Jumat, 18 Oktober 2013

Memperkuat Produk Lokal dengan Branding

Kebijakan pasar bebas memang menjadi tantangan besar untuk negara berkembang seperti Indonesia. Kebijakan Free Trade Agreement (FTA) yang disatu sisi mempermudah proses perdagangan antar negara, dimana perdagangan internasional seringkali dibatasi oleh kebijakan pajak negara biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor dan impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Dengan berlakunya kesepakatan Free Trade Agreement maka batasan-batasan itu tidak berlaku bagi negara-negara yang menyepakati kebijakan tersebut. Akan tetapi Free Trade Agreement mengharuskan Indonesia membuka pintu lebar-lebar untuk produk asing yang kemudian membanjiri pasar dalam negeri. Bisa kita lihat dengan mata kepala sendiri, mulai dari produk gadget sampai mainan anak banyak yang berasal dari China.


Rekam jejak kerjasama Indonesia, kerjasama yang sudah terjalin adalah dengan beberapa negara di kawasan Asia. FTA diterapkan di Indonesia tahun 2004, dan sampai tahun 2012, Indonesia terlibat dalam 6 skema FTA yaitu: ASEAN Free Trade Agreement (AFTA), ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA), ASEAN-Korean Free Trade Agreement (AK-FTA), Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA), ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA), dan ASEAN-Australia-New Zealand (AANZ).[1]

Adapun kerjasama FTA yang cenderung menguntungkan adalah FTA dengan Korea Selatan dan Jepang. FTA dengan Korea Selatan di tahun 2010 perdagangan Indonesia mengalami surplus akibat meningkatnya ekspor migas, walaupun ekspor non migas mengalami penurunan. Kerjasama FTA dengan Jepang di tahun 2010 ekspor migas pun mengalami surplus, tetapi defisit di ekspor non migas.  Kemudian, ada juga kerjasama FTA yang cenderung merugikan Indonesia, yaitu Free Trade Agreement ASEAN Economic Community. Dampak negatif dri FTA Economic Community ini, mulai dirasakan 3 tahun sejak Indonesia bergabung dengan FTA ASEAN di tahun 2005. Sebelum bergabung dengan FTA ASEAN, neraca perdaganagan Indonesia tercatat surplus USD 1,466 juta. Setelah bergabung dengan FTA ASEAN, posisi neraca dagang Indonesia semakin defisit, yakni defisit sebesar USD 0,455 juta di tahun 2005, menjadi USD 6,234 juta di tahun 2010.[2] Perjanjian lain yang cenderung merugikan adalah FTA Indonesia dengan China. Pada awalnya kerjasama ini menguntungkan Indonesia, bahkan surplus perdagangan cukup besar. Seiring dengan derasnya aliran produk-produk China yang masuk ke Indonesia, juga produk yang barang mentah yang diekspor Indonesia mengalami penurunan, sehingga mengalami defisit.

Bagaimanapun Indonesia sudah kadung menyepakati Free Trade Agreement, maka tidak ada pilihan lain kecuali mempersiapkan diri untuk bersaing secara global. Untuk itu, perlu bagi produk-produk dalam negeri dan sumber daya manusianya meningkatkan daya saing dalam persaingan internasional.

Apa Kabar Industri Dalam Negeri?
Ketika mendengar “produk dalam negeri” yang terbayang dibenak penulis adalah sebuah iklan alat elektronik rumah tangga merk Maspion yang menggunakan tagline “Cintailah produk-produk Indonesia” yang dibintangi oleh artis senior Indonesia. Setelah brainstorming, ternyata ada beberapa produk dalam negeri yang sudah mendunia. Indonesia punya yang namanya Maspion, Polygon-merk sepeda yang pabriknya berlokasi di Sidoarjo, Polytron-produsen alat elektronik yang pabriknya berlokasi di Kudus dan Semarang, merk sepatu Tomkins, dan peralatan outdor Eager dan Bodypack, Sophie-Martin, Bagteria, The Executive, dll.

