Portal ACCH Sebuah Literasi Gerakan Anti Korupsi, Sudah Efektifkah?
Oleh : Asri Nuraeni (Kajian Media, Ikom, 2010)
Hari ini siapa yang tidak bosan dan muak
menyaksikan berita di TV yang menyiarkan tentang koruptor-koruptor pencuri uang
negara? Siapa yang tidak muak melihat koruptor A tampil di televisi bak
selebriti dengan mimik muka tanpa dosa? Mereka tampil di layar tv seakan tak
salah apa-apa, dengan tampilan mengundang simpati. Hari ini amat sulit
membedakan mana yang benar mana yang salah, semua penuh manipulasi.
Media Sebagai Penyeimbang
Kekuasaan
Politisi, wakil rakyat, atau siapapun itu
yang melakukan korupsi berarti telah menyalahgunakan kekuasaan yang dia miliki.
Dan kekuasaan hanya bisa diimbangi dengan dengan kekuasaan. Maka disini, media
berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang. Dalam tema korupsi media memang
berhasil menjalankan fungsi surveillance. Fungsi surveillance ini
menurut Dominick yaitu ketika media dapat menginformasikan dan menyediakan
berita mengenai tema terkait. Fungsi ini tentu mempunyai peran penting dalam
perjalanan demokrasi Indonesia, dimana fungsi surveillance mendorong
munculnya partisipasi sosial. Ketika media memberitakan mengenai kasus-kasus
korupsi yang ditindak oleh KPK, maka media menghadirkan spotlight bagi
koruptor. Harapannya adalah koruptor dipermalukan dimata publik, dan ketika
publik tahu kesalahan koruptor itu akan mengingat dalam memorinya, dan menjadi
catatan kelak politisi dan wakil rakyat korup tidak akan dipilih
lagi di masa mendatang.
Kita tahu bahwa demokrasi menempatkan
kekuasaan ada di tangan rakyat, dan media membantu proses jalannya
demokratisasi di Indonesia. Media memberitakan kasus politisi yang terindikasi
korupsi, bahkan media beberapa kali membongkar kasus yang diduga adalah kasus
korupsi.
Bukan hanya itu, komunikasi massa yang
kini banyak melibatkan new media (internet) semakin memberikan
ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat pribadinya. Masyarakat kini
sudah memiliki medianya sendiri-sendiri seperti akun facebook, twitter,
dan blog. Menurut laporan Sycomos pada pertengahan 2010 pengguna
Twitter di Asia mencapai sekitar 7,74% dimana Indonesia menduduki peringkat
pertama (2,34%, diikuti Jepang (1,47%), dan India (0,97%). Dan Facebook menjadi
situs nomor satu yang paling banyak dibuka di Indonesia (menggeser kedudukan
Google) dimana pemilik akun Facebook pada April 2012 mencapai 42,28 juta dari
55 juta pengakses internet.[1] Hampir semua portal
berita online berasosiasi dengan akun sosial media tadi supaya pembaca bisa
merespon langsung mengenai topik yang sedang dibicarakan. Juga melalui social
media itulah, link mengenai topik-topik pemberitaan termasuk korupsi dibagi.
Ketika komunikasi massa sudah berintegrasi dengan social media, maka disitulah
masyarakat mempunyai ruang besar untuk menyampaikan aspirasinya.
Berikut contoh yang diambil dari artikel
di Merdeka.com yang memberitakan mengenai korupsi yang dilakukan oleh salah
satu politisi Golkar. Disini bisa dilihat bahwa facebook sudah
terintegrasi dengan artikel tersebut. Pembaca dengan mudahnya menuliskan
komentar, atau hanya men-share artikel tersebut melalui facebook, twitter,
dll.
Gambar 1: Komentar pada artikel berjudul:
Zulkarnaen Sangkal Partai Golkar Nikmati Duit Korupsi Al-Quran. Sumber:
Merdeka.com (4 April 2013)
Dari respon pembaca yang terlihat di
komentar, bisa dilihat bagaimana sikap masyarakat terhadap kasus korupsi.
