Selasa, 29 Mei 2012

American Idol sebagai Budaya Populer dan Globalisasi


Analisis terhadap American Idol sebagai budaya populer yang mengglobal lewat media, dan pengaruhnya terhadap Indonesia.
Oleh : Asri Nuraeni 
Phillip Phillips & Elise saat menyanyikan "Somebody That I Use to Know"

Hari ini, siapa yang tak mengenal Phillip Phillips? Laki-laki usia 20 tahun yang menjadi finalis American Idol season 11. Minggu ini Phillips melawan Jessica Sanchez memperebutkan posisi the winner of American Idol season 11. Video penampilannya saat 3 besar saat membawakan lagu You’ve Got Tonight yang diunggah di Youtube, dilihat sebanyak 662.980 kali dengan 4.620 likes dan 452 dislikes. Sedangkan video Jessica dengan lagu I Dont Want to Miss A Thing dilihat sebanyak 991.872 kali dengan 264 likes, dan 439 dislike. Sedangkan Joshua Ledet dengan Imagine-nya hanya dilihat 171.852 kali, dengan  878 likes dan 470 dislikes.  Berbagai dukungan disampaikan melalui sosial media dari semua penonton di seluruh dunia. Joshua Ledet penyanyi berkulit hitam ini tereliminasi di babak 3 besar.

Keluarnya Joshua Ledet, dari tiga besar menunjukkan bahwa seorang penyanyi selain suaranya harus bagus, juga secara penampilan harus menarik. Bukan berarti penampilan Joshua Ledet itu tidak menarik (bukankah menarik itu relatif?), tetapi secara visual Phillip Phillips (untuk kategori penyanyi laki-laki) secara universal memang lebih menarik perhatian pemirsa. Dan kebanyakan dari penonton merupakan perempuan, sehingga bisa dikatakan bahwa perempuan juga mempunyai female gaze.

Tidak bisa dipungkiri, dalam proses menjadi populernya seorang kontestan dalam Idol series ini sangat besar dipengaruhi oleh adanya media, apalagi ketika mulai mengglobalnya program pencarian superstar semacam ini. American Idol merupakan acara reality show kompetisi menyanyi yang dibuat oleh Simon Fuller dan diproduksi oleh Fremantle Media North America dan 19 Entertainment. Mulai disiarkan di saluran FOX pada 11 Juni 2002, sebagai tambahan dari Idol Franchise yang terisnpirasi dari POP Idol yang diselenggarakan di Inggris dan menjadi salah satu dari siaran terpopuler sepanjang sejarah pertelevisian Amerika. POP Idol sendiri merupakan reality show yang pertama kali mengudara pada  Oktober 2001 di Inggris, hanya terselengara 2 season, dan sempat menjadi kontroversi karena Simon Cowell malah terkenal di American Idol.  POP Idol sendiri merupakan pelopor idol-idol di seluruh negara.   Di tahun 2011, berdasarkan rating Nielsen American Idol merupakan satu-satunya program pertama dengan 8 season secara berurutan.[1] American Idol season 11 dimulai pada 18 Januari 2012. Di Asia, acara ini ditayangkan melalui STAR World, dan di Indonesia disiarkan di B Channel.

Media dan Mengglobalnya Idol Series
Media dalam hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap mendunianya Idol Series, terutama setelah populernya American Idol. Indonesia pun tak mau kalah, dengan menyelenggarakan Indonesian Idol pada tahun 2004. Saat itu yang menjadi juara pertama adalah Joy Tobing, degan runner up Delon Thamrin. Hingga sekarang, sudah ada 7 musim Indonesian Idol dimana season 7 sedang berlangsung tahun ini.

Media khususnya Televisi sangat berpengaruh dalam proses mengglobalnya American Idol ini. Melalui saluran asli yang menyiarkannya yaitu FOX, sedangkan di kawasan Asia bisa dilihat melalui STAR World, dan di Indonesia sendiri ditayangkan di B Channel. Tentunya tidak hanya melihat American Idol ini sebagai hiburan, tetapi ada kepentingan lain yang ada dibalik ini semua.

Media mempunyai beberapa fungsi, pertama fungsi penyedia informasi dan hiburan. Di era modern dimana manusia disibukan dengan rutinitasnya, hiburan menjadi suatu bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia sebagai media relaksasi. Sajian American Idol sendiri, disamping sebagai media pencarian superstar, masyarakat dunia (yang menonton tentunya) mendapatkan sajian hiburan berkualitas dari kontestan dengan kualitas menyanyi yang bagus. Juga tentunya dengan tampilan fisik yang menarik, hal ini bisa dilihat dengan banyaknya gadis remaja yang mengidolakan Phillip Phillips, penonton juga disetiap sesinya mendapat ketegangan, dibuat penasaran, apakah jagoannya akan maju ke babak selanjutnya atau tidak.