Sebenarnya bagaimana mapping industri dalam negeri kita? Industri dalam negeri terbagi kedalam 6 klaster berdasarkan informasi dari Biro Perencanaan Kementrian Perindustrian Indonesia, yaitu: 1) industri manufaktur, 2) Industri berbasis agro, 3) Industri alat angkut, 4) Elektronika dan Telematika, 5) Industri kreatif, 6) IKM Tertentu.
Inilah roadmap industri dalam negeri yang bisa dilihat di website kementrian perindustrian (www.kemenperin.go.id). Yang dominan dari produk yang diekspor adalah industri manufaktur. Dalam klaster industri manufaktur ini seperti halnya baja, ternyata lebih banyak barang setengah jadi (bukan barang jadi) yang diekspor. Padahal, jika dibuat ke dalam barang jadi, tentu nilai tambah (added value)nya pun akan lebih besar. Dalam klaster Industri alat angkut, sama saja. Bahkan, beberapa kebijakan pemerintah yang terkadang seperti tidak sinkron dengan semangat memajukan produksi dalam negeri. Beberapa pekan kemarin, di media sempat ramai dengan launchingnya produk kendaraan asal India dengan harga yang miring. Jelas, produk tersebut membidik penduduk Indonesia yang jumlahnya banyak.

Kemudian, mungkin kita boleh sedikit bergembira dengan industri kreatif saat ini. Industri kreatif seperti fashion dan kerajinan barang seni, rupanya sedang menggeliat. Banyak desainer-desainer dalam negeri yang sudah mulai dikenal di kancah internasional. Lalu, kemudian, bagaimana kabar masyarakat kita, apakah sudah mencintai dan menggunakan produk dalam negeri.
Produk Lokal yang menggunakan cultural resources (batik) sebagai khas produk.
Ketika kita pergi ke sebuah mall atau pusat perbelanjaan, coba perhatikan seberapa banyak iklan brand dalam negeri, dan seberapa banyak iklan brand luar negeri? Tentu, lebih banyak iklan brand luar. Maka tidak aneh, jika persepsi kita tentang brand luar negeri lebih baik dibandingkan dengan persepsi terhadap lokal brand. Ujung-ujungnya adalah, kita lebih bangga memakai brand luar dibandingkan dengan brand lokal. Kita bahkan menjadi rela mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk sebuah brand ternama. Sebenarnya, jika sebuah produk brand luar negeri dan dalam negeri disandingkan, keduanya memiliki fungsi yang sama, yang berbeda adalah psikologis konsumen yang dimunculkan dari produk tersebut. Penulis juga tidak menafikan bahwa menggunakan produk dengan brand ternama tentu menaikkancitra si pemakainya.
Dian Pelangi, desainer Indonesia yang mendunia.
Apa kabar produk dalam negeri? Secara kualitas menurut penulis tidak kalah dengan produk dari luar. Beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah rangkaian kegiatan kewirusahaan penulis berkunjung ke sebuah penangkaran buaya di daerah Banten. Buaya-buaya di penangkaran tersebut, kemudian dimanfaatkan kulitnya untuk menjadi bahan baku pembuatan tas. Dan ternyata, salah satu brand tas ternama (internasional) mengambil bahan bakunya dari penangkaran tersebut. Contoh lain adalah sebuah desa di daerah Sidoarjo yang memproduksi sepatu branded, ternyata sepatu branded tersebut diproduksi di Indonesia. Dalam hal pembuatan dan standar kualitas, produk dalam negeri sudah bisa mencapai tahap itu. Yang kurang adalah mengemas (mempackage) produk tersebut dan membuat brand-nya dengan baik.

Tidak aneh jika orang/masyarakat kita lebih bangga menggunakan produk/barang-barang branded asal luar. Karena brand tersebut dibangun bertahun-tahun melalui iklan-iklan yang seringkali menerpa kita. Yang tanpa sadar itu telah masuk ke dalam alam bawah sadar. Iklan-iklan telah menghadirkan “kesadaran palsu” di benak kita. Dan ketika produk lokal mulai menggeliat, muncul keraguan dalam benak kita seperti halnya pertanyaan “apakah produk lokal benar-benar bagus?” “Apakah produk lokal punya nilai tambah sama seperti halnya produk luar?” “Apa produk lokal bisa menaikkan prestise penggunanya?”. Tentu tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, produk  luar yang memanfaatkan iklan media untuk memperkuat brand-nya, tentu produk lokal juga bisa melakukan hal yang sama.

Lalu, solusi apa yang ditawarkan untuk memperkuat posisi produk lokal dalam persaingan global? Pertama, manfaatkan aset yang kita punya. Menurut penulis, bukan hanya human resources dan natural resources yang kita miliki. Ada 3 resources lain yang kita punya, yaitu culture resources, idea resources, dan youth resources. Dalam ranah global, lokalitas tentu perlu untuk meneguhkan identitas, tentu culture resources yang kita miliki bisa dimanfaatkan sebagai ‘nilai jual’ dari barang yang diproduksi. Indonesia yang mempunyai banyak daerah dengan keragaman budaya dan kekayaan alamnya jelas bisa dieksplorasi untuk kemajuan industri lokal.  Idea resources tidak akan pernah habis jika kita terus menggali. Youth resources juga kita mempunyai generasi muda dengan nasionalisme tinggi. Lihat saja bagaimana nasionalisme itu muncul saat pertandingan bola tim garuda. Nah, pengemasan produk lokal juga bisa menggunakan identitas lokal/identitas nasional yang kemudian dinarasikan kepada anak muda melalui media-media yang dekat dengan mereka untuk mempromosikan produk.

Kedua, penguatan brand melalui media yang terintegrasi. Penggunaan media yang terintegrasi biasanya dikenal dalam Integrated Marketing Communication (IMC). IMC merupakan suatu bisnis strategis yang digunakan untuk merencanakan, mengembangkan, melaksanakan, dan mengevaluasi program komunikasi merk yang terkoordinasi, terukur, dan persuasif untuk jangka waktu tertentu dengan konsumen, pelanggan, calon konsumen, dan sasaran lainnya, serta pemerhati yang berkaitan di dalam dan luar perusahaan (Don Schultz & Heidi Schultz, 1998).[3]

IMC melakukan segmentasi pasar berdasarkan wilayah geografis; demografis (usia, jenis kelamin, ukuran keluarga, pendidikan, pendapatan, dan kelas sosial); psikografis (kepribadian dan gaya hidup konsumen); kebiasaan (pemakaian produk, loyalitas, respon pembelian atas sebuah produk); dan keuntungan (benefit segmentation: tujuan, keuntungan, atau harapan konsumen yang membeli produk). [4] IMC dengan jelas membidik target pasar mana yang akan disasar, kemudian menentukan media apa yang akan digunakan dalam komunikasi pemasaran produk tersebut. Misalnya, untuk produk lokal seperti Kripik Maicih tidak perlu beriklan di televisi atau di koran. Produk Maicih cukup melakukan iklan melalui akun twitter, dan menyebar dari mulut ke mulut. Karena memang Maicih tidak membidik pasar nasional untuk penyebaran produknya. IMC juga mengatur bagaimana “image” produk yang ingin dibangun.

Iklan tentu perlu sentuhan kreatif yang terkadang itu ada diluar kebiasaan. Iklan pariwisata Australia misalnya, menggunakan program “The Best Job In The World” yaitu sebuah pekerjaan yang paling menyenangkan di dunia, dimana tugasnya adalah bermain-main di pantai Great Island, menyelam, mengecek terumbu karang, dsb. Yang pasti pekerjaan ini seperti halnya sedang berlibur, tetapi mendapatkan gaji yang sangat besar. Program ini disiarkan di NatGeo Adventure, yang tidak disadari oleh khalayak bahwa itu adalah media promosi pariwisata Australia. Contoh kasus ini bisa jadi dimodifikasi untuk promosi pariwisata Indonesia.

Jika sebuah produk lokal ingin menyamakan posisinya dengan produk dari luar, maka setelah kualitasnya dipastikan bagus, selanjutnya adalah membuat rencana komunikasi pemasaran yang disesuaikan dengan target untuk membangun brand tersebut.  Melalui media yang teah ditentukan citra dari produk tersebut disampaikan kepada konsumen. Membangun atau merawat sebuah brand tentu tidaklah mudah, perlu konsistensi untuk mempertahankannya.

Ketiga, kreatifitas dalam survive di dunia bisnis. Ada yang mengatakan bahwa bisnis itu kejam. Ya, memang begitu kenyataannya. Untuk terus bisa bertahan, perlu kreatifitas untuk terus menghadirkan sesuatu yang baru (inovasi) bagi konsumen. Walaupun produk tersebut barrier of entry-nya rendah, tetap memerlukan inovasi supaya konsumen tetap loyal.[5]

Keempat, memproduksi produk jadi itu lebih baik. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam klaster Industri manufaktur Indonesia lebih banyak mengekspor barang setengah jadi. Yang mana, nilai tambah dari barang setengah jadi itu lebih rendah dibandingkan dengan penjualan barang jadi. Ada banyak SDM disertai kreativitas yang kita miliki. Tidak ada salahnya mengolah barang setengah jadi tersebut menjadi barang jadi bukan? Tentu dampak positifnya adalah proses pengolahan tersebut akan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Tinggal mau atau tidaknya para pemangku kebijakan dalam merealisasikan hal ini.

Kelima, situasi yang mendukung produk lokal tumbuh dan survive. Antara sektor bisnis dan pemerintah haruslah bekerjasama untuk mencapai cita-cita bersama “produk dalam negeri bisa berdikari.” Dalam bisnis, persaingan haruslah fair. Oleh karenanya, perlu situasi yang fair yang dikondisikan oleh pemerintah. Perlu adanya kepastian dalam kebijakan terkait bisnis, dan tidak adanya perilaku suap menyuap yang dilakukan oleh pebisnis kepada pembuat kebijakan. Jika suap menyuap ini terjadi, maka persaingan dalam bisnis pun sudah tidak sehat. Ketika situasi ini semakin memburuk, hanya pemilik moda-yang mampu memberikan suap inilah yang bisa bertahan. Maka pembuat kebijakan pun seharusnya menjadi pihak yang tidak bisa disuap, supaya terjadi kondisi yang ideal yaitu persaingan yang sehat dalam bisnis.

Ketika masing-masing sektor bisa menjalankan perannya dengan baik, yaitu ketika pebisnis/pengusaha menjalankan bisnisnya dengan kreatif dan bersaing dengan sehat, ketika pemerintah menghadirkan situasi yang kondusif bagi tumbuh kembangnya produk lokal, dan ketika masyarakat mulai mencintai dan menggunakan produk dalam negeri, cita-cita produk lokal yang mendunia (atau setidaknya menguasai pasar nasional) tidaklah sulit untuk diraih. Karena kita sedang menuju kesana.



[1] Rita Dwi Lindawati. Penerapan Free Trade Agreement di Indonesia (Permasalahan dan Antisipasinya). Pusdiklat Bea dan Cukai.
[2] Ibid
[3] Totok Amin S dan Ika Karlina Idris dalam Integrated Marketing Communicatin-Komunikasi Pemasaran Terpadu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2012. Hlm 9.
[4] Ibid. Hlm 27
[5] Barrier of entry adalah tingkat persaingan suatu bisnis. Jika barrier of entry tinggi, berarti ada banyak pesaing dalam bisnis tersebut. Jika barrier of entry rendah, dalam bisnis tersebut pesaingnya tidak banyak.

Esai ini diikutkan dalam Call for Essay CommWeek Paramadina. "Pikiran adalah cerminan diri" sebuah pepatah dalam film The Lady-film yang menceritakan perjuangan Aung San Suu Kyi (Mantan Perdana Menteri Myanmar). Begitupun dengan esai ini, buah pikiran penulis. Semoga ada manfaat yang bisa diambil 

1 komentar:

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri