Rabu, 31 Oktober 2012

Budaya Tradisi, Fondasi Indonesia dalam Arus Globalisasi



Baru-baru ini kita dilanda badai Korea, mulai dari film dan drama Korea, musik, tarian, makanan, hingga konser-konser boyband-girlband yang tumbuh subur di tanah air. Super Junior, SNSD, 2PM, Big Bang, dan lirik lagu Gangnam Style begitu populer saat ini. Band-band di tanah air pun mulai latah dengan menampilkan boyband-girlband, dengan wajah-wajah personelnya yang oriental.  Budaya tradisi seolah dilupakan, karena kebanyakan anak muda yang menjadi aset bangsa terlena dalam buaian budaya pop. Inilah dampak yang paling terasa dari globalisasi. Sebagian besar remaja Indonesia begitu tertarik dengan budaya dari negeri gingseng ini, seolah budaya sendiri dilupakan untuk beberapa lama, entah sampai kapan.

Globalisasi dalam technological perspective merupakan suatu hal yang tidak terelakkan lagi karena teknologi komunikasi dan informasi yang sangat mendukung untuk penyebaran informasi secara luas. Sedangkan menurut political economy perspective, globalisasi selalu dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi dan politik. Ekonomi di Barat, telah sampai pada fase yang disebut fase malaise yang disebabkan telah menumpuknya barang produksi, dan perlu didistribusikan ke tempat lain supaya modal tetap dapat bersirkulasi. Untuk itu, perspektif ini memandang bahwa sebelum distribusi produk dilakukan secara global, harus ada pengaruh yang disebarkan melalui media. Sedangkan, Giddens memandang globalisasi dari sisi positif. Menurutnya globalisasi merupakan struktur yang mengakibatkan perampokan secara global, tetapi manusia juga berperan sebagai agen yang tidak hanya diam namun juga reaktif dan adaptif terhadap perubahan.[1]

Memang, pengaruh globalisasi telah menggerus nilai-nilai budaya tradisi yang kita miliki. Tetapi, bukan berarti kita menjadi diam, dan kalah sebelum memikirkan strategi yang tepat menghadapi arus globalisasi ini.
 
Berbicara budaya tradisi, selalu berkaitan dengan sejarah dan adat istiadat masa lalu. Dalam konteks Indonesia dengan budayanya yang sangat beragam, tentu tidak ada budaya tradisi yang bersifat universal. Budaya tradisi sangat erat kaitannya dengan etnis tertentu, seperti  misalnya etnis Jawa, Bugis, Minang, Papua, Bali, Sunda, dsb. Sehingga bisa dikatakan bahwa Indonesia memang kaya dengan beragam budaya tradisi yang bisa hidup berdampingan, yang jika ini kita manfaatkan, akan menjadi daya tarik Indonesia dimata internasional.
Budaya tradisi dalam gelombang globalisasi jelas perlu dipertahankan. Budaya tradisi ini berfungsi sebagai identitas diri. Budaya tradisi menjelaskan siapa kita dan bagaimana asal usul kita.  Unsur-unsur dalam budaya tradisi seperti yang disampaikan oleh Koentjaraningrat terdiri dari Bahasa, Sistem Pengetahuan, Organisasi Sosial, Sistem Peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.[2] Menurut data dari Pusat Bahasa Depdiknas, dari penyusunan peta bahasa yang dilakukan selama 15 tahun, terdapat lebih dari 746 bahasa daerah di Indonesia.[3] Dari aspek kesenian, lebih kaya lagi. Ada begitu banyak macam tarian daerah; lagu daerah; pertunjukkan seni khas daerah seperti Reog Ponorogo, debus, pertunjukkan wayang; alat musik daerah, dsb. Termasuk dengan pakaian/kain khas daerah seperti kain Ulos dan Batik.

Beberapa kesenian Indonesia yang telah mendapatkan pengakuan dari UNESCO adalah tari pendet, keris, batik, wayang kulit, Lagu daerah Rasa Sayange, Reog Ponorogo, dan Angklung. Untuk mendapatkan pengakuan dari UNESCO ini ternyata negara yang bersangkutan memang harus melestarikan dan menghidupkan budaya tersebut. Seperti pada kasus Angklung, yang ditetapkan sebagai The Representative List of the Intagible Cultural Heritage of Humanity sejak November 2010. Angklung dalam artian warisan budaya tak benda dengan falsafah hidup yang terkandung di dalamnya memang milik Indonesia, tetapi siapa saja boleh memainkan Angklung. Setelah satu tahun mendapatkan pengakuan tersebut, Indonesia harus membuktikan bahwa Angklung memang hidup dan diapresiasi . Maka pada tahun 2011, diselengarakanlah Pekan Angklung Indonesia sebagai upaya menghidupkan Angklung sebagai warisan budaya, juga dilihat fungsinya dari aspek lain. Seperti Angklung for Medulogy, yaitu Angklung untuk Medicine, Education, dan Psychology.[4]

Tradisi Budaya Jawa sebagai Budaya Mayoritas

Bisa dikatakan budaya Jawa merupakan budaya mayoritas, dibandingkan dengan budaya-budaya lainnya. Dikarenakan, sebagian besar penduduk Indonesia memang tinggal di Jawa. Kebanyakan Presiden Indonesia juga muncul dari budaya ini. Sehingga tidak heran, jika budaya Jawa menjadi budaya yang cukup dominan di Indonesia.

Dalam tradisi Jawa, ada nilai-nilai baik yang patut dipertahankan. Seperti budaya toleransi antar sesama dan cita-cita luhur akan dunia yang damai. Cita-cita akan dunia yang damai bukan hanya menjadi falsafah hidup orang Jawa, tetapi juga menjadi manifestasi batin orang-orangnya. Kerukunan terjaga karena masing-masing individu terjalin saling menghormati, sopan santun terjaga, dan saling menghargai satu sama lain. Jiwa kekeluargaan, gotong royong, dan konsep tepa salira selalu dikedepankan dalam kehidupan mereka. Dengan demikian, jarang terjadi konflik atau perselisihan yang berarti di masyarakat Jawa, hubungan antar individu selalu ke arah kedamaian dan tenggang rasa.

Anderson (2000:1) yang malang melintang di Asia Tenggara terutama di Jawa, telah mengakui sikap savoir vivre (lapang dada) orang Jawa. Sikap inilah yang dia sebut sebagai toleransi orang Jawa. Mereka selalu mengenal relativitas budaya dan tantularisme budaya. Relativitas budaya memahami bahwa budaya Jawa berbeda dengan etnis lain. Pluralitas budaya diakui sebagai sebuah kesuburan budaya yang tak harus dipertentangkan. Sedangkan tantularisme, paham yang dikembangkan sejak jaman Empu Tantular, yang menghendaki bahwa perbedaan-perbedaan budaya hakikatnya adalah satu, yaitu mengarah pada kehalusan budi manusia. [5]

Cara berkomunikasi masyarakat Jawa yang unik juga menjadi daya tarik tersendiri. Dengan komunikasi yang high context, dimana apa yang dimaksud terkadang tidak disampaikan secara eksplisit. Komunikasi lebih banyak kontekstual, dan tidak disampaikan secara verbal.

Tetapi, ada beberapa tradisi dalam budaya Jawa yang mungkin tidak relevan lagi dengan nilai-nilai saat ini. Dalam bukunya, Suwardi Endraswara menyampaikan bahwa salah satu tradisi yang kontroversial dalam budaya Jawa adalah sikap hidup feodalistik. Sikap ini merupakan sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus, karena adanya pembedaan usia dan kedudukan. Sikap ini terbentuk karena pengaruh kolonialisme yang pernah mengacak-acak kehidupan orang Jawa. Tingkat superior penjajah, dengan inferior terjajah telah melahirkan sikap hidup yang menggambarkan adanya jarak sosial, yang akan membentuk masyarakat Jawa berlapis-lapis.[6] Sikap feodalistik ini menurut penulis tidak relevan lagi saat ini, dimana di era demokrasi ini setiap orang mempunyai hak yang sama dan lebih egaliter, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap orang yang lebih tua tentunya. Rasanya tidak adil, jika harus memperlakukan atau menilai manusia dari status sosialnya. Sehingga proses tawar menawar budaya itu menjadi hal wajar adanya, yang membuat budaya tradisi lebih adaptif terhadap globalisasi.

Bagaimana strategi menghadapi Globalisasi?
Tidak ada cara lain selain dengan memegang teguh kebudayaan kita sendiri, dan menghidupkannya. Melalui sanggar-sanggar kesenian yang menstimulus generasi muda mencintai budayanya, melalui pertunjukkan-pertunjukkan seni, melalui pameran, serta melalui apresiasi masyarakat terhadap seni tradisional.

Dalam hal ini perlu kerjasama dari berbagai pihak, terutama dari pemerintah, masyarakat, penggiat seni, dan media. Perlunya pemerintah yang responsif dan cekatan dalam menjaga kekayaan budaya Indonesia, serta mendapatkan pengakuan dari UNESCO untuk menjaga kekayaan budaya Indonesia,  jika dirasa perlu. Perlunya penggiat seni yang dengan semangat kreatifnya mengemas kesenian sebagai bagian dari budaya tradisi sehingga bisa menarik minat generasi muda. Juga  perlunya media yang berpihak pada usaha memajukan budaya tradisi, sehingga masyarakat dan dunia luar tahu bahwa kita menjaga, menghidupkan, dan mengapresiasi kekayaan budaya kita sendiri. Karena kita sudah lelah menjadi penonton, dan tidak bisa mundur dari percaturan dunia internasional, tak ada pilihan lain kecuali menjadi aktor dalam arus globalisasi ini.
We believe, we can!

*Sebuah sumbangsih pemikiran. Diikutkan dalam lomba esai Pujastungkara Agung. 



[1] Ade Oriza Rio, dalam kuliah Media, Budaya, dan Masyarakat.
[2] Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu antropologi. Jakarta: Radar Jaya Offset. 1990.
[3] Lihat Kompas, November 2008.
[4] Penulis sempat terlibat dalam persiapan Pekan Angklung Indonesia (2011).
[5] Lihat dalam Endraswara, Suwardi. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala. 2012.  Hlm 40.
[6] Ibid.

0 comments:

Posting Komentar

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri