Memperkuat Produk Lokal dengan Branding
Kebijakan pasar
bebas memang menjadi tantangan besar untuk negara berkembang seperti Indonesia.
Kebijakan Free Trade Agreement (FTA) yang
disatu sisi mempermudah proses perdagangan antar negara, dimana perdagangan
internasional seringkali dibatasi oleh kebijakan pajak negara biaya tambahan
yang diterapkan pada barang ekspor dan impor, dan juga regulasi non tarif pada
barang impor. Dengan berlakunya kesepakatan Free
Trade Agreement maka batasan-batasan itu tidak berlaku bagi negara-negara
yang menyepakati kebijakan tersebut. Akan tetapi Free Trade Agreement mengharuskan Indonesia membuka pintu
lebar-lebar untuk produk asing yang kemudian membanjiri pasar dalam negeri.
Bisa kita lihat dengan mata kepala sendiri, mulai dari produk gadget sampai mainan anak banyak yang
berasal dari China.
Rekam jejak
kerjasama Indonesia, kerjasama yang sudah terjalin adalah dengan beberapa
negara di kawasan Asia. FTA diterapkan di Indonesia tahun 2004, dan sampai
tahun 2012, Indonesia terlibat dalam 6 skema FTA yaitu: ASEAN Free Trade Agreement (AFTA), ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA),
ASEAN-Korean Free Trade Agreement
(AK-FTA), Indonesia-Japan Economic
Partnership Agreement (IJ-EPA), ASEAN-India
Free Trade Area (AIFTA), dan ASEAN-Australia-New
Zealand (AANZ).[1]
Adapun kerjasama
FTA yang cenderung menguntungkan adalah FTA dengan Korea Selatan dan Jepang.
FTA dengan Korea Selatan di tahun 2010 perdagangan Indonesia mengalami surplus akibat meningkatnya ekspor
migas, walaupun ekspor non migas mengalami penurunan. Kerjasama FTA dengan
Jepang di tahun 2010 ekspor migas pun mengalami surplus, tetapi defisit di ekspor non migas. Kemudian, ada juga kerjasama FTA yang
cenderung merugikan Indonesia, yaitu Free
Trade Agreement ASEAN Economic
Community. Dampak negatif dri FTA Economic
Community ini, mulai dirasakan 3 tahun sejak Indonesia bergabung dengan FTA
ASEAN di tahun 2005. Sebelum bergabung dengan FTA ASEAN, neraca perdaganagan
Indonesia tercatat surplus USD 1,466
juta. Setelah bergabung dengan FTA ASEAN, posisi neraca dagang Indonesia
semakin defisit, yakni defisit sebesar USD 0,455 juta di tahun 2005, menjadi
USD 6,234 juta di tahun 2010.[2]
Perjanjian lain yang cenderung merugikan adalah FTA Indonesia dengan China.
Pada awalnya kerjasama ini menguntungkan Indonesia, bahkan surplus perdagangan cukup besar. Seiring dengan derasnya aliran
produk-produk China yang masuk ke Indonesia, juga produk yang barang mentah yang
diekspor Indonesia mengalami penurunan, sehingga mengalami defisit.
Bagaimanapun Indonesia
sudah kadung menyepakati Free Trade
Agreement, maka tidak ada pilihan lain kecuali mempersiapkan diri untuk
bersaing secara global. Untuk itu, perlu bagi produk-produk dalam negeri dan
sumber daya manusianya meningkatkan daya saing dalam persaingan internasional.
Apa Kabar Industri Dalam Negeri?
Ketika mendengar
“produk dalam negeri” yang terbayang dibenak penulis adalah sebuah iklan alat
elektronik rumah tangga merk Maspion yang menggunakan tagline “Cintailah produk-produk Indonesia” yang dibintangi oleh artis
senior Indonesia. Setelah brainstorming, ternyata ada beberapa produk dalam
negeri yang sudah mendunia. Indonesia punya yang namanya Maspion, Polygon-merk
sepeda yang pabriknya berlokasi di Sidoarjo, Polytron-produsen alat elektronik
yang pabriknya berlokasi di Kudus dan Semarang, merk sepatu Tomkins, dan
peralatan outdor Eager dan Bodypack, Sophie-Martin, Bagteria, The Executive,
dll.
Sebenarnya bagaimana mapping industri dalam negeri kita? Industri
dalam negeri terbagi kedalam 6 klaster berdasarkan informasi dari Biro
Perencanaan Kementrian Perindustrian Indonesia, yaitu: 1) industri manufaktur,
2) Industri berbasis agro, 3) Industri alat angkut, 4) Elektronika dan
Telematika, 5) Industri kreatif, 6) IKM Tertentu.
Inilah roadmap industri dalam negeri yang bisa
dilihat di website kementrian
perindustrian (www.kemenperin.go.id).
Yang dominan dari produk yang diekspor adalah industri manufaktur. Dalam
klaster industri manufaktur ini seperti halnya baja, ternyata lebih banyak
barang setengah jadi (bukan barang jadi) yang diekspor. Padahal, jika dibuat ke
dalam barang jadi, tentu nilai tambah (added
value)nya pun akan lebih besar. Dalam klaster Industri alat angkut, sama
saja. Bahkan, beberapa kebijakan pemerintah yang terkadang seperti tidak
sinkron dengan semangat memajukan produksi dalam negeri. Beberapa pekan
kemarin, di media sempat ramai dengan launchingnya
produk kendaraan asal India dengan harga yang miring. Jelas, produk tersebut
membidik penduduk Indonesia yang jumlahnya banyak.
Kemudian,
mungkin kita boleh sedikit bergembira dengan industri kreatif saat ini.
Industri kreatif seperti fashion dan
kerajinan barang seni, rupanya sedang menggeliat. Banyak desainer-desainer
dalam negeri yang sudah mulai dikenal di kancah internasional. Lalu, kemudian,
bagaimana kabar masyarakat kita, apakah sudah mencintai dan menggunakan produk
dalam negeri.
Produk Lokal yang menggunakan cultural resources (batik) sebagai khas produk. |
Ketika kita pergi ke
sebuah mall atau pusat perbelanjaan,
coba perhatikan seberapa banyak iklan brand
dalam negeri, dan seberapa banyak iklan brand
luar negeri? Tentu, lebih banyak iklan brand
luar. Maka tidak aneh, jika persepsi kita tentang brand luar negeri lebih baik dibandingkan dengan persepsi terhadap
lokal brand. Ujung-ujungnya adalah,
kita lebih bangga memakai brand luar
dibandingkan dengan brand lokal. Kita
bahkan menjadi rela mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk sebuah brand ternama. Sebenarnya, jika sebuah
produk brand luar negeri dan dalam
negeri disandingkan, keduanya memiliki fungsi yang sama, yang berbeda adalah
psikologis konsumen yang dimunculkan dari produk tersebut. Penulis juga tidak
menafikan bahwa menggunakan produk dengan
brand ternama tentu menaikkancitra si pemakainya.
Dian Pelangi, desainer Indonesia yang mendunia. |
Apa kabar produk
dalam negeri? Secara kualitas menurut penulis tidak kalah dengan produk dari
luar. Beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah rangkaian kegiatan kewirusahaan
penulis berkunjung ke sebuah penangkaran buaya di daerah Banten. Buaya-buaya di
penangkaran tersebut, kemudian dimanfaatkan kulitnya untuk menjadi bahan baku
pembuatan tas. Dan ternyata, salah satu brand
tas ternama (internasional) mengambil bahan bakunya dari penangkaran tersebut.
Contoh lain adalah sebuah desa di daerah Sidoarjo yang memproduksi sepatu branded, ternyata sepatu branded tersebut diproduksi di
Indonesia. Dalam hal pembuatan dan standar kualitas, produk dalam negeri sudah
bisa mencapai tahap itu. Yang kurang adalah mengemas (mempackage) produk tersebut dan membuat brand-nya dengan baik.
