Kecerewetan Kita di Twitter dan Facebook
Saya, bisa dibilang merupakan orang yang terlambat mempunyai akun twitter. Padahal, setiap harinya saya mendapatkan akses yang mudah untuk internet-an. Mas Roby Muhammad, sempat menyampaikan dalam serangkaian kegiatan FIM 11 (Forum Indonesia Muda) bahwa negara yang mempunyai akun twitter terbanyak adalah Amerika, tetapi twitter dengan tingkat kecerewetan tinggi adalah Indonesia, negeri tercinta kita ini kawan. Hmm..tingkat kecerewetan ini, indikasinya adalah seberapa banyak kita nge-tweet.
Mas Roby Muhammad mengatakan, twitter awalnya digunakan sebagai micro blogging site, namun di Indonesia sendiri, ini sudah beralih fungsi menjadi sebuah chatroom raksasa. Entah ini sebuah berita baik atau buruk, tetapi segala sesuatunya seperti sebuah mata uang yang selalu ada dua sisi : positif dan negatif. Saya sendiri, ketika pertama kalinya mengakses twitter, saya malah bingung. “Ini kok banyak hal2 ga penting gitu, kebanyakan curcol ga jelas, nyampah...” tapi, walaupun begitu, akhirnya saya punya akun twitter juga...:) hehe.
Gambar : aktivitas nge-tweet di dunia. Di bagian Indonesia, siang ataupun malam selalu saja kelap-kelip, menggambarkan begitu aktifnya kita di twitter.
We Have a Real Life!!
Begitu cerewetnya kita di twitter, mungkin disebabkan oleh bosannya terhadap pekerjaan, sehingga kita merasa ‘sangat’ bahagia saat berinteraksi secara online. Atau ketika bosan menunggu macetnya Ibukota, iseng2 kita online. Namun, disadari ataupun tidak, keisengan ini menjdi kebiasaan, dan kebiasaan kita ini malah membuat kita lupa terhadap lingkungan sekitar kita.
Dulu, tujuan atau manfaat dari internet adalah mendekatkan yang jauh. Sekarang, malah menjauhkan yang dekat. Internet sangat membantu kita dalam menjembatani tempat yang tak mungkin dijangkau, seperti penyebaran informasi secara serempak melalui email, chatting, video conference, dsb (it’s bridging place). Atau bisa juga menjembatani waktu, misalnya adanya e-book, website, dsb bisa membantu penyebaran informasi antara orang-orang dengan waktu yang berbeda. Misalnya, e-book yang dibuat oleh nenek saya, masih bisa saya baca di tahun-tahun kedepan (it’s bridging time).
Teknologi (dalam konteks teknologi informasi) selalu membawa karakteristiknya tersendiri, menciptakan sebuah budaya tersendiri terhadap orang-orang yang mengkonsumsinya. Contoh kecil, dengan adanya BB, smartphone, malah membuat kita autis dengan dunia kita sendiri. Misalkan kita lagi di kelas nih, ada satu teman yang sudah duduk disana yang tidak begitu dekat dengan kita. Pasti, atau kebanyakan, kita akan memilih duduk di salah satu kursi yang tidak terlalu dekat dengan orang tersebut, setelah bercakap-cakap seperlunya atau mungkin hanya tersenyum saja, kemudian sibuk mengotak-atik gadget kita. Asyik dengan dunia sintesis kita sendiri. Atau mungkin, hubungan dalam sebuah keluarga menjadi begitu individualis. Walaupun ada dalam satu rumah, si anak akan lebih betah bersmedi di kamarnya sendiri, anteng menekuri gadgetnya. Hmm..apakah ini kehidupan sosial yang sebenarnya?
Dari Twitter, kita pindah topik ke Facebook. Facebook sejak awal berdirinya, yang digagas oleh Mark Zuckerberg merupakan sebuah media komunikasi untuk teman-teman satu kampusnya di Harvard University. Tetapi, ketika Facebook mulai tersebar luas dan masuk ke Indonesia, penggunaannya mulai bermetamorfosis. Kita (termasuk saya dulu) seenaknya saja meng-add dan meng-confirm pertemanan dengan orang yang tidak kita kenal secara nyata.
Sindir dosen saya, Eni Maryani, orang Indonesia ini sangat besar rasa sosialnya, sampai-sampai hal-hal terkecil yang dilakukannya diangkat ke permukaan, sehingga orang lain menjadi tahu. Yah..mendekati narsisme yang berlebihan. Mungkin, kita sulit membedakan mana hal-hal yang private dan mana yang umum. Maka, tak heran jika kita mendengar ada kasus penculikan yang berawal dari facebook, kasus seorang laki-laki yang menikahi seorang preman (yang menyamar jadi perempuan) dan menyogok orang sekampung untuk datang di pernikahannya. Berawal perkenalan mereka di Facebook, si laki-laki ini tertipu, dan pernikahan mereka hanya bertahan selama 6 bulan.
Mungkin juga, fenomena ini terjadi karena negeri ini melewatkan/terlalu sebentar melewati masa media cetak, dimana dari media cetak ini melahirkan budaya membaca dan merangsang budaya menulis. Saat periode ini, dimana bangsa-bangsa eropa berpuluh-puluh tahun melewatinya, sedangkan kita masih sibuk terjajah dan meraih kemerdekaan, sehingga kita sangat sebentar menikmati periode ini.
Kemudian, datanglah periode teknologi baru, yaitu radio, dimana radio membidani budaya mendengar. Dan orang Indonesia memang lebih suka mendengar daripada membaca. Setelah radio, kemudian muncul TV, dan internet. TV, yang membuat kita menjadi pasif, tidak kritis. Sedangkan internet, membentuk sebuah pola pikir acak, tidak mendalam, tidak kronologis. Maksudnya, ketika kita membaca sebuah info di web misalnya, kita tidak terlalu fokus untuk membaca sampai akhir, karena tersedia begitu banyak link yang bisa diakses, sehingga informasi yang di dapat menjadi tidak holistik, lebih cederung meloncat-loncat.
Lho..kok semua yang saya bicarakan dari sisi yang ga mengenakan semua ya? Ya iyalah, kalau ngomongin positifnya, kita semua sudah tahu itu. Tapi, kita kebanyakan masih belum sadar terhadap efek dari media yang kita gunakan.
So, saran saya :
· Mulailah mem-tweet hal-hal penting dan layak untuk di share, misalnya berbagi link info penting, atau promosi blog anda. Tapi, kalau mau ber-GALAU-ria di tweet juga monggo, sebenarnya bisa menstabilkan emosi anda. Kemudian, Mulai cermat terhadap siapa yang anda follow.
· Mulai rampungkan teman di FB anda. Un-Friend orang-orang yang tidak anda kenal. Teliti membedakan mana yang private, dan mana yang layak di share di publik. Di era informasi ini, kita dituntuk untuk pandai memilih informasi mana saja yang harus kita ambil. Terlalu banyak teman di FB anda juga malah membuat anda overload information, dan malah membuat news feed anda penuh dengan spam.
· Budayakan membaca, latih menulis. Karena dengan membaca, berarti kita telah menaikkan kualitas diri kita sebagai manusia. Latihlah menulis, karena dengan menulis, bisa menyeimbangkan emosi, pola pikir kita, bahkan ilmu yang kita punya, jika ditulis dan di share kepada yang lain, akan menempel di ingatan kita. Percaya deh, it’s work!!
· Yang perlu saya tekankan disini : Ga salah kok, kita menggunakan sosial media, tapi jangan sampai kita autis dengan dunia kita sendiri, dan melupakan hubungan sosial yang sebenarnya. We Have a Real Life!!
0 comments:
Posting Komentar
Senang jika anda mau meninggalkan jejak di postingan ini..:)