Cinta Berlatar Hujan
Suara gemuruh terdengar menggelegar disertai kilatan cahaya petir. Beberapa detik lagi hujan pasti turun. Awan hitam menggelayut di langit kota Bandung. Seorang mahasiswi baru saja keluar dari kelasnya dan berlari menuju parkiran kampus. Riri mengikat rambut panjangnya dan menggunakan helm kemudian. Sejurus kemudian ia sudah melengang dengan revonya.
Hujan benar-benar turun, dan seperti biasa jalanan menjadi macet ketika hujan turun disaat jam-jam kepulangan pekerja. Riri terjebak dalam macet dan hujan deras. Kemeja dan jeans yang ia kenakan basah kuyup.
“Shit!!” Riri mengumpat. Maksud hati sampai di rumah lebih dulu namun malah terjebak dalam macet dan basah kuyup.
“Tau gini gue nongkrong dulu di kampus..” umpat Riri. Semakin lama, hujan bukannya reda malah semakin deras. Riri berusaha menyalip, mencari celah di jalan supaya bisa sampai rumah lebih cepat.
Riri mengurangi kecepatan motornya saat ia melihat jalanan di hadapannya sudah tergenang air setinggi betis orang dewasa.
“Shit!” “Mimpi apa gue semalam?!” umpatnya lagi. Tidak seperti pengemudi motor yang lain yang memilih menepi sambil menunggu hujan reda, Riri nekat melintas di genangan air yang cukup panjang itu.
“Brem..brem..Riri menarik gas lebih dalam. Untuk beberapa saat motornya bisa melaju dalam genangan air setinggi betis itu, tapi lama-lama motornya mulai terasa berat, dan akhirnya mogok tepat di tengah-tengah jalanan banjir itu. Dengan kesal Riri turun dari motornya, dan mendorong motor itu di tengah guyuran hujan.
“Dasar..ni motor ga bisa diajak kompromi ya!!” kata Riri dengan wajah cemberut. Suara azan mulai terdengar dari pengeras-pengeras suara mesjid, pertanda matahari sudah terbenam dan hari berganti malam. Ditengah perjuangan Riri mendorong motornya, perut Riri mengeluarkan suara kriuk, pertanda lambungnya minta diisi. Riri berusaha tidak menggubris rasa laparnya dan terus mendorong motornya.
Akhirnya Riri sampai di sebuah bengkel yang lumayan besar dipinggir jalan. Tak berpikiran panjang lagi, Riri langsung masuk ke bengkel itu. Dengan suara gemetar karena kedinginan, Riri berusaha berkomunikasi dengan seoang laki-laki yang sepertinya memang montir di bengkel itu. Laki-laki berkaus biru itu, manggut-manggut dan mulai mengotak-atik motor Riri.
“Jadi yang bermasalah apanya ?” tanya Riri sama abang montir itu.
“Ini sih businya kena air, jadi harus dikeringkan atau diganti!” jawab abang itu.
“Silahkan duduk..!” kata abang itu sambil melirik kursi berwarna merah, mungkin kasihan melihat Riri berdiri terus.
“Oh!” ucap Riri sambil menuju kursi merah itu. Memang, lapar dalam keadaan basah kuyup serta kedinginan berakibat menurunkan kecerdasan Riri, Riri terlihat seperti orang bingung.
Tidak sampai 15 menit, abang montir itu sudah menyelesaikan tugasnya. Si Revo kembali sembuh dari mogokya. Riri menghampiri abang berkaus biru itu, dan menanyakan berapa harga reparasi barusan. Riri merogoh saku celananya, air mukanya terlihat tambah bingung, kacau.
“Lho..dompet gue mana ya?” Riri merogoh saku yang lain. Abang berkaus biru itu tersenyum, menimbulkan lesung pipinya di sebelah kiri. Abang berkaus biru itu langsung mengambil alih.
“Duduk dulu mba..saya mau ke belakang sebentar.” Ujarnya. Perasaan Riri semakin tidak nyaman saja. Benar-benar sial. Sekitar 6 menit berlalu, laki-laki berkaus biru itu keluar dengan membawa dua cangkir coklat hangat dan handuk. Kemudian ia menyodorkan secangkir coklat dan handuk pada Riri, dan duduk tidak jauh dari Riri.
“Duh....gimana dong bang, gue jadi ga enak deh. Bener, dompetnya tadi masih ada disaku , kayaknya jatuh di jalan deh..!” cerocos Riri dengan rasa bersalah.
“Udah...diminum dulu aja coklatnya!” ujar abang itu enteng. Riri tersenyum malu, seumur-umur rasanya baru kali ini dia menemukan orang sebaik ini. Setelah beberapa teguk, Riri menggunakan handuk yang diberikan abang itu untuk mengeringkan rambutnya yang basah kuyup.