Tidak aneh jika
orang/masyarakat kita lebih bangga menggunakan produk/barang-barang branded asal luar. Karena brand tersebut dibangun bertahun-tahun
melalui iklan-iklan yang seringkali menerpa kita. Yang tanpa sadar itu telah
masuk ke dalam alam bawah sadar. Iklan-iklan telah menghadirkan “kesadaran
palsu” di benak kita. Dan ketika produk lokal mulai menggeliat, muncul keraguan
dalam benak kita seperti halnya pertanyaan “apakah produk lokal benar-benar
bagus?” “Apakah produk lokal punya nilai tambah sama seperti halnya produk
luar?” “Apa produk lokal bisa menaikkan prestise
penggunanya?”. Tentu tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, produk luar yang memanfaatkan iklan media untuk
memperkuat brand-nya, tentu produk
lokal juga bisa melakukan hal yang sama.
Lalu, solusi apa
yang ditawarkan untuk memperkuat posisi produk lokal dalam persaingan global? Pertama,
manfaatkan aset yang kita punya. Menurut penulis, bukan hanya human resources dan natural resources yang kita miliki. Ada 3 resources lain yang kita punya, yaitu culture resources, idea
resources, dan youth resources. Dalam
ranah global, lokalitas tentu perlu untuk meneguhkan identitas, tentu culture resources yang kita miliki bisa
dimanfaatkan sebagai ‘nilai jual’ dari barang yang diproduksi. Indonesia yang
mempunyai banyak daerah dengan keragaman budaya dan kekayaan alamnya jelas bisa
dieksplorasi untuk kemajuan industri lokal.
Idea resources tidak akan
pernah habis jika kita terus menggali. Youth
resources juga kita mempunyai generasi muda dengan nasionalisme tinggi.
Lihat saja bagaimana nasionalisme itu muncul saat pertandingan bola tim garuda.
Nah, pengemasan produk lokal juga bisa menggunakan identitas lokal/identitas
nasional yang kemudian dinarasikan kepada anak muda melalui media-media yang
dekat dengan mereka untuk mempromosikan produk.
Kedua,
penguatan brand melalui media yang
terintegrasi. Penggunaan media yang terintegrasi biasanya dikenal dalam Integrated Marketing Communication (IMC).
IMC merupakan suatu bisnis strategis yang digunakan untuk merencanakan,
mengembangkan, melaksanakan, dan mengevaluasi program komunikasi merk yang
terkoordinasi, terukur, dan persuasif untuk jangka waktu tertentu dengan
konsumen, pelanggan, calon konsumen, dan sasaran lainnya, serta pemerhati yang
berkaitan di dalam dan luar perusahaan (Don Schultz & Heidi Schultz, 1998).[3]
IMC melakukan
segmentasi pasar berdasarkan wilayah geografis; demografis (usia, jenis
kelamin, ukuran keluarga, pendidikan, pendapatan, dan kelas sosial);
psikografis (kepribadian dan gaya hidup konsumen); kebiasaan (pemakaian produk,
loyalitas, respon pembelian atas sebuah produk); dan keuntungan (benefit
segmentation: tujuan, keuntungan, atau harapan konsumen yang membeli produk). [4]
IMC dengan jelas membidik target pasar mana yang akan disasar, kemudian
menentukan media apa yang akan digunakan dalam komunikasi pemasaran produk
tersebut. Misalnya, untuk produk lokal seperti Kripik Maicih tidak perlu
beriklan di televisi atau di koran. Produk Maicih cukup melakukan iklan melalui
akun twitter, dan menyebar dari mulut ke mulut. Karena memang Maicih tidak membidik
pasar nasional untuk penyebaran produknya. IMC juga mengatur bagaimana “image”
produk yang ingin dibangun.
Iklan tentu
perlu sentuhan kreatif yang terkadang itu ada diluar kebiasaan. Iklan
pariwisata Australia misalnya, menggunakan program “The Best Job In The World”
yaitu sebuah pekerjaan yang paling menyenangkan di dunia, dimana tugasnya
adalah bermain-main di pantai Great Island, menyelam, mengecek terumbu karang,
dsb. Yang pasti pekerjaan ini seperti halnya sedang berlibur, tetapi
mendapatkan gaji yang sangat besar. Program ini disiarkan di NatGeo Adventure,
yang tidak disadari oleh khalayak bahwa itu adalah media promosi pariwisata
Australia. Contoh kasus ini bisa jadi dimodifikasi untuk promosi pariwisata
Indonesia.
Jika sebuah
produk lokal ingin menyamakan posisinya dengan produk dari luar, maka setelah
kualitasnya dipastikan bagus, selanjutnya adalah membuat rencana komunikasi
pemasaran yang disesuaikan dengan target untuk membangun brand tersebut. Melalui
media yang teah ditentukan citra dari produk tersebut disampaikan kepada
konsumen. Membangun atau merawat sebuah brand
tentu tidaklah mudah, perlu konsistensi untuk mempertahankannya.
Ketiga,
kreatifitas dalam survive di dunia
bisnis. Ada yang mengatakan bahwa bisnis itu kejam. Ya, memang begitu
kenyataannya. Untuk terus bisa bertahan, perlu kreatifitas untuk terus
menghadirkan sesuatu yang baru (inovasi) bagi konsumen. Walaupun produk
tersebut barrier of entry-nya rendah,
tetap memerlukan inovasi supaya konsumen tetap loyal.[5]
Keempat, memproduksi produk jadi itu lebih baik. Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam klaster Industri manufaktur Indonesia
lebih banyak mengekspor barang setengah jadi. Yang mana, nilai tambah dari
barang setengah jadi itu lebih rendah dibandingkan dengan penjualan barang
jadi. Ada banyak SDM disertai kreativitas yang kita miliki. Tidak ada salahnya
mengolah barang setengah jadi tersebut menjadi barang jadi bukan? Tentu dampak
positifnya adalah proses pengolahan tersebut akan menyerap tenaga kerja lebih
banyak. Tinggal mau atau tidaknya para pemangku kebijakan dalam merealisasikan
hal ini.
Kelima, situasi yang mendukung produk lokal tumbuh dan survive. Antara sektor bisnis dan
pemerintah haruslah bekerjasama untuk mencapai cita-cita bersama “produk dalam
negeri bisa berdikari.” Dalam bisnis, persaingan haruslah fair. Oleh karenanya, perlu situasi yang fair yang dikondisikan oleh pemerintah. Perlu adanya kepastian
dalam kebijakan terkait bisnis, dan tidak adanya perilaku suap menyuap yang
dilakukan oleh pebisnis kepada pembuat kebijakan. Jika suap menyuap ini
terjadi, maka persaingan dalam bisnis pun sudah tidak sehat. Ketika situasi ini
semakin memburuk, hanya pemilik moda-yang mampu memberikan suap inilah yang
bisa bertahan. Maka pembuat kebijakan pun seharusnya menjadi pihak yang tidak
bisa disuap, supaya terjadi kondisi yang ideal yaitu persaingan yang sehat
dalam bisnis.
Ketika masing-masing sektor bisa menjalankan perannya dengan baik, yaitu
ketika pebisnis/pengusaha menjalankan bisnisnya dengan kreatif dan bersaing
dengan sehat, ketika pemerintah menghadirkan situasi yang kondusif bagi tumbuh
kembangnya produk lokal, dan ketika masyarakat mulai mencintai dan menggunakan
produk dalam negeri, cita-cita produk lokal yang mendunia (atau setidaknya
menguasai pasar nasional) tidaklah sulit untuk diraih. Karena kita sedang
menuju kesana.
[1] Rita Dwi
Lindawati. Penerapan Free Trade Agreement
di Indonesia (Permasalahan dan Antisipasinya). Pusdiklat Bea dan Cukai.
[2] Ibid
[3] Totok
Amin S dan Ika Karlina Idris dalam Integrated Marketing Communicatin-Komunikasi
Pemasaran Terpadu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2012. Hlm 9.
[4] Ibid.
Hlm 27
[5] Barrier of entry adalah tingkat
persaingan suatu bisnis. Jika barrier of
entry tinggi, berarti ada banyak pesaing dalam bisnis tersebut. Jika barrier of entry rendah, dalam bisnis
tersebut pesaingnya tidak banyak.
Esai ini diikutkan dalam Call for Essay CommWeek Paramadina. "Pikiran adalah cerminan diri" sebuah pepatah dalam film The Lady-film yang menceritakan perjuangan Aung San Suu Kyi (Mantan Perdana Menteri Myanmar). Begitupun dengan esai ini, buah pikiran penulis. Semoga ada manfaat yang bisa diambil
woiii
BalasHapus