Budaya Tradisi, Fondasi Indonesia dalam Arus Globalisasi
Baru-baru ini kita dilanda badai Korea, mulai dari film dan
drama Korea, musik, tarian, makanan, hingga konser-konser boyband-girlband
yang tumbuh subur di tanah air. Super Junior, SNSD, 2PM, Big
Bang, dan lirik lagu Gangnam Style begitu populer saat ini.
Band-band di tanah air pun mulai latah dengan menampilkan boyband-girlband,
dengan wajah-wajah personelnya yang oriental.
Budaya tradisi seolah dilupakan, karena kebanyakan anak muda yang
menjadi aset bangsa terlena dalam buaian budaya pop. Inilah dampak yang paling
terasa dari globalisasi. Sebagian besar remaja Indonesia begitu tertarik dengan
budaya dari negeri gingseng ini, seolah budaya sendiri dilupakan untuk beberapa
lama, entah sampai kapan.
Globalisasi dalam technological perspective merupakan suatu hal
yang tidak terelakkan lagi karena teknologi komunikasi dan informasi yang
sangat mendukung untuk penyebaran informasi secara luas. Sedangkan menurut political
economy perspective, globalisasi selalu dilatarbelakangi oleh kepentingan
ekonomi dan politik. Ekonomi di Barat, telah sampai pada fase yang disebut fase
malaise yang disebabkan telah menumpuknya barang produksi, dan perlu
didistribusikan ke tempat lain supaya modal tetap dapat bersirkulasi. Untuk
itu, perspektif ini memandang bahwa sebelum distribusi produk dilakukan secara
global, harus ada pengaruh yang disebarkan melalui media. Sedangkan, Giddens
memandang globalisasi dari sisi positif. Menurutnya globalisasi merupakan
struktur yang mengakibatkan perampokan secara global, tetapi manusia juga
berperan sebagai agen yang tidak hanya diam namun juga reaktif dan adaptif
terhadap perubahan.[1]
Memang, pengaruh globalisasi telah menggerus nilai-nilai budaya
tradisi yang kita miliki. Tetapi, bukan berarti kita menjadi diam, dan kalah
sebelum memikirkan strategi yang tepat menghadapi arus globalisasi ini.
Berbicara budaya tradisi, selalu berkaitan dengan sejarah dan adat
istiadat masa lalu. Dalam konteks Indonesia dengan budayanya yang sangat
beragam, tentu tidak ada budaya tradisi yang bersifat universal. Budaya tradisi
sangat erat kaitannya dengan etnis tertentu, seperti misalnya etnis Jawa, Bugis, Minang, Papua,
Bali, Sunda, dsb. Sehingga bisa dikatakan bahwa Indonesia memang kaya dengan
beragam budaya tradisi yang bisa hidup berdampingan, yang jika ini kita
manfaatkan, akan menjadi daya tarik Indonesia dimata internasional.
Budaya tradisi dalam gelombang globalisasi jelas perlu
dipertahankan. Budaya tradisi ini berfungsi sebagai identitas diri. Budaya
tradisi menjelaskan siapa kita dan bagaimana asal usul kita. Unsur-unsur dalam budaya tradisi seperti yang
disampaikan oleh Koentjaraningrat terdiri dari Bahasa, Sistem Pengetahuan,
Organisasi Sosial, Sistem Peralatan hidup dan teknologi, sistem mata
pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.[2] Menurut
data dari Pusat Bahasa Depdiknas, dari penyusunan peta bahasa yang dilakukan
selama 15 tahun, terdapat lebih dari 746 bahasa daerah di Indonesia.[3]
Dari aspek kesenian, lebih kaya lagi. Ada begitu banyak macam tarian daerah;
lagu daerah; pertunjukkan seni khas daerah seperti Reog Ponorogo, debus,
pertunjukkan wayang; alat musik daerah, dsb. Termasuk dengan pakaian/kain khas
daerah seperti kain Ulos dan Batik.
Beberapa kesenian Indonesia yang telah mendapatkan pengakuan dari
UNESCO adalah tari pendet, keris, batik, wayang kulit, Lagu daerah Rasa
Sayange, Reog Ponorogo, dan Angklung. Untuk mendapatkan pengakuan dari UNESCO
ini ternyata negara yang bersangkutan memang harus melestarikan dan menghidupkan
budaya tersebut. Seperti pada kasus Angklung, yang ditetapkan sebagai The
Representative List of the Intagible Cultural Heritage of Humanity sejak
November 2010. Angklung dalam artian warisan budaya tak benda dengan falsafah
hidup yang terkandung di dalamnya memang milik Indonesia, tetapi siapa saja
boleh memainkan Angklung. Setelah satu tahun mendapatkan pengakuan tersebut,
Indonesia harus membuktikan bahwa Angklung memang hidup dan diapresiasi . Maka
pada tahun 2011, diselengarakanlah Pekan Angklung Indonesia sebagai upaya
menghidupkan Angklung sebagai warisan budaya, juga dilihat fungsinya dari aspek
lain. Seperti Angklung for Medulogy, yaitu Angklung untuk Medicine,
Education, dan Psychology.[4]
Tradisi
Budaya Jawa sebagai Budaya Mayoritas
Bisa dikatakan budaya Jawa merupakan budaya mayoritas, dibandingkan
dengan budaya-budaya lainnya. Dikarenakan, sebagian besar penduduk Indonesia
memang tinggal di Jawa. Kebanyakan Presiden Indonesia juga muncul dari budaya ini.
Sehingga tidak heran, jika budaya Jawa menjadi budaya yang cukup dominan di
Indonesia.
Dalam tradisi Jawa, ada nilai-nilai baik yang patut dipertahankan.
Seperti budaya toleransi antar sesama dan cita-cita luhur akan dunia yang
damai. Cita-cita akan dunia yang damai bukan hanya menjadi falsafah hidup orang
Jawa, tetapi juga menjadi manifestasi batin orang-orangnya. Kerukunan terjaga
karena masing-masing individu terjalin saling menghormati, sopan santun
terjaga, dan saling menghargai satu sama lain. Jiwa kekeluargaan, gotong
royong, dan konsep tepa salira selalu dikedepankan dalam kehidupan
mereka. Dengan demikian, jarang terjadi konflik atau perselisihan yang berarti di
masyarakat Jawa, hubungan antar individu selalu ke arah kedamaian dan tenggang
rasa.
Anderson (2000:1) yang malang melintang di Asia Tenggara terutama
di Jawa, telah mengakui sikap savoir vivre (lapang dada) orang Jawa.
Sikap inilah yang dia sebut sebagai toleransi orang Jawa. Mereka selalu
mengenal relativitas budaya dan tantularisme budaya. Relativitas budaya
memahami bahwa budaya Jawa berbeda dengan etnis lain. Pluralitas budaya diakui
sebagai sebuah kesuburan budaya yang tak harus dipertentangkan. Sedangkan
tantularisme, paham yang dikembangkan sejak jaman Empu Tantular, yang
menghendaki bahwa perbedaan-perbedaan budaya hakikatnya adalah satu, yaitu
mengarah pada kehalusan budi manusia. [5]
Cara berkomunikasi masyarakat Jawa yang unik juga menjadi daya
tarik tersendiri. Dengan komunikasi yang high context, dimana apa yang
dimaksud terkadang tidak disampaikan secara eksplisit. Komunikasi lebih banyak
kontekstual, dan tidak disampaikan secara verbal.
Tetapi, ada beberapa tradisi dalam budaya Jawa yang mungkin tidak
relevan lagi dengan nilai-nilai saat ini. Dalam bukunya, Suwardi Endraswara
menyampaikan bahwa salah satu tradisi yang kontroversial dalam budaya Jawa
adalah sikap hidup feodalistik. Sikap ini merupakan sikap mental terhadap
sesama dengan mengadakan sikap khusus, karena adanya pembedaan usia dan
kedudukan. Sikap ini terbentuk karena pengaruh kolonialisme yang pernah
mengacak-acak kehidupan orang Jawa. Tingkat superior penjajah, dengan inferior
terjajah telah melahirkan sikap hidup yang menggambarkan adanya jarak sosial,
yang akan membentuk masyarakat Jawa berlapis-lapis.[6] Sikap
feodalistik ini menurut penulis tidak relevan lagi saat ini, dimana di era
demokrasi ini setiap orang mempunyai hak yang sama dan lebih egaliter, tanpa
mengurangi rasa hormat terhadap orang yang lebih tua tentunya. Rasanya tidak
adil, jika harus memperlakukan atau menilai manusia dari status sosialnya. Sehingga
proses tawar menawar budaya itu menjadi hal wajar adanya, yang membuat budaya
tradisi lebih adaptif terhadap globalisasi.
Bagaimana strategi menghadapi Globalisasi?
Tidak ada cara lain selain dengan memegang teguh kebudayaan kita
sendiri, dan menghidupkannya. Melalui sanggar-sanggar kesenian yang menstimulus
generasi muda mencintai budayanya, melalui pertunjukkan-pertunjukkan seni, melalui
pameran, serta melalui apresiasi masyarakat terhadap seni tradisional.
Dalam hal ini perlu kerjasama dari berbagai pihak, terutama dari
pemerintah, masyarakat, penggiat seni, dan media. Perlunya pemerintah yang
responsif dan cekatan dalam menjaga kekayaan budaya Indonesia, serta
mendapatkan pengakuan dari UNESCO untuk menjaga kekayaan budaya Indonesia, jika dirasa perlu. Perlunya penggiat seni yang
dengan semangat kreatifnya mengemas kesenian sebagai bagian dari budaya tradisi
sehingga bisa menarik minat generasi muda. Juga perlunya media yang berpihak pada usaha
memajukan budaya tradisi, sehingga masyarakat dan dunia luar tahu bahwa kita
menjaga, menghidupkan, dan mengapresiasi kekayaan budaya kita sendiri. Karena
kita sudah lelah menjadi penonton, dan tidak bisa mundur dari percaturan dunia
internasional, tak ada pilihan lain kecuali menjadi aktor dalam arus
globalisasi ini.
We believe, we can!
*Sebuah sumbangsih pemikiran. Diikutkan dalam lomba esai Pujastungkara Agung.
[1] Ade Oriza Rio,
dalam kuliah Media, Budaya, dan Masyarakat.
[2]
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu antropologi. Jakarta: Radar Jaya Offset. 1990.
[3] Lihat Kompas,
November 2008.
[4] Penulis sempat
terlibat dalam persiapan Pekan Angklung Indonesia (2011).
[5] Lihat dalam Endraswara,
Suwardi. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala. 2012. Hlm 40.
[6] Ibid.
0 comments:
Posting Komentar
Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)