“Baru pulang kuliah ya? Tanya abang itu.
“Eh...iya..”
“Lho, kok ga ikut acara meet and greet anak-anak arsitek?” tanyanya lagi.
“Ah, males aja gue ikutan kayak gitu!! Jawab Riri dengan sangat jujur. “Eh, kok lo bisa tau?” Riri balik nanya. “Jangan-jangan lo kuliah di kampus biru juga?” tanya Riri penasaran.
Laki-laki berkaus biru itu memandangi coklat panasnya. “ Iya, gue kuliah disana juga, teknik mesin.”
Riri seketika merasa tersentak, laki-laki dihadapanyya bukan hanya menarik, satu kampus juga.
“Eh, jadi gimana nih?” “Besok gue balik lagi sini aja ya..bayarnya besok!” hehehe...ujar Riri nyengir kuda.
“Udah..tenang aja kali,” timpalnya.
“Eh, nama lo siapa?” tanya laki-laki itu.
“Gue Riri, lo?”
“Panggil gue Jojo aja..”
“Ok Jojo, thanks coklat hangatnya! gue mau balik dulu.”
“Ok, tapi lo tau jalan pulang kan?” tanya Jojo.
“Ah..tau lah, emang napa Jo?
“Ga..lo keliatan kacau aja Ri, eh.... maksud gue ati-ati di jalan ya!”
“Oh,,,ya,,ya.,,” Riri tersipu malu, menyadari penampilannya yang benar-benar kacau.
“Gue balik ya,,dah..!” Riri meninggalkan bengkel yang masih ramai dengan orang-orang yang mereparasi kendaraannya.
***
Sejak pertemuan di bengkel itu Riri jadi sering jalan bareng Jojo. Walaupun jam kuliah mereka padat, dan kadang waktu mereka tidak sinkron, selalu ada saja inisiatif untuk bertemu. Seperti siang ini, Jojo mengajak Riri makan siang bareng di angkringan luar kampus. Mereka bertemu di dekat gerbang. Dari kejauhan Riri terlihat berlari kecil menghampiri Jojo. Keduanya tersenyum lebar, refleks Jojo meraih tangan Riri, disadari atau tidak pipi Riri merona merah.
“Lo ngajak gue makan dimana sih Jo?” tanya Riri penasaran.
“Kali ini gue ngajak lo makan ditempat dimana stratifikasi sosial ga berlaku!” ujar Jojo sembarangan.
“Wah, dimana tuh?”
“Tuh disana!” Jojo menunjuk sebuah angkringan. Riri tersenyum simpul. Untuk kali ini mereka makan siang di angkringan, kemarin di kantin kampus, kemarin sore makan masakannya Jojo di rumahnya, besok dimana ya? Pikiran Riri menerawang kemana-mana. Yang pasti, untuk saat ini Jojo membawa Riri kedalam kehidupan yang lebih ceria, tidak seperti Riri yang dulu.
Tidak seperti remaja yang lain, yang melewatkan malam minggunya dengan hang out atau apa, malam minggu ini Riri terpaku oleh tugasnya, deadlinenya hari Senin depan sehingga memaksa untuk segera diselesaikan. Jojo sebenarnya mau mengajak Riri sekedar jalan-jalan di alun-alun kota, namun melihat keadaan Riri yang sibuk dengan maketnya, ia mengurungkan niatnya. Dan malah membantu Riri menggunting karton. Setelah jam menunjukkan jam satu malam, tugas Riri baru selesai.
“Thanks banget Jo, gue malah ngerepotin lo!” ucap Riri sambil menatap lurus ke arah Jo. Jo membalas tatapan Riri.
“Udah biasa kali Ri!” ujar Jo jail.
“Ih....kamu ya!!” balas Riri sambil mengacungkan gunting di tangan.
“hehehe...bercanda doang Ri!” jawab Jo sambil mengacak-acak rambut Riri. Mereka tertawa berbarengan.
”eh, Ibu kamu mana Ri?” tanya Jojo. Air muka Riri langsung berubah tidak enak, sepertinya ada pengalaman yang pahit tentang Ibunya.
“Ibu gue tinggal di Jakarta Jo, dulu Ibu tinggal disini sewaktu Oma masih ada.”
Jojo merangkul bahu Riri, berusaha supaya Riri bisa berbagi dan tidak merasa sendiri.
***
Pagi ini Riri terlihat agak berbeda, ia membiarkan rambutnya tergerai, dan menyapukan lipstik tipis di bibirnya, sedikit sapuan bedak di wajah ayunya, semakin menegaskan bahwa Riri benar-benar cantik. Jojo sudah ada di depan pintu rumahnya, hari ini mereka berencana pergi ke pantai, sekedar merefresh pikiran yang jenuh karena rutinitas kuliah.
Sesaat Jo tersentak, gadis dihadapannya benar-benar cantik.
“Riri, u are beautiful!” kata-kata itu terlontar begitu saja. Sedetik kemudian, Jojo merunduk dan mencium kening Riri. Riri membeku, kemudian merona, karena kaget atau mungkin bahagia.
Seharian, mereka habiskan di pantai. Dan kini saatnya mereka pulang. Akhir-akhir ini cuaca memang sulit diprediksi, konon itu akibat dari pemanasan global. Tadi siang langit masih cerah, namun beranjak sore langit berubah mendung. Hujan pun turun. Riri sempat mengajak Jo untuk berhenti sejenak sampai hujan reda, namun Jojo tetap melaju karena teringat maket Riri yang belum selesai, deadlinenya besok senin.
Hujan mulai gemericik, tidak sebesar sebelumnya. Riri mempererat pelukannya karena angin membuatnya kedinginan, sejenak Jojo mengusap punggung tangannya.
“BUSSSS.........” sedetik kemudian sebuah mobil box menyalip dari arah kanan, namun mobil malah menyerempet motor yang mereka tumpangi. Jo dan Riri terpental ke pinggir jalan. Setelah itu gelap menyelimuti.
Senin, 03.00 am.
Riri siuman dari tidurnya. Ia megamati sekelilingnya yang berwarna putih, Riri sadar ia sedang ada di rumah sakit. Ia baru sadar ternyata lengannya dibalut perban dan memakai gip, sepertinya ada bagian tulang yang retak. Riri beranjak dari ranjangnya, dan keluar dari kamarnya. Setelah bertemu dengan suster ia menanyakan keberadaan Jo. Riri di antar ke sebuah ruangan tepat disamping ruangannya tadi.
Riri masuk ke kamar itu, dan benar-benar shock melihat keadaan Jo. Beberapa selang membelit tubuhnya, ada yang terhubung ke tabung gas yang membantu Jo bernafas, dan yang lain terhubung ke elektrokardiograf[1]. Menurut keterangan suster, terjadi pendarahan di kepalanya yang membuat Jo belum siuman.
Riri bergerak mendekat, suster membiarkannya. Riri mengusap-usap lengan Jo, dengan tatapan kosong. Ini suatu hal yang berat baginya.
Pagi harinya, Riri terbangun dari tidurnya. Riri terbangun karena merasakan ada sebuah getaran di tangannya. Ternyata itu gerakan dari tangan Jo.
Melihat Jo siuman, Riri malah terharu. Air matanya sudah tak terbendung lagi.
“Ri...” ucap Jo parau.
“Iya Jo..” jawab Riri sambil mencium punggung tangannya.
“Maaf ya Ri, semuanya jadi begini!”
“Maket kamu jadi ga selesai..”
Mendengar apa yang dikatakan Jo, tangis Riri semakin menjadi. Sudah jelas kecelakaan yang mereka alami bukan salah Jo, dan dalam keadaan ini Jo masih berpikiran tentang maketnya.
“Ga papa Jo, kamu cepet sembuh sayang!” ujar Riri dengan tatapan tulus.
Jo tersenyum, senyuman yang paling manis yang Riri lihat.
“Love u Ri!!” itu kata-kata terakhir Jo sebelum ia menutup mata. Dan tak lama dari itu Jo benar-benar pergi. Garis yang tampak dari elektrokardiograf tidak lagi sebuah rumput, namun benar-benar garis lurus.
“Jo.....!!” Riri tersentak, dan memeluk Jo erat-erat. Jo hanya bergeming. Dokter yang ada disana berusaha menenagkan Riri.
***
Riri masih termenung di samping kuburan itu, walaupun orang-orang sudah lama pergi. Riri masih betah disana, di peraduannya Jo. Selembar daun kering jatuh dari pohonnya tepat melintas di wajah Riri. Riri tersadar, semua orang akan mati, begitupun dengan Jo dan dia. Tetapi mungkin, Jo lebih dahulu.
Riri mengusap air matanya, dan berdiri. Sebelum pergi, ia menengok ke arah peraduan Jo. Jojo, sebuah nama yang telah menghiasi hidupnya, sebuah nama yang selalu ada di hati Riri, selamanya.
untuk temanku Jo, pinjam namamu ya..:)
BalasHapusis this story based on the true story??
BalasHapusjust a part of this story, that true story rona..hehehe)))
BalasHapus