Senin, 10 Maret 2014

Media dalam Pemilu: Independen?

Oligarki media di Indonesia ternyata sedikit banyak berpengaruh pada kehidupan perpolitikan kita. Pemilik media ramai-ramai turut berpartisipasi dalam dunia politik. Ada yang didapuk jadi cawapres, bahkan mecalonkan diri sebagai presiden di pemilu 2014. Nampak adanya simbiosis mutualisme antara pemilik media dan partai, dimana pemilik media dengan leluasa bisa mencapai ambisi politiknya, sedangkan partai mendapatkan akses yang luar biasa untuk publisitas guna meningkatkan pencitraan partai. Transaksi politik antara pemilik media dan partai ini tentu membuat independensi dan netralitas media menjadi kabur.

Contohnya saja, kegiatan partai yang mendapatkan porsi publisitas berlebih pada media yang dimiliki kader partai. Fenomena ini bukan hanya menjadikan independensi dan netralitas media menjadi kabur, tetapi juga menjadikan persaingan antar partai politik menjadi tidak berimbang. Persaingan politik menjadi terasa seperti hutan belantara, siapa yang kuat maka dia yang menang. Hanya pemilik modal dan yang mempunyai akses pada modal besar lah yang mempunyai kekuatan untuk menguasai frekuensi publik.

Sampai saat ini—satu bulan menjelang pemilihan legislatif 2014, begitu banyak ditemui iklan politik yang bertebaran di media (televisi). Padahal sudah tertera jelas dalam Undang-Undang no 8 tahun 2012 tentang pemilu, pasal 83 ayat 2 bahwa kampanye (langsung) di televisi hanya boleh dilakukan tiga pekan sebelum hari pemungutan suara. Kampanye politik menjelma dalam bentuk iklan politik, program tayangan, iklan terselubung, bahkan liputan berita.

Aktor politik yang melakukan kampanye terselubung ini seringkali mengambil celah dengan argumen: iklan parpol belum masuk kategori kampanye karena belum memenuhi seluruh unsur kampanye seperti yang diatur dalam UU No 8/2012 mengenai Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Peraturan KPU No 15/2013 yaitu ajakan memilih.

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, termasuk jeli dalam mengambil celah dari peraturan yang ada justru membuat kita miris. Ketika pemilik media yang berpolitik itu mempengaruhi publik dengan alat yang dimilikinya, maka integritas mereka dipertanyakan. Seharusnya, mereka lah yang paling memahami secara filosofis media massa dan prinsip berdemokrasi.

Lalu apa kaitannya dengan anak muda (pemilih pemula)? Anak muda sebaiknya tidak hanya diam, karena mendiamkan berarti membiarkan hal-hal tidak baik tetap terjadi.

Kediaman/tidak pedulinya anak muda pada urusan politik bukan tanpa sebab. Partisipasi pemilih pemula menurun karena disebabkan oleh dua hal. Pertama, menurunnya tingkat kepercayaan pemilih pemula pada partai pengusung. Ini disebabkan oleh banyaknya kader partai incumbent yang korup sehingga mencoreng wajah perpolitikan yang kemudian memunculkan ketidakpercayaan pada politisi secara kolektif. Kedua, ketidaktahuan pemilih pemula pada siapa-siapa saja yang menjadi caleg saat ini. Fokus pemilu seringkali fokus pada pemilihan presiden (pilpres), padahal pemilihan legislatif (pileg) juga tak kalah penting. 

Melalui pileg inilah kita menentukan siapa yang menjadi legislator yang berperan dalam membuat undang-undang, dan mewakili aspirasi masyarakat. Rocky Gerung pernah mengatakan bahwa sudah saatnya memberantas korupsi dari hulu, yang berarti legislasi bisa diatur sedemikian rupa agar kebijakan yang ada memberi ruang bagi tumbuh suburnya korupsi. Sehingga, melalui pemilihan legislatif inilah kita perlu memastikan bahwa legislator-legislator ini berintegritas. Oleh karenanya, informasi mengenai rekam jejak anggota legislatif yang menjabat saat ini, dan calon legislatif 2014 perlu diketahui publik. Agar bisa dipastikan legislator yang terpilih adalah yang berintegritas.

Pemuda (pemilih pemula) bisa berpartisipasi aktif dalam pemilu. Anak muda yang dekat dengan media tentu lebih banyak terpapar oleh informasi, dan lebih mudah tentunya membuat mereka proaktif untuk mencari tahu rekam jejak kandidat yang akan dipilih. Anak muda juga perlu kritis dalam mengamati media siar (televisi), bukan hanya sebagai audiens pasif, tetapi peka dalam melihat penyalahgunaan media oleh politisi. Agar ini menjadi evaluasi dan dukungan bagi perbaikan pertelevisian kita. Karena frekuensi adalah milik kita semua, maka kita berhak mengevaluasi mana media yang berhak mendapatkan izin perpanjangan siar, dan mana yang tidak. 


Baca juga:
Sudah Tau Siapa Wakilmu?

1 komentar:

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri