Rabu, 22 Juli 2015

Menambang Emas Menambang Harap, Tambang Rakyat di Sumbawa Barat

Limbah pengolahan tanah yang mengandung emas, Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat (dok.pri)
Namanya "Mat Beken", panggilan populer untuk sesosok laki-laki berusia sekitar 40an. Saat saya berkesempatan bertandang ke rumahnya di Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), NTB, Pak Mat dengan ramah menyambut kehadiran kami. Saat itu hari Senin, dan siang sudah beranjak sore. Pak Mat kebetulan sedang berada di rumahnya, biasanya dia bekerja di Bukit Ngampar sebagai penambang tradisional. Saya dengan seorang kawan asal KSB berkesempatan ngobrol-ngobrol ringan dengan salah seorang warga yang sukses dari menambang tradisional. 

Bumi Nusa Tenggara Barat memang kaya dengan kandungan emas, tembaga, dan mineral lainnya. Maka tak heran di Kabupaten Sumbawa Barat hadir sebuah perusahaan tambang besar yang sudah beroperasi lumayan lama, PT Newmont Nusa Tenggara. Sebelum ada Newmont, warga memang sudah banyak yang melakukan tambang tradisional. 
Apa itu tambang tradisional? Jika biasanya aktivitas pertambangan identik dengan perusahaan besar bermodal besar, nah tambang tradisional dilakukan oleh warga dengan peralatan yang tidak terlalu canggih. Biasanya aktivitas menambang emas ini dilakukan secara berkelompok, setelah ada kesepakatan kerja mereka mulai mencari "lubang cair". Istilah "lubang cair" adalah sebutan untuk sumur yang mengandung emas.
Jika perusahaan tambang mengandalkan teknologi canggih dan penelitian yang cukup lama dalam mengeksplorasi suatu wilayah untuk mengetahui kandungan mineral di dalamnya, maka ada yang unik dengan cara warga melakukan eksplorasi. Pak Mat menuturkan, ada warga yang bertanya pada orang pintar (dukun), dimana titik lubang cair tersebut. Menambang yang biasanya dilakukan dengan penelitian-penelitian ilmiah, malah dilakukan dengan pendekatan klenik. Tetapi, ya begitulah adanya, warga punya beragam cara untuk memprediksi keberadaan lubang cair. Warga lainnya menggali sumur sampai kedalaman tertentu, dan jika tidak menemukan lubang cair, berpindah lagi menggali sumur lainnya. 
"Saya dan kawan saya baru menemukan emas setelah menggali 6 bulan lamanya," tutur Pak Mat. Sumur yang digali tidak seperti sumur air, namun bentuknya vertikal kira-kira sedalam 10 m, kemudian horizontal 10 m, vertikal 10 m, dan seterusnya hingga di kedalaman tertentu mereka bertemu dengan lubang cair tersebut. Mereka menggali berdasarkan pengamatan terhadap urat emas.  
Emas yang pertama kali ditemukan Pak Mat dan temannya, sebanyak 15 kg. Dan setalah enam bulan dari April 2013 hingga sekarang, rata-rata Pak Mat dan kelompok mendapat 15 kg emas setiap minggunya. Omset yang didapat pun tinggi, sekitar 1 hingga 1,5 M perminggunya. "Lubang Cair" yang dikelola oleh Pak Mat dan temannya semakin membawa berkah. Sumur ini menjadi sumber mata pencaharian bagi warga sekitar, yang tadinya hanya mempekerjakan 6 orang, berkembang menjadi 15 orang, kemudian 30, hingga saat ini menyerap 80 orang.
Omset yang tinggi dari aktivitas menambang ini memang menggiurkan, tetapi tidak lepas dari pekerjaan yang penuh dengan resiko. Jika tambang yang dilakukan perusahaan, perusahaanlah yang harus memastikan keselamatan kerja pegawainya, dalam aktivitas tambang tradisional, pelaku tambang tradisional perlu mawas dengan keselamatan kerjanya sendiri. 
Untuk mengurangi resiko longsor, Pak Mat mengakali sumurnya yang sudah mencapai 135 meter itu dengan melapisi dinding sumur dengan kayu. Sehingga ruang gerak bagi pekerja menjadi lebih aman dan potensi longsor bisa diminimalisir. 
Aktivitas tambang tradisional ini juga nampaknya tidak begitu peduli dengan pengelolaan limbah dari pengolahan emas. Proses pengolahan emas sendiri yaitu tanah dari sumur yang digali diangkat ke darat. Tanah yang mengandung emas ini ada yang diolah di sekitar sumur, dan ada yang dibawa ke rumah untuk diolah. Saat ditanya tentang bagaimana pengelolaan limbah dari tambang rakyat, Mat Beken menuturkan "Wah..itu urusan orang tong". Memang para pelaku tambang tradisional ini seringkali menggunakan jasa dari penyedia tong untuk mengolah lumpur yang mengandung emas.
"Puyak atau lumpur ini diolah di tong sebanyak tiga kali, baru kemudian menjadi limbah". tambahnya lagi. Sayangnya, saat itu saya tidak bisa bertemu dengan orang penyedia jasa tong untuk bertanya kemana limbah tersebut dibuang. Tidak, saya tidak bermaksud menjustifikasi pelaku tambang tradisional. Hanya disayangkan belum ada regulasi yang mengatur tentang pembuangan limbah yang dikhawatirkan mengandung merkuri ini. Sektor pertambangan tentu menjadi salah satu sumber penghasilan warga, tetapi perlu juga dilakukan tata kelola yang baik agar aspek lingkungan menjadi terabaikan. 
Emas dan Kesejahteraan
Makin besarnya SDA di satu daerah, seharusnya berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan warganya. Keejahteraan setidaknya tergambar dari terpenuhinya kebutuhan dasar warga seperti akses terhadap kesehatan yang memadai, akses terhadap pendidikan, standar kualitas hidup yang layak, Index Pembangunan Manusia, dan indikator lainnya. Sayangnya, hasil tambang di Kabupaten ini belum mencapai perubahan yang diharapkan. 
Data dari SAPA (Strategic Alliance for Poverty Alleviation) menunjukkan bahwa 17,10% dari jumlah penduduk KSB merupakan penduduk miskin, dengan jumlah penduduk miskin 21,71 ribu orang. Dengan garis kemiskinan Rp 379,222/Kap/bulan. KSB mempunyai Indeks Kemiskinan (P1) 4,25, dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) 1,47. 

*Tulisan ini pertamakali dipublish di Kompasiana

2 komentar:

  1. penambangan secara tradisional menurut saya lebih baik dari yang modern. Karena penambangan tradisional lebih ramah terhadap alam

    BalasHapus

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri