Pluralitas Indonesia Dimata Pancasila
Bhineka tunggal ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Bhineka tunggal ika, diambil dari kitab sutasoma yang dibuat oleh Mpu Tantular yang hidup pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit.
Berbicara tentang pancasila, memang tidak akan pernah lepas dari sejarah Indonesia. Pancasila sebagai dasar falsafah negara merupakan model ideal pluralisme ala Indonesia. Pancasila adalah hasil perpaduan dari keberhasilan para Bapak Pendiri yang berpandangan toleran dan terbuka dalam beragama dan perwujudan nilai-nilai kearifan lokal, adat, dan budaya warisan nenek moyang.
Sebagai ideologi negara, Pancasila seakan menegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Ia merupakan konsep ideal untuk menciptakan kerukunan aktif di mana anggota masyarakat bisa hidup rukun di atas kesepahaman pemikiran. Harus diakui bahwa keberadaan Pancasila benar-benar menjadi kalimatun sawâ’ (as a model of living togetherness) bagi masyarakat Indonesia.
Potret Pancasila kini
Dalam siaran salah satu stasiun televisi beberapa hari terakhir meliput wawancara beberapa mahasiswa. Di hari kelahiran pancasila itu, beberapa mahasiswa ditanyai tentang bagaimana bunyi pancasila. Walaupun dengan hafalnya pancasila, belum tentu menjadi indikator telah membuminya nilai-nilai pancasila di masyarakat.
Hari lahirnya pancasila sekaligus peringatan pidato presiden Soekarno di depan BPUPKI yang diselenggarakan di gedung MPR kemarin, merupakan moment yang langka, karena tidak biasanya Presiden SBY, Megawati, dan BJ Habibie bertemu.
Dalam pidatonya, SBY mengatakan bahwa survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada 12.000 responden dari 181 kota dan kabupaten di Indonesia menemukan 79,26 persen warga menyatakan Pancasila penting dipertahankan.
Survei yang dilakukan 27 - 29 Mei di 33 provinsi di seluruh Indonesia itu digelar atas perintah Presiden. Menurut SBY, survei penting untuk menemukan solusi melaksanakan revitalisasi Pancasila secara efektif. Gagasan menggelar survei, dilakukan setelah Presiden SBY bertemu pimpinan lembaga negara di Gedung Mahkamah Konstitusi, 24 Mei 2011 lalu. Pertemuan konsultasi itu dihadiri Ketua MPR, Ketua DPR, MA, MK, DPD, BPK dan KY menyepakati perlunya revitalisasi pola pendidikan Pancasila. " Survei ini penting untuk mendapatkan gambaran tentang apa dan bagaimana rakyat memandang Pancasila" ujarnya.
Dilakukan dengan metode wawancara langsung, responden survei ini terdiri dari pelajar, ibu rumah tangga, dosen, dan pengusaha. Hasilnya, ada beberapa solusi yang dianggap effektif melaksanakan Pancasila.
Misalnya, sosialisasi Pancasila melalui pendidikan 30 persen, contoh dari perbuatan nyata pejabat negara dan daerah 19 persen, dari penataran P4 14 persen, ceramah agama 10 persen dan media, hanya 2 persen.
Siapa yang harus melaksanakan? Menurut Presiden SBY, 43 persen sebaiknya dilaksanakan guru dan dosen. Sebanyak 28 persen tokoh masyarakat dan agama. " hanya 20 % yang dilakukan oleh badan khusus yang dibentuk pemerintah dan 3 persen oleh elit politik" kata SBY. Angka 3 persen sebagai jawaban atas siapakah yang melaksanakan sosialisasi Pancasila, menandakan sedikit banyak kepercayaan terhadap elit politik (pemerintah) telah berkurang.
Pancasila merupakan suatu dasar negara yang mengusung pluralitas. Indonesia yang terdiri dari 223 suku, 5 agama, dan berbagai bahasa daerah yang disatukan oleh bahasa Indonesia, tentunya membutuhkan suatu pemersatu dari seluruh perbedaan yang ada. Sebagaimana tercantum dalam pancasila, Bhineka tunggal ika, suatu falsafah yang diambil dari kitab sutasoma Mpu Tantular yang berarti berbeda-beda tetap satu jua.
Pluralitas merupakan suatu keniscayaan
Bung Karno, seorang pemimpin kebangsaan, memahami bahwa Hindia Belanda pada waktu itu adalah sebuah negeri Muslim. Namun, ia juga menyadari bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural. Bahkan, ia pun tahu bahwa dalam masyarakat muslim pun terdapat pluralitas, seperti nampak pada banyaknya aliran keagamaan, corak budaya, organisasi Islam, dan partai politik Indonesia.
Sebagai seorang pemimpin pergerakan, Bung Karno berpendapat bahwa persatuan dalam keagamaan adalah kunci keberhasilan perjuangan mencapai kemerdekaan, sebuah pandangan yang juga disetujui oleh Muhammad Hatta, seorang pemikir demokrasi.[1]
SBY mengatakan sudah tidak zaman lagi menghubungkan antara pancasila dan negara Islam yang kemarin-kemarin sempat mencuat kasusnya gara-gara NII. Walaupun Indonesia merupakan negara yang penduduknya mayoritas Islam, pancasila lah yang menjadi dasar negara, dimana posisi semua agama dan semua warga negara sama. Pimpinan negara dalam mata pancasila harus memperlakukan semua agama dengan sama, tanpa menspesialkan satu dengan yang lain.
Menurut Budhy Munawar Rachman dalam bukunya Reorientasi Pembaharuan Islam, dikatakan bahwa dalam pluralisme, identitas tidak perlu menimbulkan konflik, karena politik identitas tidak perlu dilancarkan, sebab dalam pluralisme, identitas justru diakui. Bahkan dalam politik multikulturalisme, pemerintah justru harus melindungi bahkan membantu kelompok minoritas. Dengan pluralisme, pluralitas masyarakat akan menjadi masyarakat kreatif. Dalam ekonomi, perbedaan itu justru dijual di pasar dunia, apalagi jika perbedaan itu bersifat unik. Secara budaya, Indonesia dikenal dengan keanekaragaman budaya. Masyarakat dan budaya Bali yang Hindu, atau Toraja yang Kristen misalnya, justru dikenal dunia sebagai ikon pariwisata Indonesia, karena keunikannya dalam suatu masyarakat Muslim yang mayoritas. Sebenarnya inti dari pluralisme adalah ta’aruf (saling memahami) itu, yang diisyaratkan oleh Tuhan.
Akhirnya, ketika nilai-nilai pancasila sudah terintegrasi, semoga membuat masyarakat menjadi lebih dewasa menyikapi perbedaan yang ada.
0 comments:
Posting Komentar
Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)