Beberapa tahun terakhir memang media banyak memberitakan mengenai kasus
korupsi. Menurut hasil penelitian media content analysis yang dilakukan
Founding Fathers House (FFH) periode 28 Oktober 2011 hingga 22 Oktober 2012,
menunjukkan, kasus korupsi merupakan kasus yang paling disorot publik dan
menempati posisi teratas dalam pemberitaan di Media. "Tujuh dari 10 berita
yang berfrekuensi tinggi adalah tentang kasus suap dan korupsi," kata
Peneliti Utama FFH, Dian Permata, dalam keterangannya, Kamis (25/10/2012).[2]
Begitu juga dengan riset yang dilakukan
oleh Pol-Tracking Institute pada Bulan Maret 2013, pemberitaan mengenai kasus
hukum (korupsi) menempati posisi kedua (22%) setelah topik mengenai konflik
internal partai Demokrat (25,3%).
Dari banyaknya jumlah pemberitaan tentang
suap dan korupsi di media, menimbulkan dua sisi positif dan negatif. Positifnya
adalah media menjadi alat pengawasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah,
menghadirkan spotlight bagi koruptor untuk mempermalukan mereka di hadapan
publik, dsb. Sedangkan sisi negatifnya adalah karena loads pemberitaan
yang banyak sehingga publik merasa bosan, muak, dan pesimis akan masa depan
bangsanya. Kebanyakan tema yang diangkat adalah korupsi, yang itu berarti
kebanyakan bertendensi negatif, yang akhirnya menumbuhkan pesimisme bahkan
kekecewaan yang berujung apatisme. Beranjak dari situ, maka terlihat bahwa
sebenarnya publik perlu mendapatkan informasi dengan sudut pandang positif dan
menumbuhkan optimisme. Informasi yang tidak seperti media tampilkan yaitu
bongkar kasus, tetapi informasi yang bertujuan menghadirkan literasi anti korupsi,
tetapi menumbuhkan optimisme.
Gambar 2. Sumber : www.poltracking.com
Peran ACCH dan Gerakan Literasi Anti
Korupsi
Portal ACCH hadir sebagai
sumber pengetahuan dan informasi yang terdistribusi secara terbuka untuk
publik (public knowledge management) dalam upaya membangun
semangat, visi, dan budaya antikorupsi. KPK mengembangkan ACCH sebagai salah
satu pilar strategi pencegahan korupsi, dan merupakan platform jejaring
antikorupsi dalam menjalankan misi pemberantasan korupsi di Indonesia.[3]
Dengan mengakses portal
ini (acch.kpk.go.id) kita akan mengetahui banyak informasi yang berkaitan
dengan korupsi. Menurut saya pribadi, portal ini sangat menarik karena pertama,
ini bukti konkret bahwa lembaga penindakan korupsi (KPK) memiliki good
will dalam menjalankan fungsi pencegahan akan
terjadinya korupsi. Kedua, sebagai public knowledge management saya
bisa menemukan banyak informasi baru yang sebelumnya tidak saya temukan di site
atau sumber informasi lain.
Portal ini secara umum
terdiri dari 6 tab. Di Home saya bisa
menemukan informasi mengenai koruptor dengan perjalanan kasusnya (di rubrik
Sorotan Kasus), informasi mengenai instansi pemerintah yang ternyata kinerjanya
cepat, jelas, dan tidak korup (di rubrik Zona Bersih), dan contoh-contoh mengenai
tokoh teladan yang benar-benar menjalankan integritas semasa hidupnya, seperti
M. Husni Thamrin. Sepertinya, menemukan sosok berintegritas sejati agak sulit
di era sekarang, ketika yang Jujur dikatakan Hebat! Padahal, jujur itu sebuah
kewajiban seharusnya.
Di Edukasi saya
bisa menemukan informasi mengenai komunitas-komunitas yang bergerak dibidang
anti korupsi dengan strategi yang beragam, ada yang menggunakan media dongeng,
ada yang melalui musik, ada juga yang memulai dari hal yang sangat sederhana.
Sebagai mahasiswa yang tergabung dalam komunitas Anti Korupsi di kampus, saya
merasa mendapat suntikan semangat untuk terus bergerak, bahwa kami punya
teman-teman dari daerah lain yang juga memiliki visi sama yaitu cita-cita
Indonesia bersih dari korupsi. Di Edukasi ini juga saya
bisa menemui nilai-nilai kearifan lokal seperti kearifan lokal pada masyarakat
Bugis dan Madura yang menjunjung tinggi Budaya Malu, sebuah hal yang kontras
dengan koruptor yang kehilangan rasa malunya. Selain itu, terdapat modul-modul
Anti Korupsi sesuai dengan jenjang pendidikan. Berkaitan dengan modul ini, saya
setuju dengan pendekatan yang beragam. Bahwa cara penyampaian pesan
(nilai-nilai integritas, dan nilai positif lainnya) harus disesuaikan dengan
target audiensnya.
Begitu juga dengan rubrik penindakan, publikasi,
dan tentang ACCH, sampai sejauh ini KPK dan GIZ telah membangun
sebuah strategi yang baik untuk menumbuhkan budaya Anti Korupsi di Indonesia.
Portal ini telah membuat masyarakat menjadi melek/literate dengan
korupsi. Ketika mereka telah mengetahui, maka asumsinya mereka tidak akan
tinggal diam ketika menemukan korupsi di lingkungannya. Benang merahnya adalah
pengawasan dari setiap orang. Karena ketika diam dan membiarkan merajalela,
maka korupsi akan menghancurkan kehidupan kita.
Portal ACCH Efektifkah?
Gambar 3. Sumber : Mapping Media Policy in
Indonesia
Tabel tersebut menunjukkan bahwa
penyebaran internet di daerah-daerah mempunyai hubungan kuat dengan
perkembangan ekonomi di daerahnya. Internet lebih banyak diakses di daerah yang
lebih berkembang, dengan hadirnya aktivitas industri dan urbanisasi.[4]
Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa
internet memang tidak terlalu efektif di daerah-daerah yang
belum berkembang, internet memang hanya sangat efektif di daerah berkembang yang
ramai oleh industri dan urbanisasi seperti halnya Jakarta. Efektifitas internet
juga berdampak terhadap efektifnya portal ACCH.
Selain karena pengaruh intrinsik dari
media internet yang menjadi sarana portal ACCH, juga terdapat beberapa saran
supaya kedepannya www.acch.kpk.go.id bisa menjadi lebih baik. Pertama,
format website yang tidak memberikan ruang bagi pembaca untuk memberikan
komentar. Akibatnya adalah komunikasi yang dilakukan melalui site ini hanya
satu arah, audiens hanya membaca informasi yang disampaikan tanpa diberikan
ruang untuk memberikan feedback. Sehingga pihak dari pembuat
website juga kesulitan untuk mengetahui bagaimana respon audiens terhadap
konten website.
Kedua, akan lebih baik jika website di integrasikan dengan
social media. Seperti halnya yang tertera di Gambar 1 (Merdeka.com).
Dengan diintegrasikan dengan social media, pembaca bisa dengan mudahnya
memberikan komentar, juga membagi informasi dari site tersebut
melalui akun facebook, twitter, dan blog.
Informasi akan tersebar lebih masif.
Keempat, perlu sosialisasi yang lebih masif. Sepengamatan
saya, pihak dari pembuat website ini sangat berharap besar bahwa akan ada
begitu banyak orang yang mengakses website ini. Pertanyaannya adalah apakah
sudah seimbang antara ekspektasi dengan usaha yang dilakukan? Gerakan online tentu
perlu diimbangi dengan gerakan offline, karena gerakan offline yang
nyata turun di lapangan bertemu dengan orang-orang itu akan terasa lebih nyata.
Mengapa GIZ dan KPK tidak mengadakan roadshow sosialisasi portal ACCH ke
daerah-daerah di seluruh daerah di Indonesia, dan tidak terfokus hanya pada
Jakarta? Bagaimana kalau kerjasama dengan Universitas tidak hanya dengan
Paramadina saja, dan dilakukan dengan banyak universitas yang jauh lebih banyak
mahasiswanya. Sehingga ketika kegiatan-kegiatan offline semacam itu telah
banyak dilakukan, akan lebih banyak pula komunikan yang akan menyebarkan
informasi mengenai Anti Korupsi dan portal ACCH.
Akhirnya, gerakan literasi Anti Korupsi
bukanlah sebuah project-project parsial yang efeknya bisa langsung terukur dan
terlihat hasilnya. Ini lebih kepada proses bagaimana membuat orang melek
terhadap korupsi. Karena ini proses, sehingga membutuhkan waktu yang lebih
panjang dan usaha besar untuk memperjuangkannya.
[1] Ika Karlina Idris. Integrated
Marketing Communication.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2012. Hal. 83.
[2] Diakses dari: http://www.ti.or.id/index.php/news/2012/10/25/korupsi-tempati-posisi-tertinggi-pemberitaan-media
pada 17 April 2013. 03.13 am.
[3] Diakses dari http://acch.kpk.go.id/tentang-acch pada
tanggal 17 April 2013, 03.18.
[4] Yanuar Nugroho, dkk. Mapping Media
Policy in Indonesia. Jakarta: Creative Commons. 2012. Hal. 114.
0 comments:
Posting Komentar
Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)