Kamis, 30 Oktober 2014

Pengalaman Nyoblos di PiLeg 2014

Ilustrasi: beritasatu.com

Pemilihan Legisatif (PiLeg) yang diselenggarakan 9 April kemarin, memang bukan pemilu yang biasa. Ini bukan kali pertama saya mengikuti PiLeg, karena PiLeg tahun 2009 saya sudah pernah ikut. Lalu apa beda Pileg tahun 2014 dengan tahun 2009 lalu? Bedanya, PiLeg tahun ini setidaknya saya lebih ‘melek’ politik. 

Katakanlah Pileg 2014 ini lebih spesial.

Karena pertama, saya sengaja pulang ke daerah asal saya-Ciamis, Jawa Barat-untuk menyalurkan aspirasi saya. Sebenarnya saya bisa sih nyoblos di daerah Mampang-Jakarta Selatan, cuma saya pikir, tiga atau empat tahun kedepan mungkin saya akan pulang ke Ciamis, dan tentunya saya punya kepentingan di daerah asal saya. Jadi, saya rasa penting untuk menyalurkan aspirasi saya disini, karena saya punya kepentingan di daerah saya, dan dengan memilih disini saya berarti bisa menagih janji pada wakil rakyat yang saya pilih (jika wakil yang saya terpilih menjad Anggota Legislatif). 

Kedua, pileg tahun ini saya lebih melek politik. Berbeda dengan pengalaman PiLeg pertama saya di tahun 2009, dimana saya waktu itu masih anak SMA yang unyu-unyu, saya tidak tahu siapa yang harus saya pilih, dan pada akhirnya ikut saja dengan pilihan orang tua dan rekomendasi dari Kyai di pondok. Di PiLeg 2009 saat saya masih tinggal di Pondok Pesantren, memang banyak caleg yang datang ke Pesantren untuk melakukan pendekatan ke Kyai-Kyai, dengan harapan meraup suara. Klise sih memang, Caleg cuma datang ketika butuh suara saja, setelah jadi benar-benar lupa dengan orang yang diwakilinya. 

Nah, tahun ini saya bener-bener mencari siapa caleg yang kira-kira cocok di hati. Kriterianya kurang lebih adalah mereka yang semoga saja tidak korupsi, tidak ada rekam jejak di masa lalu-nya pernah melanggar HAM (terlibat dalam menghilangkan aktivis, terlibat bisnis yang menjadi bencana lumpur) tidak poligami, muda (atau setidaknya berjiwa muda), dan terbuka dengan kritik. 

Kemarin, Ada 4 surat suara yang harus dicoblos : 

DPR RI
DPD
DPR Provinsi
DPRD Kabupaten

Saya ubek-ubek website www.kpu.go.id dan nyatanya saya hanya menemukan data caleg DPR RI dan DPD saja. Faktor asal daerah dari caleg menjadi salah satu bahan pertimbangan, karena menurut saya seorang caleg yang mewakili daerahnya asalnya sendiri tentu mempunyai ‘pengalaman pribadi yang menghadirkan ikatan psikologis dengan daerah asalnya’ dibandingkan dengan caleg yang berasal dari daerah lain tetapi ditempatkan oleh partainya. #imho

Pada akhirnya, saya memilih caleg yang berasal dari Ciamis, mewakili Ciamis, setidaknya ketika dia terpilih, saya kenal dia dan (mungkin) bisa menagih janji2nya ketika (misal) dia berkhianat.
Kemudian, saya googling untuk mendapatkan data caleg DPR Provinsi dan menemukannya di site KPU Provinsi Jabar. Juga googling data caleg DPRD Kabupaten Ciamis, dan syukurlah ketemu datanya. 

Apa partai menjadi bahan pertimbangan? 

Bisa iya, bisa tidak. 

Bisa Iya, karena saya tidak memilih caleg dari partai yang 32 tahun berkuasa, termasuk partai turunan dari partai tersebut (tau lah ya siapa). 

Bisa Tidak, karena saya sebenarnya tidak terlalu simpati dengan partai yang mengusung raja dangdut menjadi presiden. Tapi, faktanya saya pilih caleg DPR RI dari partai tersebut -__- *karena pertimbangan yang sudah saya jelaskan sebelumnya. 

Jadi, pertimbangan lebih banyak pada calegnya, jika menurut saya calegnya bagus, walaupun misal ia dari partai yang mengusung raja dangdut sbg capres, atau dari partai yang ketuanya berpoligami, jika calegnya memang bagus, saya tetap pilih calegnya. 

Aniway, dari hasil quick count yang saya lihat di TV, saya cukup bergembira bahwa PDIP mendapatkan suara yang tertinggi. Jadi, bisa mengusung Jokowi sbg capres tanpa berkoalisi (walaupun sebenernya saya tidak terlalu setuju majunya Jokowi sebagai capres). Jokowi mending urus Jakarta dulu deh, baru kalau sudah selesai maju nyapres. Tapi, saya juga memaklumi sih, karena siapa sih capres PDIP yang bisa mengimbangi suara untuk Jokowi? Argumen lain muncul, dengan Jokowi maju sbg capres, tentu lebih mudah untuk menyelesaikan permasalahan Ibukota. 

Hmm…terus siapa ya Capres yang layak dipilih nanti? 

Kita lihat saja ya :)

Pelajaran dari pengalaman kemarin, 
Masayarakat lebih antusias menghadapi pemilu tahun 2014. Bahkan masyarakat daerah terdepan Indonesia yang masih belum mendapatkan listrik dan transportasi yang memadai pun turut antusias!

Demokrasi di Indonesia masih harus bertumbuh menjadi lebih dewasa, mengingat masyarakat kita belum mendapatkan hak pendidikan yang sama. Beruntunglah kita yang sudah berpendidikan, maka jangan sia-sia kan hak bersuara kita.

Tetap awasi! 

1 komentar:

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri