My Daily
Ukuran Jilbabku bukan indikator imanku
Aku seorang muslim. Muslimah kalau perlu aku sebut. Jilbabku tak selebar jilbabaer-jilbabaer lain, you know jilbabaer kerudungnya selebar apa. Tapi jilbabku cukup menutupi sampai dada (bukankah itu anjuran dari Al-Quran sesuai dengan interpretasiku sendiri).
Menginjak SMP aku menempuh pendidikan di sebuah pendidikan pesantren, konon pesantren tersebut menyebut dirinya sebagai pesantren modern. Entahlah, sampai saat ini aku bingung dengan gelar pesantren modern. Apa yang dikhususkan dari pesantren modern? Kecakapan berbahasa Arab dan Inggris, atau kecakapan memahami grammar bahasa Arab (amtsilati). Sampai saat ini aku sendiri merasa tak se-expert yang diharapkan dari seorang lulusan pesantren.
Lulus SMA plus mesantren, totally aku mesantren 6 tahun + 8 bulan, aku terdampar di sebuah universitas Islam. Selalu saja berbau identitas agamaku, *mengeluh, tapi mungkin ada maksud Tuhan yang belum aku pahami. Aku memang bodoh, bebal, dan tukang protes Tuhan, jadi maafkan aku.
Kuliah di sebuah Universitas Islam, dan aku duduk di pesantren dekat kampus. Kini pesantrennya lebih banyak pelajarannya, waktu itu aku semangat mempelajari ilmu-ilmu yang aku rasa aku belum bisa, walaupun sempat putus asa karena aku bebal, mungkin terlalu bodoh untuk membaca arab gundul beserta artinya. Tuhan, sebodoh itukah aku waktu itu??
Sewaktu kuliah di bandung, aku sempat aktif di sebuah forum diskusi dengan pengantar bahasa Inggris. Ini bagaikan sebuah keluarga yang membuat aku nyaman berada di dalamnya, homy banget. Keluarga kecil inilah yang membuatku tetap bertahan fight di Bandung. Aku ga betah di Bandung, mungkin karena jurusan Fisika yang aku pilih, sedangkan dasar matematika ku kurang mendukung.
Berkecimpung secara aktif di komunitas kecil ini, sering membuatku pulang lebih dari Maghrib. Ini bagian yang paling tidak kusuka, dari moment itu. Ketika aku pulang melebihi maghrib, selalu ada tatapan mata tak menyenangkan dari teman-teman seasrama, *padahal aku benar-benar ada kegiatan yang jelas-jelas positif. Ketika hendak memasuki asrama, aku selalu celingukan untuk menghindar dari Ibu Nyai, takut ketauan. Sungguh, hidup kucing-kucingan seperti ini tidaklah nyaman, sekalipun kegiatan yang aku jalani benar-benar positif.
Aku sadari, aku tipe orang yang critical, kasarnya saya tukang protes, tidak pernah cepat puas. Tak apalah, toh setidaknya Indonesia butuh orang-orang seperti saya supaya pemerintahan tetap berjalan sesuai jalurnya. Kalau ada yang ga suka saya tukang protes, it’s oke.
Saya tetap bersyukur, saya pernah berkuliah di universitas Islam yang secara langsung atau pun tidak telah memberikan ilmu untuk saya. Tetapi, agaknya paradigma kampus harus agak di ubah, jangan sekedar berdiskusi tentang halal haram, hanya berdiskusi tentang perbedaan antar madzhab, dsb. Agaknya diskursus lebih dikembangkan ke toleransi, dan pengetahuan ke-Indonesiaan, penumbuhan rasa empati, agar mahasiswanya tidak selalu men-generalisasi, men-stereotype kan suatu hal. (saya sempat memiliki masalah dengan teman dari kampus ini, gara-gara teman saya itu menganggap saya Liberal (dengan konotasi negatif) karena kampus saya sekarang diidentikkan Liberal oleh orang awam. padahal kalau saya tanya Liberal itu apa sama dia, mungkin dia ga bisa jawab.)
Oke, back to the topic.
Aku muslim, aku shalat, walaupun jujur beberapa hari terakhir tidak shalat shubuh karena kesiangan gara-gara begadang. =)
Aku shalat, aku suka bertilawah, aku berpuasa dan meng-qodo puasa saya yang bolong di Ramadhan kemarin.
Kenapa aku menulis hal tentang ini? Karena aku merasa perlu untuk klarifikasi tentang ini, tentang jilbab, dan cara berpakaianku.
Semenjak kuliah disini, memang penampilanku berbeda, beberapa teman di masa lalu kaget melihatku memakai celana jeans. Okelah, aku paham bagaimana kagetnya mereka. Ku akui, memang hal-hal baru yang ku temui, sedikit banyak mengubah, mungkin bisa disebut internalisasi kebudayaan. Tapi percaya teman, walaupun jilbabku tak selebar jilbaber, walaupun kadang bawahan yang saya gunakan kecil, saya tetap berusaha menjalankan apa yang diwajibkan dalam agama saya dengan baik. I mean, shalat yang tak sekedar rutinitas, walaupun mengusahakan shalat yang seperti itu benar2 sulit, shalat = benar2 memasrahkan diri pada-Nya.
Satu lagi, aku berpenampilan seperti ini, I mean, kenapa saya tidak menggunakan jilbab selebar Jilbaber karena saya ingin berteman dengan semua teman yang di kenal, bercengkrama dengan teman2, akrab. Rasanya, agak sulit untuk berteman dengan semua kalangan, (dalam perspektif penulis) jika jilbab ku terlalu lebar, karena orang2 menjadi lebih canggung. Ini erat kaitannya dengan konstruksi yang dibangun di masyarakat.
Karena itu, aku berpenampilan seperti ini. Terserah teman-teman (khususnya para akhi-akhi dan ukhti-ukhti) yang membaca tulisan ini mau menilaiku seperti apa, dengan berani saya katakan, beginilah saya, apa adanya.
Tapi Tuhan, jika aku salah, maka tunjukkan jalan yang kau anggap benar, sejatinya aku sedang mencari diriku sendiri, ya karena aku tidak tahu maka aku mencari tahu.