Kedua, industri media merupakan industri yang mendorong perputaran roda ekonomi. Bagaimana tidak, dengan disiarkan program ini misalnya telah membuat industri musik, industri penyedia telekomunikasi (provider), industri fashion, industri radio, dan industri yang lainnya menjadi diuntungkan. Sebagai salah satu dari pertunjukan paling sukses sepanjang sejarah pertelevisian Amerika, American Idol tentunya berdampak bukan hanya pada televisi, tetapi juga terhadap ranah hiburan yang lebih luas. Beberapa alumni American Idol sukses dalam membangun karir musik mereka. Di U.S mereka mencapai 314 jumlah Billboard Chart di tahun 2012.[2] Di tahun 2007, American Idol terhitung sebanyak 2,1 % dari penjualan musik, dimana alumni-alumninya berdampak masif terhadap revenue radio.[3] Selain itu, American Idol juga berdampak terhadap film dan teater. Casting terhadap idola populer, bisa menambah penjualan tiket film tersebut.

Ketiga, media mempunyai akses yang luar biasa dalam menerpa khalayaknya. Jelas, siaran resmi American Idol melalui FOX disiarkan kembali di STAR World dengan hak siarnya di wilayah Asia, dan B Channel dengan hak siarnya di wilayah Indonesia. Walaupun American Idol ini berlangsung di America, dengan kontestan merupakan masyarakat America, ternyata tidak sedikit penggemar American Idol yang ada di Indonesia, termasuk penulis sendiri. Apalagi, dengan adanya new media, akses terhadap video show kontestan bisa diakses kapan saja melalui Youtube.

Keempat, dengan kemampuannya mengkonstruksi pesan dan menyiarkannya secara repetitif (berulang), media dipercaya mempunyai pengaruh terhadap khalayak dan bisa menciptakan sebuah effect. Siaran American Idol, setiap minggunya bahkan disiarkan berkali-kali di cable TV, membuat khalayak menjadi aware terhadap talent show. Dengan suara mereka yang jelas berkualitas, ditambah dengan penampilan menarik si talent, tata panggung, tata musik, visual yang menarik, dan penonton di lokasi yang histeris, membuat khalayak menjadi terpengaruh. Lama-lama, khalayak menjadi suka, bahkan menjadi salah satu dari pemilih (voters) yang mendukung idola mereka melalui sms, telepon, atau layanan internet, supaya idolanya tetap bertahan. Juga mengobrolkan idola mereka di sosial media seperti di twitter.

American Idol dan Globalisasi
American Idol sebagai program yang terinspirasi dari POP Idol, sebagaimana kita tahu merupakan program yang sukses dan populer di dunia. Ternyata, bukan hanya Amerika saja, tetapi banyak juga negara-negara lain yang menyelenggarakan acara serupa. Tidak dipungkiri bahwa acara semacam ini bisa mendatangkan keuntungan yang lumayan, sehingga ada sekitar 43 negara yang mengadaptasi format serupa Idol series ini.

Globalisasi, menurut technological perspective merupakan sesuatu yang tidak terelakkan lagi, karena teknologi komunikasi dan informasi yang sudah mendukung, maka globalisasi merupakan suatu keniscayaan. Sedangkan menurut political economy perspective, globalisasi selalu dilatar belakangi oleh kepentingan ekonomi dan politik. Ekonomi di Barat, telah sampai pada fase yang disebut fase malaise yang disebabkan telah menumpuknya barang produksi, dan perlu didistribusikan ke tempat lain supaya modal tetap dapat bersirkulasi. Untuk itu, perspektif ini memandang bahwa sebelum distribusi produk dilakukan secara global, harus ada pengaruh yang disebarkan melalui media-media.

Dalam hal ini, American Idol sebagai pendongkrak industri musik Amerika, menyebarkan pengaruhnya melalui FOX. Suksesnya siaran American Idol membawa keuntungan bagi perusahaan FOX compagny. Siarannya mendorong FOX menjadi jaringan TV pertama dengan audiens berusia 18-49 yang didambakan oleh pengiklan di tahun 2011. Siaran ini juga menurut Simon Fuller diklaim sebagai “penyelamat FOX.” [4] American Idol juga membantu naiknya rating siaran acara lain di FOX seperti House and Bones. Jelas, selain kepentingan untuk menciptakan hiburan, juga ada kepentingan ekonomi dibalik semua ini. Kemudian, American Idol juga disiarkan di wilayah ASIA melalui STAR World (setelah STAR Word membeli hak siar tentunya). Di Indonesia, American Idol disiarkan melalui B Channel. Bisa dibayangkan, ketika musik-musik bergenre pop-rock yang disiarkan melalui media-media tadi lama-lama menjadi sesuatu yang familiar di Indonesia. Remaja, dewasa, yang menontonnya turut mengidolakan idol di Amerika, dan mungkin saja disusul dengan mengunduh video-nya di Youtube, mengunduh mp3-nya di 4shared atau media berbagi gratis lainnya.

