Media dalam Pemilu: Independen?
Oligarki
media di Indonesia ternyata sedikit banyak berpengaruh pada kehidupan
perpolitikan kita. Pemilik media ramai-ramai turut berpartisipasi dalam dunia
politik. Ada yang didapuk jadi cawapres, bahkan mecalonkan diri sebagai
presiden di pemilu 2014. Nampak adanya simbiosis mutualisme antara pemilik
media dan partai, dimana pemilik media dengan leluasa bisa mencapai ambisi
politiknya, sedangkan partai mendapatkan akses yang luar biasa untuk publisitas
guna meningkatkan pencitraan partai. Transaksi politik antara pemilik media dan
partai ini tentu membuat independensi dan netralitas media menjadi kabur.
Contohnya
saja, kegiatan partai yang mendapatkan porsi publisitas berlebih pada media
yang dimiliki kader partai. Fenomena ini bukan hanya menjadikan independensi
dan netralitas media menjadi kabur, tetapi juga menjadikan persaingan antar
partai politik menjadi tidak berimbang. Persaingan politik menjadi terasa
seperti hutan belantara, siapa yang kuat maka dia yang menang. Hanya pemilik
modal dan yang mempunyai akses pada modal besar lah yang mempunyai kekuatan
untuk menguasai frekuensi publik.
Sampai
saat ini—satu bulan menjelang pemilihan legislatif 2014, begitu banyak ditemui
iklan politik yang bertebaran di media (televisi). Padahal sudah tertera jelas dalam
Undang-Undang no 8 tahun 2012 tentang pemilu, pasal 83 ayat 2 bahwa kampanye
(langsung) di televisi hanya boleh dilakukan tiga pekan sebelum hari pemungutan
suara. Kampanye politik menjelma dalam bentuk iklan politik, program tayangan,
iklan terselubung, bahkan liputan berita.
Aktor
politik yang melakukan kampanye terselubung ini seringkali mengambil celah
dengan argumen: iklan parpol belum masuk kategori kampanye karena belum
memenuhi seluruh unsur kampanye seperti yang diatur dalam UU No 8/2012 mengenai
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Peraturan KPU No 15/2013 yaitu ajakan memilih.
Pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan, termasuk jeli dalam mengambil celah dari peraturan yang ada
justru membuat kita miris. Ketika pemilik media yang berpolitik itu mempengaruhi
publik dengan alat yang dimilikinya, maka integritas mereka dipertanyakan.
Seharusnya, mereka lah yang paling memahami secara filosofis media massa dan
prinsip berdemokrasi.
Lalu
apa kaitannya dengan anak muda (pemilih pemula)? Anak muda sebaiknya tidak
hanya diam, karena mendiamkan berarti membiarkan hal-hal tidak baik tetap
terjadi.
Kediaman/tidak
pedulinya anak muda pada urusan politik bukan tanpa sebab. Partisipasi pemilih
pemula menurun karena disebabkan oleh dua hal. Pertama, menurunnya tingkat kepercayaan pemilih pemula pada partai
pengusung. Ini disebabkan oleh banyaknya kader partai incumbent yang korup sehingga mencoreng wajah perpolitikan yang
kemudian memunculkan ketidakpercayaan pada politisi secara kolektif. Kedua, ketidaktahuan pemilih pemula pada
siapa-siapa saja yang menjadi caleg saat ini. Fokus pemilu seringkali fokus
pada pemilihan presiden (pilpres), padahal pemilihan legislatif (pileg) juga
tak kalah penting.
Melalui pileg inilah kita menentukan siapa yang menjadi
legislator yang berperan dalam membuat undang-undang, dan mewakili aspirasi
masyarakat. Rocky Gerung pernah mengatakan bahwa sudah saatnya memberantas
korupsi dari hulu, yang berarti legislasi bisa diatur sedemikian rupa agar
kebijakan yang ada memberi ruang bagi tumbuh suburnya korupsi. Sehingga,
melalui pemilihan legislatif inilah kita perlu memastikan bahwa
legislator-legislator ini berintegritas. Oleh karenanya, informasi mengenai
rekam jejak anggota legislatif yang menjabat saat ini, dan calon legislatif
2014 perlu diketahui publik. Agar bisa dipastikan legislator yang terpilih
adalah yang berintegritas.
Pemuda
(pemilih pemula) bisa berpartisipasi aktif dalam pemilu. Anak muda yang dekat
dengan media tentu lebih banyak terpapar oleh informasi, dan lebih mudah tentunya
membuat mereka proaktif untuk mencari tahu rekam jejak kandidat yang akan
dipilih. Anak muda juga perlu kritis dalam mengamati media siar (televisi),
bukan hanya sebagai audiens pasif, tetapi peka dalam melihat penyalahgunaan
media oleh politisi. Agar ini menjadi evaluasi dan dukungan bagi perbaikan
pertelevisian kita. Karena frekuensi adalah milik kita semua, maka kita berhak
mengevaluasi mana media yang berhak mendapatkan izin perpanjangan siar, dan
mana yang tidak.
Baca juga:
Sudah Tau Siapa Wakilmu?
Baca juga:
Sudah Tau Siapa Wakilmu?
Antara politik dan media.. seperti satu hal yang tak dapat dipisahkan..
BalasHapusmampir kesini juga
Obat Herbal Penghancur Batu Ginjal
Obat Herbal Kanker Payudara Tanpa Operasi
Pencegahan Kanker Serviks
Obat Herbal Batuk Kering Dan Berdahak
Obat Herbal Kanker Serviks Stadium 4
Khasiat Jelly Gamat Gold G
Glucogen