bahwa awalnya massa tampak digerakkan oleh belasan orang berjaket hitam, sebagian berkaos t-shirt dan kemeja dan bersenjata golok.
Ketiga, kamera video yang sudah standby. Pengambilan video yang cukup bagus, lebih dari satu angel, dan bisa berbicara banyak tentang peristiwa tersebut dari awal sampai akhir. Proses pengambilan video pun berlangsung lancar, tanpa dirusak oleh massa penyerang. Lalu kalau ini benar-benar direkayasa, siapakah yang diuntungkan? Jawabannya wallahua’lam.
Selain kasus Ahmadiyyah dan bom buku, jika kita tarik kebelakang banyak terjadi kasus yang berkedok agama, seperti halnya pembakaran gereja di Temanggung. Lagi-lagi bermotif agama. Jika kita telaah, banyak serangkaian peristiwa yang terjadi yang bisa memicu konflik masyarakat, baik intern umat beragama, maupun antar umat beragama. Rasanya, masyarakat harus bersikap bijak, dan tidak mudah tersulut emosi.

Pluralisme sebuah keniscayaan
“Hai umat manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang  paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”(QS.Al-Hujurat[49]:13).
Berdasarkan ayat diatas, kemajemukan merupakan keniscayaan. Jika Tuhan menghendaki manusia diciptakan berbeda-beda, maka adalah sangat logis dan bijaksana bahwa dia juga memberikan perlindunganNya kepada para pemeluk agama yang berbeda-beda tersebut dan tempat-tempat mereka menyembah, mengagungkan otoritas yang mereka yakini(QS.Al-Hajj[22]:40].
Untuk itu manusia diharuskan untuk menegakkan keadilan terhadap siapa saja, termasuk terhadap orang-orang yang menganut agama atau kepercayan yang berbeda. Dalam konteks Indonesia, pluralisme dimaknai sebagai kemajemukan, keberagaman, atau kebhinekaan. Keberagaman bukan hanya sebagai sebuah realitas sosial (pluralitas), melainkan juga sebagai gagasan-gagasan, paham-paham, dan pikiran-pikirannya.[1] Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi juga menyatakan secara jelas bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Atas dasar undang-undang ini, semua warga negara, dengan beragam identitas kultural, suku, jenis kelamin, agama, dsb wajib dilindungi oleh negara. Ini juga berarti negara tidak boleh mendiskriminasi warganya dengan alasan apapun, dan pemerintah beserta seluruh warga negara berkewajiban menegakkan konstitusi tersebut.
Hari ini dan seterusnya, masyarakat hendaknya lebih dewasa dalam menanyikapi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan etnis, agama, dan faktor keberagaman lainnya, seringkali agama menjadi motif untuk menimbulkan konflik, padahal ada motif kepentingan lain yang bermain di belakangnya. Kini, masyarakat harus lebih cerdas dan kritis dalam menyikapi isu-isu yang menimpa negeri ini.






[1] Muhammad Husein dalam Argumen Pluralisme Agama.

0 comments:

Posting Komentar

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri