Menulis atau Tidak
Pepatah mengatakan, harimau mati meninggalkan belangnya. Manusia mati, meninggalkan apa?
Hayoo...meninggalkan apa? Ini bukan tebak-tebakan teman, banyak jawabannya sih. Bisa harta, bisa nama, bisa gagasan dan pikiran, bisa juga utang. Dan kali ini, saya pengen membahas [cie..kayak dosen aja nih], ketika manusia mati, ia meninggalkan sebuah gagasan hasil pola pikirnya selama hidup, dan semua itu terdokumentasikan dalam sebuah tulisan. Bisa dalam bentuk nonfiksi, dan fiksi. Bebas.
Kalau boleh saya bilang, manusia itu haruslah menulis. Menulis, merupakan proses menuangkan gagasan, ide, pikiran, (atau apalah namanya) ke dalam sebuah tulisan. Menulis mempunyai efek positif bagi si penulis itu sendiri, yaitu pertama menstabilkan emosi, dan menyalurkan semua “kegalauan” ke dalam sebuah tulisan. Terkadang ada beberapa hal yang tak bisa diceritakan atau disampaikan pada orang lain, apalagi jika respon dari orang yang mendengarkannya tak sesuai dengan harapan kita. Kecewa deh jadinya.
Dalam hal ini, banyak contohnya; seperti kebiasaan menulis diary, terbiasa menuliskan apa yang dirasakan, dan ketika membacanya kembali kita akan geli sendiri. Menulis sebuah curhatan juga menjadi sebuah dokumentasi fluktuasi emosional kita. Kita menjadi bisa lebih mengenal siapa dan bagaimana diri kita sendiri.
Banyak tokoh-tokoh dalam sejarah yang melewati masa hidupnya di penjara dengan menulis. Seperti Sayyid Quthb, dkk. Mereka tetap mengaktualisasi diri mereka walaupun tubuh mereka terpenjara.
Kedua, dengan menulis berarti kita telah berbgi suatu informasi. Salah satu kejahatan intelektual yang dilakukan oleh seorang mahasiswa (atau kaum terpelajar lainnya) adalah tidak menulis. Anda kan mengecap pendidikan, dan tugas pendidikan bukanlah tugasnya guru saja, namun tugasnya orang-orang yang telah mengecap pendidikan. Ayolah berbagi, walaupun hanya satu ayat. Diluar sana, masih banyak orang yang tak bisa mengecap pendidikan, so lets berbagi. Bisa melalui tulisan anda yang dimuat di media massa, blog, catatan fb, link tweet, harian, buletin, menerbitkan buku, e- book, dsb.
Saya jadi ingat pengalaman saya bersama teman saya sewaktu libur semester kemarin. Teman saya yang kuliah di UGM ini, mengambil major tata kota. Beliau, memang rajin membaca jurnal yang diterbitkan secara periodik yang diterbitkan oleh Persatuan Praktisi Tata Kota [saya lupa lagi namanya]. Kemudian, saya melihat jurnalnya, hmm..menarik sekali. Data-data yang dimuat begitu rinci, kredibel karena ditulis oleh ahlinya, dan aktual. Tiba-tiba saya berkomentar,
“Tuh kan..nulis itu penting banget, gimana kalau praktisi-praktisi ini ga mau nulis? Kamu ga bakalan tau perkembangan tata kota di Indonesia sekarang..” teman saya itu hanya nyegir kuda. Hehehe.
So, mulai nulis dari hal yang kita kuasai, karena major saya komunikasi, jadi saya mulai share tentang menulis, walaupun tulisan saya banyak ditolak di media massa. [ga penting banget ya? Hehe.]
Ketiga, Menyumbangkan pemikiran yang berbeda. Sederhananya, as brainstorming ide gitu. Walaupun tema yang dibahas sama, tetapi ditulis orang yang berbeda, pasti akan menghasilkan pemikiran yang berbeda pula, kecuali emang plagiat (copy-paste) tulisan orang. Kadang, tulisan yang satu, ditutup tulisan yang lain. Sebaliknya, tulisan kedua mampu melengkapi tulisan pertama atau hanya memperkaya wacana saja, hal ini pun merupakan sumbangan pikiran yang patut diapresiasi.
Keempat, memberikan perubahan ke arah yang lebih baik. Lewat tulisan, kita bisa mempengaruhi orang lain. Layaknya sebuah pidato yang disampaikan Hitler, dimana ia berhasil mempengaruhi rakyatnya untuk memusuhi kaum Yahudi, dan memandang bahwa suku Arya lah yang paling baik di dunia. Tulisan kita, dengan pemikiran, gagasan, yang ditawarkan, apalagi jika disebarkan melalui media massa mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi opini publik. Contoh sederhana, Denny Indrayana sebagai pakar hukum, menulis buku Indonesia Optimis, dimana mainstream ini berlawanan dengan kebanyakan orang-orang yang pesimis melihat Indonesia. Namun, ketika tulisan itu mulai tersebar luas, banyak orang yang mulai mengubah cara pandangnya pada Indonesia, menjadi lebih optimis.
Kalau sebelumnya saya menyampaikan bahwa menulis bisa menstabilkan emosi, yang keenam adalah menjernihkan pikiran. Kita dapat mencurahkan kegundahan kita saat melihat berbagai ketimpangan, ketidakadilan, atau kekerasan yang terjadi di masyarakat kita.[1] Misalnya, anda resah ketika melihat jembatan yang roboh sebelum diresmikan, mungkin anda melihat peristiwa itu sebagai indikasi korupsi. Pokoknya, semua hal yang bertentangan dengan hati nurani kita. Dengan menulis juga melatih kepekaan hati kita. Jangan sampai, hati yang dianugerahkan Tuhan menjadi sia-sia.
Ketujuh, Menulis : berbuat untuk keabadian. Ketika anda menulis [dalam konteks positif], dan kemudian ternyata tulisan anda mengubah, menginspirasi, menggerakkan orang lain. Disadari atau tidak, itu menjadi amal baik bagi kita. Dan ketika kita sudah tiada, tetapi tulisan kita tetap hadir diantara mereka, amal baik kita akan menjadi pahala yang tetap mengalir pada kita.
So, kesimpulannya : tidak ada kesimpulan. Karena kesimpulan, menggambarkan kita lelah berpikir. So, monggo direnungkan sharing saya di atas. Matur Nuwun.
totally agree sri! kita harus nulis.
BalasHapusobsesi terdekat>>> bikin buku dongeng! aminn :)
Iya Ron..;)
BalasHapusi wait ur story book...semangat!!