Jumat, 07 Januari 2011

Merapi Oh Merapi



Dua hari terakhir anak-anak Madrasah Ibtidaiyah di Desa Srumbung terlihat sumringah dan ceria sejak mendengar kabar dari guru mereka bahwa hari Rabu depan akan datang rombongan dari Jakarta untuk memberikan bantuan satu bulan pasca meletusnya Gunung Merapi.
Desa Srumbung  yang ada di kaki Merapi itu memang salah satu desa di Magelang yang terkena dampak langsung dari abu dan pasir yang menyembur dari gunung itu. Banyak pemuda yang diantara mereka merupakan mahasiswa yang membantu pemerintah beserta masyarakat setempat ketika membersihkan rumah-rumah dan bangunan sekolah dari abu dan pasir yang sangat tebal.
“Rombongan dari Jakarta itu membawa mainan banyak ya bu??” tanya seorang anak laki-laki  kelas IV itu polos.
Mendengar pertanyaan dari anak itu, ibu itu tersenyum tulus. Sebenarnya dirinya belum tahu apa yang akan dilakukan oleh rombongan dari Jakarta itu. Jadi bagaimanakah jawaban yang tepat, rombongan dari Jakarta itu apakah membawa mainan atau tidak, ia belum tahu.
“Wah..Ibu kurang tau itu nduk ...”
“semoga saja ya..” jawab Ibu itu tanpa memberikan harapan hampa.
***
Esok harinya, anak-anak dari kelas satu sampai kelas enam sudah berkumpul di bangunan sekolah. Jadwal masuk sekolah sebetulnya pada jam tujuh pagi, namun dari jam enam sudah terlihat banyak anak yang berkumpul di sekolah, mungkin mereka sudah tidak sabar bertemu dengan rombongan dari Jakarta.
Ibu Pipin terus melirik jam dinding berwarna abu, waktu sudah menunjukkan jam setengah sembilan, namun rombongan belum saja datang. Ia merasa tidak enak melihat anak-anak yang menunggu penuh harap.
Tepat ketika jarum pendek menunjuk angka 9 dan jarum panjang ke angka 3, terdengar suara derum minibus menyerupai kopaja yang berhenti di pinggir jalan tidak jauh dari sekolah. Anak-anak pun berhamburan keluar kelas. Terlihat pemuda-pemudi yang sepertinya masih mahasiswa dengan ransel-ransel dipunggung mereka berjalan menuju rumah Pak Kades yang digunakan sebagai tempat tinggal sementara. Sebagian dari rombongan itu ada yang memindahkan barang dari mobil ke rumah Pak Kades, dan ada yang langsung berbaur dengan anak-anak. Mereka berusaha mengakrabkan diri dengan anak-anak dan mengajak mereka bermain di kelas masing-masing.
Terlihat dua mahasiswa dan satu mahasiswi masuk di kelas IV. Setelah memperkenalkan diri bahwa mereka salah satu rombongan dari Jakarta yang bernama Agus, Rio, dan Khansa, dan menanyakan nama masing-masing anak yang masih terlihat malu-malu itu, Agus itu memperkenalkan sebuah permainan. Seperti biasa, dari permainan itu ada sanksinya. Bagi yang tidak lancar menjawab pertanyaan, disuruh bernyanyi di depan kelas. Seorang anak yang duduk di baris kedua, mendapat giliran, namun ia tidak lancar menjawab pertanyaan. Teman-teman menyorakinya untuk segera bernyanyi di depan kelas. Entah bagaimana, anak yang bernama Danu itu marah ketika Tedjo yang duduk di bangku sebelah kanannya mengejeknya. Secepat kilat, Danu mencekik leher Tedjo dengan sikunya. Tedjo memberontak, untungnya dengan cepat Agus melerai mereka. Agus menarik Tedjo, dan Rio merangkul Danu.  Sedangkan Khansa, hanya terpaku di depan kelas dengan mata berkaca-kaca dengan hati yang tidak karuan.
Tedjo masih diselimuti emosinya, ia berusaha untuk menyerang Danu dengan tendangannya. Akhirnya, Tedjo dibawa keluar kelas supaya lebih tenang. Sampai akhir permainan di dalam kelas, Tedjo masih menangis kejer, sampai akhirnya semaput[1]Tedjo dijemput oleh kakeknya dan diantar oleh beberapa teman mahasiswa pulang ke rumahnya.

“Sa, tadi di kelas IV ada apa sih?” tanya Sandy pada Khansa di teras rumah Pak Kades.
“Kok ribut-ribut gitu?”
“Tadi ada anak yang berselisih gitu, Danu sama Tedjo. Tadi, gue denger dari gurunya sih Tedjo itu anak broken home gitu..jadi kalau emosi dia suka meledak-ledak.” Jawab Khansa parau.
“Kasihan ya..udah broken home ditambah suasana yang kurang mendukung..” tambah Khansa.
“Tadi gue liat lo nangis ya?” tanya Sandy penasaran.
“Ah..kok lo bisa tau? Gue tadi bingung aja ngadepin anak berantem kayak gitu, gue malah ngerasa ga enak. Kita ke sini kan mau ngajak mereka seneng-seneng, setidaknya menghibur mereka setelah bencana yang mereka alami. Eh, kejadiannya malah kayak gini..”
“Eh, lo bukannya asli Yogya kan? Waktu merapi meletus kemarin, lo ngapain aja San? Khansa balik tanya.
“Kemarin gue bantu-bantu di Rumah Sakit gitu. Kemarin gue ngeliat sendiri gimana korban luka bakar yang terkena wedhus gembel dan berhasil diselamatkan, gue kebagian tugas ngasih mereka makanan yang dimasukkan lewat selang gitu. Gue bener-bener nangis waktu itu, ga tega ngeliatnya.” Papar Sandy.
“Apa kabar gue ya, kalau gue ngalamin kayak lo? Liat anak berantem aja, gue udah nangis..hehehe” cerocos Khansa tidak jelas. Sandy tertawa mendengarnya. Ah...mahasiswa memang seperti itu, modal mereka adalah semangat, semangat, dan semangat. Dan mereka baru menemukan hal yang berbeda di kehidupan nyata.
***
Malam harinya, diadakan acara penyuluhan kesehatan bagi masyarakat setempat yang bertempat di sebuah mesjid. dr.Zalela dan dr.Mea mengambil alih peran. Mengajak Ibu-Ibu dan Bapak-bapak berkonsultasi tentang kesehatan. Ada yang mengeluh ini, ada yang mengeluh itu, macam-macam.
Esok harinya sebagai acara pamungkas, teman-teman mahasiswa membagikan bingkisan berupa tas sekolah, alat tulis, dan makan ringan pada anak-anak Madrasah Ibtidaiyah. Terlihat senyum gembira dari anak-anak itu. Momen itu juga merupakan acara pamitan rombongan dari Jakata pada masyarakat sekitar. Acara di Srumbung memang hanya dua hari, karena teman-teman mahasiswa terlihat sudah lelah, mengingat 4 hari sebelumnya mengikuti pelatihan rescue di Jakarta.
Sebelum berangkat, mereka melakukan bersih-bersih desa dan kunjungan ke kebun salak warga. Beberapa teman dari teknik pertanian, melihat hambatan apa yang dialami warga dengan kebunnya. Kebun salak mereka tertutupi pasir semburan merapi, sehingga ketika selesai panen, masyarakat tidak bisa lagi bergantung pada kebun salaknya. Teman-teman dari teknik pertanian mengusulkan untuk mengganti salak dengan tanaman kacang-kacangan yang lebih cocok hidup di tanah berpasir. 
Setelah semua agenda selesai, rombongan pun bergegas menuju minibus yang akan mengangkut mereka ke kota Yogya, dan kembali ke daerah masing-masing. Tetapi sebelumnya mereka bersalaman dan berfoto bersama masyarakat setempat.
Suatu bencana, bagaimanapun ia memporak-porandakan sejatinya ia menyatukan. Ia menjalin tali-tali silaturahmi yang sebelumnya tidak terjalin. Memberi dorongan bagi masyarakat setempat untuk bangkit, dan menarik kalangan mahasiswa, pemuda-pemudi untuk beraksi konkret bagi masyarakat. Walaupun pada awalnya hanya bermodal semangat.



[1] Pingsan.

1 komentar:

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri