Selasa, 02 Juli 2013

Delanggu dan Cakrawala Pengetahuan Saya Mengenai Pertanian

Delanggu, bagaimanapun sudah menyihir saya. Setidaknya dalam untaian waktu yang sudah saya lalui selama disini. Delanggu terkenal dengan beras Rojolelenya. Sudah pernah dengarkan tentang beras Rojolele?  Belum? Baiklah, singkatnya beras Rojolele dikenal sebagai beras paling enak (pulen), wangi, bentuknya panjang dan agak bulat, tanamannya tinggi, dan mempunyai waktu yang cukup panjang dari pembibitan sampai ke panen yaitu kurang lebih 6 bulan. Karena keunggulan yang dimiliki Rojolele ini, konon beras ini sudah ada sejak jaman Majapahit dan menjadi benda persembahan untuk raja-raja.
                Mendengar tentang keunggulan Rojolele itu, membawa saya dan beberapa kawan untuk menelusuri keberadaan Rojolele. Karena saat ini, agak sulit mendapatkan Rojolele yang asli mengingat biaya yang besar dan waktu panjang dalam produksinya. Jika anda menemukan beras di pasaran dengan nama Rojolele, sepertinya harus kroscek dulu, apakah itu benar-benar Rojolele atau campuran dengan varietas yang lain? Sulitnya menemukan varietas Rojolele yang asli, membuat harga-nya naik 2 kali lipat dibandingkan dengan beras pada umumnya. Jika harga 1 kg beras 10k, maka Rojolele mencapai 20k. (Setidaknya begitu menurut narasumber yang kami tanyai).
                Di Delanggu, kami tinggal di Dukuh Ngenden, Desa Butuhan. Pak Sutama (baca: Sutomo) –Bapak Kades Butuhan menempatkan kami di sebuah rumah yang tidak dihuni selama 4 tahun tetapi terawat dan nyaman, yang tidak jauh dari rumah Pak Sutomo. Benar apa kata Eka Wenats-Dosen saya, sistem waktu di Desa akan terasa lebih panjang dibandingkan dengan di kota. Mengapa? Mungkin, kalau di Jakarta saya terbiasa dengan sesuatu yang serba cepat, persaingan yang ketat, dan semua berorientasi pada produktifitas waktu untuk mendapatkan uang. Di Butuhan, sama sekali berbeda. Dukuhan benar-benar terasa tenang, dan menenangkan. Awal-awal saya mudah terasa mengantuk dan ingin tidur berjilid-jilid, hehehe... :) 
               Setiap rumah disini masih mempunyai struktur yang sama, yaitu rumah Joglo (rumah Jawa Tengah). Walaupun beberapa sudah dimodifikasi, tetapi esensinya tetap sama, rumah berukuran besar memanjang, sepertinya cukup untuk lebih dari satu keluarga.


Beras Delanggu
                Kembali soal Rojolele, kami mendapat informasi dari Pak Sutomo, bahwa ada teman beliau yang masih melestarikan varietas Rojolele. (setelah kami menanyai beberapa orang mengenai siapa yang masih menanam Rojolele). Akhirnya kami bertemu Pak Ato—sang mantan Kades. Pak Ato membawa kami ke sebuah petak sawah yang padinya agak berbeda dengan petak sawah di sekitarnya. Tingginya sekitar 1,5 meter, dan batangnya berwarna hijau keunguan. Bulir-bulir padi sudah ranum dan menunduk, menunggu segera dipanen. Dari segi fisik saja Rojolele sudah sangat berbeda dengan varietas yang lain. Setelah menanyakan banyak hal, Pak Ato membawa kami ke gudang penggilingan padi miliknya. Disana, ada sebuah mesin berukuran besar untuk memisahkan beras dengan cangkangnya. Cangkangnya menjadi tumpukan sekam disebuah kamar, dan bekatulnya menjadi dedak yang bisa dibuat menjadi cemilan. Tidak jauh dari situ juga, ada sebuah kamar yang ternyata berisi sekam.


Gudang Sekam dari Penggilingan Padi
                Pak Ato adalah sosok tokoh lokal yang punya mindset nasional. Ia sempat mencurahkan kegeramannya pada politisi-politisi yang korup, geram dengan sikap pemimpin yang meminta maaf pada negara tetangga gara-gara asap kebakaran sampai ke tanah mereka—seperti tidak punya harga diri saja ujarnya. Pak Ato juga cerita tentang gagasannya mengenai ‘sidang rakyat’ bagaimana kalau para calon pemimpin itu disidang oleh rakyat, dan menuntut ikrar dari mereka untuk tetap memihak pada rakyat, sebelum mereka dicalonkan menjadi pemimpin. Selain berbincang mengenai politik praktis, sebelumnya Pak Ato bercerita tentang pertanian dan politik pertanian. 


Pak Atok- Tokoh Desa Tlobong
                Lain Pak Ato, lain lagi dengan Pak Slamet. Pak Slamet asli orang sini, beliau sosok yang cerdas dan kritis. Pak Slamet sering mengikuti pelatihan-pelatihan terkait inovasi di bidang pertanian, seperti dengan memproduksi Biveria dan PGPR. Ia sempat memproduksi dalam jumlah yang cukup banyak, tetapi kurang mendapat respon dari petani-petani. Pak Slamet memberikan saya gambaran lain mengenai petani. Saya jadi bermimpi, tentu akan baik dampaknya bagi Indonesia jika citra petani meningkat. Coba liat sekarang, citra yang muncul dari petani adalah orang-orang kecil dari ekonomi kelas bawah. Citra ini berefek pada tidak adanya regenerasi petani dari generasi orang tua ke anakmuda. Orangtua mana yang ingin anaknya menjadi petani? (Pasti ada sih, tapi jumlahnya sedikit). Tidak dipungkiri bahwa kapitalisme dan daya tarik Jakarta membawa muda-mudi daerah untuk urbanisasi. Sebenarnya tidak ada yang salah, semua adalah pilihan. Tidak salah urbanisasi itu, karena hak setiap orang untuk memperbaiki nasibnya sendiri-sendiri.
                Kita balik lagi ke citra petani, media sendiri sangat jarang menampilkan profesi ini dengan tepat. Acara-acara seperti sinetron lebih banyak menampilkan profesi orang-orang kantoran di kota, atau ada sih yang menggambarkan petani, tetapi dalam potret yang menyedihkan. Itu lho, acara sedih-sedihan dimana orang kota main ke desa, kemudian si orang kota nangis gara-gara melihat kehidupan keras yang tidak biasa ia lakukan. Ini namanya komodifikasi kemiskinan. 
                Sebenarnya, mungkin kenyataan itu memang ada, tetapi dari sekian banyak realitas kenapa tidak menampilkan realitas yang membawa optimisme? Disini, saya melihat orang-orang cukup mapan dengan profesi bertani, dilihat dari rumah-rumahnya yang kokoh, bagus, bahkan jauh lebih bagus dari rumah saya sendiri.
                Balik lagi ke Pak Slamet, Pak Slamet memberikan definisi baru tentang petani. Maksudnya, saya yang latar belakang ilmu komunikasi baru mendengar definisi petani. Menurut Pak Slamet, petani adalah mereka yang mempunyai lahan minimal 3 ha. Jika seseorang lahannya kurang dari 3 ha, maka dia tidak disebut sebagai petani tetapi buruh tani, walaupun lahan milik sendiri. Jika standar minimal adalah sebanyak itu, tentu beras yang diproduksi tidak hanya memenuhi untuk kehidupan sehari-hari tetapi juga menjalankan bisnis berbasis pertanian (agrobisnis). Sekarang, pemilik lahan lebih banyak yang memiliki lahan dibawah angka 3ha, tentu ini efek domino dari kebijakan-kebijakan terdahulu mengenai pembagian lahan pertanian.
Petani adalah mereka yang memiliki lahan minimal 3ha.
Mesin perontok padi dari malai-nya, yang bisa dikendarai. 

              Dua tahun lalu, Delanggu yang terkenal dengan Rojolele-nya, sempat didera hama berkepanjangan. Hama Jilid I didera wereng, Jilid II hama tikus. Selama 2 tahun itu benar-benar gagal panen. Menurut teman saya yang ahli hama IPB—Anggun, tikus itu beranak-pinak dalam jangka waktu yang sangat cepat. Penanggulannya harus segera dilakukan sebelum angkanya membengkak. Tetapi, beberapa masyarakat ada yang percaya dengan ‘windu-an’. Windu berarti 8 tahunan, mereka percaya bahwa dalam periode 8 tahun akan datang hama tahunan, yaitu tadi..wereng dan tikus. Kepercayaan ini tentu muncul dari pengalaman-pengalaman yang sudah dilalui. Yang ditekankan dalam penanggulangan hama adalah keseimbangan ekosistem. Para petani disini ada yang membudidaya burung Tito Alba sebagai predator tikus. Cara lain menanggulangi hama tikus ini adalah melakukan Grobyogan yaitu menangkap tikus bareng-bareng, ada juga yang memagari sawahnya dengan kawat listrik. Di Butuhan, yang memakai kawat listrik adalah sawah Pak Kades, Pak Sutama yang sudah kita anggap Bapak sendiri.
                Sekarang, alhamdulillah sekarang adalah panen pertama setelah 2 tahun tidak panen. Padi-padi sepanjang Desa Butuhan memang sudah menguning. Ketika kami melewati jalanan dari Balai Desa ke rumah, kami bertemu dengan Bapak-bapak yang sudah memisahkan padi dengan batangnya. 

*bersambung




0 comments:

Posting Komentar

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri