Diskusi “Korupsi di Sektor Pertambangan”
Finally Kompak Paramadina bisa menyelenggarakan acara pertamanya. Seperti menunggu kelahiran anak pertama, begitu pula yang saya rasakan ketika mempersiapkan acara Kompak yang sangat-sangat mendadak. Berawal dari tawaran JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) untuk bersama-sama menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan perayaan hari anti tambang pada tanggal 29 Mei, KOMPAK pun akhirnya menyetujui, dan mengajak Khatulistiwa (Mapala Universitas Paramadina) untuk mengadakan diskusi dengan tema “Korupsi di Sektor Pertambangan.”
Hadir sebagai pemateri : Pius Ginting dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) dan Bapak Khaerul Umam sebagai dosen Mata Kuliah Anti Korupsi dan Dosen di Prodi Hubungan Internasional.
Awal acara, dimulai dengan pemutaran film dokumenter yag dibuat pada tahun 2000. Film pendek tersebut menggambarkan bagaimana protes masyarakat di daerah Kalimantan yang marah karena mereka merasa dirugikan dengan adanya perusahaan tambang multinasional yang mengeruk hasil bumi di tanah mereka. Dan pada akhirnya, aksi protes terus berlanjut hingga ada delegasi dari masyarakat setempat yang pergi ke Australia untuk melakukan aksi protes (karena saham terbesar perusahaan tersebut berasal dari Australia).
Mengapa diskusi dengan tema ini penting?
Karena Indonesia termasuk negara dengan kekayaan alam yang berlimpah. Dan tentunya kekayaan tersebut harus dididtribusikan untuk kesejahteraan rakyat. Indonesia sebagai eksportir pertama batubara, timah, dan pertama dalam pertambangan emas. Tetapi hal ini berbanding terbalik dengan Human Depelovment Index Indonesia. Faktanya, tambang tak pernah mampu menyejahterakan masyarakat, kecuali kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Apakah ada indikasi korupsi?
Moderator (saya sendiri) sempat mengulas tentang pasal 33 ayat 3 yang berbunyi :
“Bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Menurut Pius Ginting, Pasal 33 tersebut merupakan Undang-Undang yang dilematis. Di satu sisi, Indonesia terbuka untuk Investor asing yang menanamkan saham di perusahaan-perusahaan besar. Dan ideologi perusahaan tentunya bukanlah mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk rakyat, melainkan keuntungan sebesar-besarnya untuk perusahaan.
Bapak Khaerul Umam menjelaskan, adanya kebijakan yang merugikan rakyat. Bagaimana bisa terjadi? Hal ini terjadi dikarenakan banyak ijin yang tidak jelas. Saat dimulai desentralisasi, dimana partai-partai butuh dana untuk melakukan kampanye. Biaya politik yang tinggi menimbulkan mekanisme politik Ijon. Dalam masa-masa mendekati pemilu, biasanya pengurusan ijin pertambangan akan lebih mudah. Dimana ijin-ijin tersebut ada yang ilegal, dan ada yang legal (namun bersifat ilegal). Munculnya Informal government, dimana ijin perusahaan mudah dikeluarkan dengan syarat bisa mengeluarkan dana untuk pemilu.
To be continued.....
0 comments:
Posting Komentar
Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)