Secara general, lama-lama masyarakat Indonesia menjadi ramah dengan budaya yang diimpor dari luar, Amerika khususnya. Keuntungan langsung yang secara kasat mata, misalnya konser-konser artis luar yang diselenggarakan di Indonesia seperti Justin Bieber, Super Junior, Katy Perry, Lady Gaga (yang masih menjadi kontroversi), atau mungkin nantinya alumni-alumni dari American Idol sendiri. Globalisasi memungkinkan negara-negara maju memperluas pasarnya dan menindas budaya-budaya Indonesia yang tertatih-tatih. Penulis setuju dengan pandangan Schiller yang memandang Globalisasi sebagai media and cultural imperialism.

Sedangkan pendapat Giddens yang memandang Globalisasi dari perspektif positif. Globalisasi merupakan sebuah struktur yang mengakibatkan perampokan secara global, tetapi manusia juga berperan sebagai agen yang tidak hanya diam namun juga reaktif, adaptif, terhadap perubahan. Hal ini menurut penulis menjadi tantangan bagi Indonesia sendiri. Ya, Indonesia memang reaktif terhadap globalisasi, buktinya Indonesia setuju dengan Free Trade Agreement. Dalam hal ini juga Indonesia menggunakan pola yang sama khususnya dari American Idol dalam mengadakan Indonesian Idol. Hanya saja, kualitas Indonesia menurut penulis masih jauh jika dibandingkan dengan American Idol. Apalagi, di season 7 ini, komentar juri terasa tidak berkualitas. Alumni-alumni Indonesian Idol juga masih sedikit yang bisa bertahan di industri musik, kebanyakan hanya muncul sekali dan setelah itu menghilang. Jika memang Indonesia ingin berpartisipasi dalam globalisasi, harusnya penyanyi-penyanyi Indonesia juga harus bisa menembus pasar dunia, minimal pasar Asia. Proses pencarian superstar di Indonesia, malah seperti proses pencarian penyanyi karbitan tanpa kualitas mumpuni.  Dari sini, bisa dilihat bahwa di sektor industri musik, Indonesia masih menjadi objek globalisasi, belum menjadi aktor globalisasi.

American Idol dan Pemikiran Adorno
Dalam artikelnya The Culture Industry Adorno berbicara tentang proses produksi budaya yang sudah menyamai jenis-jenis industri yang lain. Menurutnya, proses produksi budaya ditandai dengan proses standarisasi, masifikasi, dan komodifikasi.[5]

Dahulu, musik bisa dibedakan berdasarkan seni tinggi dan seni rendah. Seni tinggi, dimana dahulu musik sebagai alat kritik yang digunakan masyarakat kelas tinggi. Begitu juga dengan seni rendah, yang menjadi suara otentik masyarakat kelas bawah. Saat ini, berbagai genre musik muncul dalam budaya populer, dan mengalami proses standarisasi, masifikasi, dan komodifikasi. Musik dalam budaya pop menjadi sesuatu yang dinikmati begitu saja.

Genre musik yang ada di American Idol sendiri seperti pop, rock, pop-rock. Sekilas tentang sejarah Musik Rock, musik rock merupakan genre musik populer yang mulai diketahui secara umum pada pertengahan tahun 50an. Akarnya berasal dari riythm dan blues, musik country dari tahun 40 dan 50-an serta berbagai pengaruh lainnya.[6] Sedangkan musik pop jelas merupakan wujud dari budaya populer. Menurut Adorno musik pop dihasilkan melalui dua proses dominasi industri budaya, yakni standarisasi dan individualitas semu.

Standarisasi menjelaskan mengenai tantangan dan permasalahan yang dihadapi musik pop dalam hal originalitas, autentitas ataupun rangsangan intelektual. Standarisasi menyatakan bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dengan lainnya hingga dapat dipertukarkan.[7] Dengan kata lain ada kemiripan mendasar pada musik pop dalam berbagai hal yang dikandungnya yang mampu dipertukarkan sehingga menjadi komoditas tersendiri.

Sedangkan individualitas semu, untuk membuat kabur individualitas rasa yang seharusnya ada dalam diri individu dalam menikmati musik. Individualitas rasa merupakan hal yang dihasilkan produk budaya dalam memengaruhi suasana individual. Demi mengaburkannya, individualitas semu mengacu pada perbedaan-perbedaan dalam musik pop yang sifatnya hanya kebetulan, hal ini dapat tercipta melalui pengaburan kemiripan-kemiripan dalam musik pop dengan memberikan variasi.[8] Dengan demikian, musik Pop bisa dikatakan telah mengalami masifikasi, dimana setiap produk mempunyai kemiripan-kemiripan (nada dan rasa), hanya saja karena ada variasi yang diciptakan maka seperti terlihat beragam.

Genre musik yang beragam kemudian dikemas dalam konsep Ammerican Idol, yang berpengaruh terhadap industri musik di Amerika. Para penyanyi berbakat kemudian diasah untuk menjadi seorang idol. Setiap minggu mereka menyanyikan lagu dengan tema yang ditentukan dan ada eleminasi setiap minggunya. Proses pencarian superstar ini juga jelas mengalami masifikasi, komodifikasi, dan standarisasi.

Dengan standar tertentu American Idol menentukan siapa yang berhak lolos seleksi dari setiap negara bagian Amerika. Kemudian dengan disiarkan oleh berbagai media, acara ini telah disiarkan secara masif ke berbagai belahan dunia melalui media dan jaringannya, banyak orang-orang berbeda dari berbagai belahan dunia menonton acara yang sama dalam waktu yang bersamaan. Acara ini juga telah menjadi suatu komoditas, dimana kepentingan ekonomi jelas terlihat. Rating acara ini memang terbilang tinggi, dipastikan banyak pengiklan yang tertarik untuk memasang iklannya ketika acara berlangsung. Begitu juga dengan provider yang diuntungkan dengan voting yang dilakukan melalui telepon dan sms.

Globalisasi dan Budaya Populer
Globalisasi tentunya menjadi suatu keniscayaan. Indonesia tidak bisa mengelak dari proses globalisasi ini, jika tidak ingin dikucilkan. Kepentingan politik dan ekonomi yang menjadikan negara-negara barat khususnya Amerika memperluas pasarnya sampai ke Indonesia, memang menciptakan apa yang disebut dengan cultural imperialism. Dengan mengawali semua pengaruhnya melalui media, dan secara perlahan tetapi pasti memasukkan produknya termasuk musik. Wajar jika musik menjadi bagian dari budaya yang diindustrialisasikan, karena memang telah mengalami masifikasi, komodifikasi, dan standarisasi. Lantas, apakah kita hanya menjadi konsumen produk-produk budaya pop? Penulis rasa tidak. Jika memang Indonesia memberanikan diri masuk ke ranah globalisasi, maka sudah seharusnya Indonesia adaptif dengan mengekspor produk-produk budayanya keluar, dengan strategi budaya yang perlu dipikirkan bersama.


[1]  lihat "Full 2010-11 Ratings: CBS Tops Viewership, Fox Is No. 1 in Demo and Idol Remains Most-Watched". TV Guide. June 1, 2011. Retrieved 02-06-2012 dalam en.wikipedia.org
[4] Lihat Lieberman, David (March 30, 2005). "'American Idol' zooms from hit show to massive business". USA Today.http://www.usatoday.com/money/media/2005-03-29-media-usat_x.htm. dalam id.wikipedia.org
[5] Ade Oriza Rio, Ekonomi Politik Media.
[6] Id.wikipedia.org.
[7] Lih Strinati, 2007 dalam id.wikipedia.org.
[8] Ibid.

2 komentar:

  1. Q: Hari ini, siapa yang tak mengenal Phillip Phillips?
    A: SAYA! bahkan mo googling nyari infonya pun ogah :D anw, yang saya tau Phillips itu merk lampu neon..

    Statement: Globalisasi sebagai media and cultural imperialism.
    Tanggapan: Menurut saya... sekarang agaknya imperialisme budaya bukan cuma di alamatkan ke Amerika dan Sekutu dekatnya.. yang aku lihat pengaruh Drama dan boyband Korea kini lebih "errggh" daripada si Idol...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ga kenapa2 sih kalo ga kenal sama phillips dan alumni2 idol yg lainnya (toh tiap org punya preferensi masing2, hehe)

      saya sendiri kenapa nulis ttg ini? soalnya emang suka kalo denger phillips nyanyi tuh, happy bgt bawaannya..
      yep budaya k-pop juga lg in bgt..:)

      Hapus

Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)

Copyright © 2014 Jurnal Asri