Jumat, 04 Juli 2014

Lulus Kuliah, Melamar Kerja Atau Wirausaha?

Lulus kuliah, melamar kerja atau wirausaha? 

Pertanyaan di atas kurang lebih mewakili keresahan penulis, kalau bahasa yang lagi tren sekarang, ini bisa disebut sebagai kegalauan tahap dua setelah kegalauan tentang skripsi sudah dilewati. Ini wajar dan pasti dialami oleh banyak orang Indonesia lainnya ketika melewati fase transisi dari kuliah ke kehidupan nyata.


Sumber: http://scienceresearchcenter.files.wordpress.com/2014/03/entrepreneur-quote1.jpg?w=393

Sedikit curhat, setelah saya berhasil menyelesaikan skripsi saya, dan menikmati begitu banyak waktu luang untuk beberapa hari, saya akhirnya mulai mencari beberapa pekerjaan yang relevan dengan ilmu yang selama ini saya pelajari. Karena saya anak Ilmu Komunikasi, dan hobi menulis, saya mencari pekerjaan seputar jurnalis, writer, travel blogger, analyst media, sampai freelance writer, bahkan lowongan sebagai moderator kompasiana saya coba. Beberapa lowongan sudah saya apply, dan setiap hari saya berharap ada email masuk, berharap ada panggilan wawancara.


Ternyata begini ya galaunya, ternyata begini ya galaunya, ternyata begini ya galaunya. 

Sebenarnya, faktor pendorong yang paling kuat adalah saldo tabungan saya yang semakin menipis tiap harinya. Karena sudah resign dari tempat magang dulu, dan donor beasiswa pun sudah tidak lagi membiayai, ya...#tetapbersyukur, walhasil hanya bergantung pada tabungan, dan meminimalisir pengeluaran. Efek positifnya, di bulan penuh berkah ini saya jadi lebih sering shalat malam, lebih sering baca quran, yaah...kalau kata Soleh Shalihun mah, lebih rajin mencari ridha Allah, supaya rezeki dimudahkan. Hehe :)

Suatu malam, dalam forum diskusi di whatsapp yang saya ikuti (diskusi Pendidikan dan Parenting-Forum Indonesia Muda), saya mendapat link ebook tentang "Belajar, Bukan Bersekolah. Agenda Deschooling Indonesia Abad 21: Kembali ke Rumah" yang ditulis oleh Daniel Mohammad Rasyid. Setelah membaca isinya (walaupun belum rampung), saya mendapatkan input yang lumayan menggelitik, membuat saya berpikir ulang tentang rencana awal saya untuk bekerja di Jakarta (for several years after graduate) buat nyari modal. Saya jadi berpikir untuk langsung balik ke kampung tercinta, dan memulai cita-cita merintis usaha sendiri.
Daniel Mohammad Rasyid

Oke guys, berikut beberapa input yang saya dapat setelah baca ebook Deschooling :

  1. Masalah dalam pendidikan muncul, ketika menyempitkan proses belajar dengan bersekolah. Saat ini proses belajar terlalu difokuskan pada proses bersekolah.
  2. Sekolah saat ini masih dalam perspektif untuk mengabdi pada kepentingan industri: menyiapkan pekerja dan tenaga terampil. Paradigma sekolah adalah paradigma industri: penyeragaman melalui standarisasi dan proses lini produksi. Melalui sekolah, anak yang beragam dengan keunikannya masing-masing mengalami proses penyeragaman secara sistematik melalui kurikulum yang dirumuskan outside-in. Sir Ken Robinson mengatakan bahwa sekolah adalah lembaga yang paling bertanggung jawab atas krisis SDM selama 200 tahun terakhir.
  3. Urbanisasi merupakan konsekuensi pendidikan yang mengabaikan relevansi, sehingga banyak warga negara tidak mampu mengembangkan prakarsa dan inovasi lokal untuk memanfaatkan sumber daya di sekeliling sekolah di mana siswa hidup sehari-hari. Sekolah-sekolah justru gagal mengakrabkan siswa dengan lingkungannya, sehingga murid-murid kita semakin terasing dari lingkungannya sendiri. Guru terobsesi menyelesaikan isi kurikulum secara dangkal, gagal membangun budaya membaca dan belajar yang sehat dan kontekstual. Guru dan sekolah terobsesi dengan ujian-ujian karena kinerjanya diukur dari hasil ujian-ujian tersebut. Instrumen terpenting pendekatan supply formalistik, dan seragam ini adalah Ujian Nasional yang dipakai untuk menentukan kelulusan murid dari sekolah.
  4. Redefinisi pendidikan, menurut Daniel Mohammad Rosyid, mendidik tidak perlu mensyaratkan sekolah. Semua tempat bisa menjadi tempat belajar, semua orang menjadi guru sekaligus murid. Ki Hajar Deantoro mendefinisikan pendidikan sebagai ngerti, ngroso, nglakoni (memahami, merasaka, dan melakukan). Nah, pendidikan saat ini telah direduksi menjadi sekedar ngerti. Peminggiran pendidikan seni dan olahraga, misalnya, jelas meminggirkan ngroso. Persekolahan juga tidak menghargai nglakoni (praktek dan pengalaman). Proses belajar yaitu proses memaknai pengalaman seharusnya mengikuti sebuah siklus belajar: alami-baca-tulis-bicara. Membaca, menulis, dan bicara adalah tahapan pembelajaran simbolik yang penting. Tapi, pada akhirnya tujuan belajar adalah untuk memperbaiki praktek yang memberi pengalaman multi-ranah multi-cerdas.

Tulisan mengenai pendidikan ini pastinya sensasional, dan memicu kontroversi. Apalagi kandidat presiden no-2 mengusung program menolak UN. UN menurut saya sendiri sebagai salah satu puncak gunung es dari berbagai masalah (baca: tantangan) pendidikan Indonesia saat ini. Dari UN saja nih, misalnya..UN memicu kebohongan berjamaah yang terorganisir dengan baik. Di sekolah guru mengajarkan siswa untuk jujur, tapi semua terbantahkan saat guru memberi contekan jawaban pada siswa. Yah, semoga pemimpin yang baru nanti bisa mengurai benang kusut pendidikan saat ini.

Point 3 dari input yang saya dapat dari buku tersebut, yaitu tentang pendidikan yang tidak relevan. Siswa merasa terasing dari lingkungannya sendiri. Contoh konkret dari masalah ini saya temui saat KKN setahun lalu di Delanggu Klaten. Banyak anak petani dari generasi petani saat ini, tidak meneruskan profesi sebagai petani. Beberapa orang tua juga mempunyai pandangan yang sama. Memang banyak faktor yang mempengaruhi sih, tetapi salah satunya ya berasal dari pendidikan yang membuat seorang sarjana pertanian tidak tertarik menjadi petani. Anak nelayan yang sudah sarjana tidak tertarik menjadi nelayan. Padahal, kita tahu profesi petani dan nelayan tentunya perlu regenerasi.

Lalu apa kaitannya dengan saya? 

Buku ini membawa saya kembali memikirkan rencana saya setelah lulus.

  • Plan A saya adalah bekerja di Jakarta sesuai dengan bidang yang dipelajari, jadi jurnalis misalnya. UMR di Jakarta yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah saya tentu ini menjadi faktor penarik. Plan saya adalah mencari pengalaman sebagai jurnalis untuk satu tahun, sambil menunggu beasiswa LPDP, sekalian nabung buat usaha nanti. 
Setelah membaca buku tadi, saya jadi kepikiran buat Plan B. 
  • Plan B saya yaitu tinggal di daerah (Ciamis), memulai usaha sendiri yang saya minati. Walaupun belum punya penghasilan yang tetap, tapi setidaknya sudah memulai bisnis lebih awal. Sambil nunggu beasiswa LPDP. 
Saya sering mikir sendiri, tentang beban berat yang dipikul Ibukota. Jakarta nih ya, selain Ibu kota, juga pusat bisnis, juga jadi kota tujuan pendidikan. Kalau menurut buku yang pernah saya baca sih, ini bukti keserakahan Ibukota. Apa salahnya mbo ya dibagi-bagi peran ke kota yang lain? Supaya masalah urbanisasi juga bisa sedikit-sedikit diatasi. Masalah-masalah turunan lainnya seperti macet dan banjir jakarta juga menemukan solusi yang tepat. 

Dari situ, saya terbersit, kenapa tidak memulai dari diri saya sendiri. Memulai dengan tinggal di daerah, bagus-bagus bisa memajukan daerah sendiri. Agak berat sih sebenarnya, karena selama 4 tahun terakhir saya menikmati kemudahan akses di Jakarta, jauh berbeda dengan daerah saya Ciamis. 

Kegalauan ini sebenarnya belum selesai, masih mencari arah, masih mencari-cari pertimbangan lain yang lebih matang. 

Bismillah










3 komentar:

  1. Tulisan yang cukup menarik perhatianku, untuk membacanya hingga akhir. :)
    Saya jadi penasaran sama bukunya, kalau boleh bisa dibagi dong link e booknya. :)

    "Kalau dipikir2, memang sih betul juga, bahwa saat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai pendidikan, tetapi itu bukan menjadi alasan bagi kita untuk berhenti mendidik atau mencari ilmu. Dan menurut saya hal yang paling utama adalah harus dimulai dengan mendidik diri-diri kita. karena kita adalah benteng untuk diri kita dari pengaruh luar. kita adalah filter untuk diri kita dari pengaruh luar juga.

    Ujian tidak akan bermakna apa-apa ketika kita siap untuk menghadapinya.

    jika boleh memberikan pendapat, saya setuju dengan plan B anda, Sebagai anak rantau, kampung adalah tempat yang ingin sekali saya bisa berlama-lama disana. Karena di kampung, ada cinta yang tulus dan menggelora dari keluarga, teman, dll. Bagi saya, hidup sederhana bersama orang-orang yang tercinta, hidup tenang bisa selalu mengingat Tuhan tanpa harus was2, sudah cukup. karena dunia ini fana.

    Tulisan yang cukup menarik,
    :)
    Maaf kalau komenku agak panjang, saya lagi senang2nya menulis dan berbagi. :)

    BalasHapus
  2. Kegalauan dulu pernah saya alami. Dulu saya punya Plan A,B,C,D dan alhamdulillah sekarang menjalani Plan A.

    Salam blogwalking

    BalasHapus

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri